Mohon tunggu...
Odi Shalahuddin
Odi Shalahuddin Mohon Tunggu... Konsultan - Pegiat hak-hak anak dan pengarsip seni-budaya

Bergiat dalam kegiatan sosial sejak 1984, dan sejak tahun 1994 fokus pada isu anak. Lima tahun terakhir, menempatkan diri sebagai pengepul untuk dokumentasi/arsip pemberitaan media tentang seni-budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Desa Hargobinangun Sleman ingin Menjadi Desa Layak Anak

24 November 2011   07:11 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:16 685
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kota Layak Anak dan Sekolah Ramah Anak, tentu istilah itu sering kita dengar. Pemerintah Indonesia setiap tahunnya selalu memberi penghargaan terhadap kota-kota yang dinilai sebagai kota layak anak.

Kali ini, berkembang inisiatif baru dari Desa Hargobinangun, Sleman, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu ingin membangun Desa Layak Anak. Ini terlihat dari serangkaian upaya yang telah dilakukan oleh mereka, salah satunya menyelenggarakan “Lokakarya Penyusunan Peraturan Desa Hargobinangun tentang Desa Layak Anak”, yang berlangsung kemarin (23/11) di Hotel Taman Eden 1, Kaliurang, Sleman. Acara dihadiri oleh sekitar 70 orang yang terdiri dari perangkat desa, tokoh-tokoh masyarakat, perwakilan dari Dinas-dinasi di Kabupaten Sleman, LSM dan Organisasi Anak.

Acara lokakarya yang merupakan kerjasama antara IDEA, Pemerintah Desa Hargobinangun,Pemerintah kabupaten Sleman dan Asia Foundation,   dibuka Oleh Valentine S. Wijiyati,  selaku koordinator program IDEA, sebuah organisasi Non Pemerintah yang selama ini giat dalam bidang pemberdayaan masyarakat dan sangat aktif dalam isu Penganggaran.

[caption id="attachment_145547" align="aligncenter" width="407" caption="Pembukaan acara"][/caption]

Saya kebetulan ditunjuk menjadi salah satu narasumber bersama dengan Dr. Y. Sari Murti Widiyastuti, SH. M.Hum, staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Atmajaya Yogyakarta dan dikenal pula sebagai pemerhati anak dan Perempuan, yang juga aktif di Lembaga Perlindungan Anak (LPA) DIY. Seingat saya, ini kali kelima dalam berbagai acara mengenai anak saya disandingkan dengan Sari Murti. Sayang empat acara lainnya sama sekali tidak pernah bisa bertemu. Dua acara pertama saya yang berhalangan, dua acara berikutnya ialah yang berhalangan. ”Kita baru jodoh sekarang, ya, Mas,” komentar Sari Murti.

Materi yang disodorkan oleh panitia kepada saya adalah mengenai riviu payung hukum terkait hak anak, pengayaan tentang situasi hak anak, dan substansi terkait hak anak yang selayaknya diatur dalam Peraturan Desa. Sedangkan Sari Murti diminta untuk memberikan materi mengenai Perancangan Perdes tentang Desa Layak Anak.

Secara jujur saya menyatakan bahwa inisiatif dari Desa Hargobinangun merupakan inisiatif yang patut dihargai dan perlu didukung oleh semua pihak termasuk LSM dan Pemerintah Kabupaten Sleman. Gagasan menjadikan sebagai Desa Layak Anak, tentunya akan berpengaruh langsung terhadap kehidupan anak-anak di tingkat basis yang mudah untuk diikuti perkembangan dan tantangan yang dihadapi.

Gagasan tentang kota layak anak sesungguhnya telah dimulai merujuk pada hasil penelitian Kevin Lynch mengenai Children’s Perception of the Environment “ di Melbourne, Warsawa, Salta dan Mexico City Tahun 1971- 1975. Konvensi UN Habitat II di Istambul tahun 1996, menyebutkan tentang Kota Ramah Anak dengan memberikan empat indikator. Disusul kemudian Konsep Kota Layak Anak diperkenalkan oleh UNICEF bersama UN Habitat Pada United Nations General Assembly Special Session on Children (UN-GASS) Tahun 2002 yang mendeklarasikan World fit for Children, yang merekomendasikan kepada walikota seluruh dunia untuk:a) mengembangkan rencana aksi untuk kota mereka menjadi Kota Ramah dan melindungi hak anak, dan b) mempromosikan partisipasi anak sebagia aktor perubah dalam proses pembuatan keputusan di kota mereka terutama dalam proses pelaksanaan dan evaluasi kebijakan pemerintah.

Gerakan dan perkembangan internasional direspon dengan baik oleh pemerintah Indonesia dengan menetapkan kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak melalui Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia Nomor 02 tahun 2009, yang dilengkapi dengan Peraturan Menteri Nomor 3 tahun 2009 tentang Pedoman Penilaian Kabupaten/Kota Layak Anak. Namun secara faktual, gagasan itu telah ditelurkan pada tahun 2005, dan pada tahun 2006 dilakukan uji-coba di 5 kota/kabupaten yang kemudian menjadi 10 kota/kabupaten pada tahun 2007.

Penghargaan terhadap kota/kabupaten layak anak mengalami perubahan pada tahun 2011. Pada tahun tersebut, penghargaan dikelompokkan menjadi lima kategori, yaitu Kota Layak Anak (KLA), Utama, Nindya, Madya dan Pratama. Tidak ada kota/kabupaten yang memperoleh penghargaan dalam kategori KLA dan Utama. Sepuluh kota hanya mampu meraih kategori Nindya, Madya dan Pratama. Selain 10 kota/kabupaten, penghargaan juga diberikan untuk tiga kota yang dinilai melakukan inovasi pengembangan KLA, yaitu Kabupaten Grobogan untuk kebijakan Daerah mengenai Perlindungan Anak Berkebutuhan Khusus, Kabupaten Sleman untuk Pendidikan, pemanfaat waktu luang dan kegiatan seni budaya dan; Kabupaten Kebumen untuk Peranserta masyarakat sipil dalam perlindungan anak.

Mengapresiasi identifikasi masalah yang telah dirumuskan sebelumnya, saya menilai perlu dikembangkan lagi dengan mencermati hak-hak anak yang harus diperoleh. Seabgai contoh adalah kepemilikan akte kelahiran sebagai bukti telah mendaftar pencatatan kelahiran anak/seseorang. Hal mana, ini penting sebagia bukti tentang identitas dan kewarganegaraan seseorang.

Sedangkan Sari Murti dalam presentasinya memulai dengan menampilkan dua gambar. Pertama tentang anak-anak yang kelaparan, dan kedua tentang kemiskinan. Berbagai masalah anak bisa terlahirkan dari dua situasi tersebut. Ia juga menyambut baik tentang gagasan menjadikan desa Hargobinangun sebagai Desa Layak Anak yang diformalisasikan dengan penyusunan Peraturan Desa.

Mengutip Sudikno Mertokusumo, Sari Murti menyampaikan bahwa hukum itu hidup dalam kesadaran setiap manusia, termasuk manusia yang belum pernah tahu tentang peraturan perundangan atau buta huruf sekalipun. Ini disebut kesadaran hukum. Ia lalu mencontohkan beberapa kasus: ”Walaupun Bapak/ibu belum pernah membaca KUHP, tapi saya yakin Bapak/Ibu setuju bahwa membunuh itu adalah pelanggaran hukum bahwa korupsi itu pelanggaran hukum, bahwa melakukan kekerasan seksual terhadap anak adalah melanggar hukum. Nah, tanpa membaca atau mengetahui, kita memiliki kesadaran tentang hukum,”.

Sari Murti membuat analogi untuk memahami hukum dengan pembangunan rumah. “Membangun rumah, tidak sekedar memerlukan penguasaan teori atau teknik membangun rumah saja, melainkan juga seni. Jadi, merumuskan hukum di Perdes juga tidak sekedar memformulasikan pasal-pasal melainkan juga melakukan seni. Seni Hukum. Ini merupakan ciri khas yang didorong oleh pilihan antara yang baik dan yang buruk dalam mengolah, menggarap, melaksanakan, menemukan atau menerapkan hukum sehingga menghasilkan karya di bidang hukum yang bermutu atau mempunyai wibawa,”

Selanjutnya ia menyampaikan tentang jenis norma  hukum tipe norma kewenangan dan bagaimana merumuskan norma hukum secara baik. Terkait dengan Penyusunan Perdes, Sari Murti mengutip pasal 1 butir 8 UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan Peraturan Desa/Peraturan yang setingkat adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan Kepala Desa atau nama lainnya. Sebagai catatan, UU tersebut telah digantikan dengan UU. No. 12 tahun 2011 yang mana, kedudukan dan definisi Perdes tidak tercantum lagi. Walaupun bisa dirujuk pada pasal 8 UU No. 12 tahun 2011 yang berbunyi: “Jenis per-UU-an.... lembaga, atau komisi, yang setingkat yang dibentuk dengan UU atau pemerintah atas perintah UU .... Kepala Desa atau yang setingkat,” (pasal 1), dan pada ayat berikutnya dinyatakan: Peraturan per-uu-an... diakui keberadaannya dan mempunya kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan Perundang-undangan   yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Sari Murti juga memberikan penjelasan tentang proses penyusunan Peraturan Desa, termasuk kandungan isi di dalamnya.

Lokakarya yang dimaksudkan sebagai bahan masukan bagi penyusunan Perdes ini ditindaklanjuti dengan pembentukan anggota tim penyusun.

Kepala Desa Hargobinganun, Bedja Wiryanto yang ditemui setelah usai acara menyatakan bahwa awalnya ia menjadi salah satu dari Kepala Desa yang diajak turut serta bersama rombongan Bupati Sleman untuk melakukan studi banding ke Surakarta yang telah mencanangkan diri menjadi Kota Layak Anak. “Berdasarkan dari situ, saya berpikir bahwa Desa Layak Anak juga menjadi kebutuhan. Selama ini banyak orangtua atau masyarakat belum tahu tentang hak-hak anak sehingga tidak menyadari banyak masalah anak. Hal yang kita lakukan adalah melakukan sosialisasi ke masyarakat mengenai hak anak, perlindungan anak dan masalah-masalah. Dari situ timbul kebutuhan agar di desa ini memiliki wadah untuk mengatur upaya-upaya perlindungan anak,”

Valentina S. Wijiyati, Koordinator Program dari IDEA, sebuah Organisasi Non Pemerintah yang memberikan dukungan dan memfasilitasi proses pendampingan ke Desa Hargobinangun menyampaikan bahwa IDEA memang diminta oleh pemerintah Kabupaten untuk memfasilitasi beberapa desa. Namun karena keterbatasan yang dimiliki IDEA memfokuskan hanya pada satu desa saja, yaitu Desa Hargobinangun. Melalui proses bersama perangkat desa dan masyarakat  lahirlah sesuatu yang akan dirintis di desa ini yaitu menjadikan sebagai Desa Layak Anak.

“Harapan kami setidaknya ada model infrastruktur yang dibutuhkan dalam upaya perlindungan dan pemenuhan hak anak di tingkat desa. Ya dimulai dari Desa Hargobinangun yang kita ketahui juga sebagai daerah rawan bencana,” kata perempuan yang akrab dipanggil dengan nama Wiji.

Ya, kita berharap rintisan ini bisa berjalan baik dan bisa menginspirasi desa-desa lainnya di Sleman dan Indonesia.

Salam,

Odi Shalahuddin, 24 November 2011

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun