Mohon tunggu...
Odi Shalahuddin
Odi Shalahuddin Mohon Tunggu... Konsultan - Pegiat hak-hak anak dan pengarsip seni-budaya

Bergiat dalam kegiatan sosial sejak 1984, dan sejak tahun 1994 fokus pada isu anak. Lima tahun terakhir, menempatkan diri sebagai pengepul untuk dokumentasi/arsip pemberitaan media tentang seni-budaya

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Belajar Menulis Puisi

6 November 2011   03:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:00 2788
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos



Dia memang bukan penyair. Tidak pernah mengaku sebagai penyair. Menulis puisi saja masih bisa terhitung dengan jari. Tapi orang-orang tetap saja memanggilnya Penyair.

Banyak penyair, penulis, orang teater, aktivis, politisi, sampai orang-orang jalanan berkunjung ke rumahnya.  Orang-orang menganggapnya sebagai seorang kawan, sahabat dan guru yang baik, serta selalu saja menempatkannya sebagai seorang penyair.

Ia selalu menyediakan waktunya untuk berdiskusi dengan siapapun tanpa memandang usia, kelas, jenis kelamin, atau apapun. Ia tidak membeda-bedakan, dan bisa marah bila melihat orang mempertajam pembedaan.

Suatu hari, seorang anak anak, tetangga sebelah rumahnya, usianya belum ada 12 tahun, duduk di kelas enam SD, pada waktu sekitar jam satu,  datang tergopoh-gopoh. Di tangannya tergenggam kertas dan pena.

Sang penyair, seorang perokok berat, yang tengah duduk di teras, langsung mematikan rokok walau baru terhisap beberapa kali. Ia letakkan di asbak, lalu menyingkirkannya jauh tak terlihat oleh anak.

“Pak Penyair, saya mau belajar. Mau belajar menulis puisi. Ajari saya, ya, pak Penyair,”

“Bayangkanlah sesuatu. Apa saja,”

“Hm, sungai…!” kata sang anak setelah lama menimbang-nimbang.

“Apa yang kamu ketahui tentang sungai?”

“Sungai… tempat air mengalir, banyak ikannya, banyak pepohonan di sekelilingnya, berkelok-kelok,

Sang penyair tersenyum. “Darimana kamu mendapatkan gambaran sungai seperti itu?”

”Dari tv dan buku,” kata anak tersipu.

Sang penyair menepuk pundak sang anak. ”Kamu tahu sungai di ujung kampung itu, kan?”

Sang anak mengangguk.

”Cobalah kamu ke sana, dan kamu amati. Kamu mau?”

”Lho, saya mau belajar menulis puisi kok disuruh melihat sungai,” protes sang anak.

”Sekarang, lihatlah dulu sungai itu dan amati ya...,”

”Tapi nanti diajari menulis puisi, ya?” kata anak berharap.

Sang anak berlari, menyusuri jalan kampung, hingga ia berada di sungai. Ia memandangi sungai itu. Ia merasa tidak ada yang berbeda dari apa yang dilihatnya kemarin. Sama sekali tidak ada yang aneh. ”Lantas mengapa saya harus disuruh melihat sungai?”

Ia terus mengamati, sambil mencari sesuatu yang ia anggap baru. Tapi tetap saja tidak ketemu. Apapun itu. Jengkel sekali ia rasa. Ia berjalan, kembali ke rumah sang penyair yang berada di sebelah rumahnya.

Begitu ia tiba, ia lihat sang penyair terburu-buru menghembuskan asap rokok dari mulutnya, mematikan ujung rokok, menyingkirkan asbak dari pandangannya.

”Bagaimana?”

”Tidak ada apa-apa di sungai,” jawab sang anak lunglai.

”Duduklah. Sekarang coba kamu ceritakan tentang apa yang kamu lihat tadi,”

Dan berceritalah sang anak. Sang penyair melontarkan pertanyaan-pertanyaan tentang sesuatu yang ada di sungai, untuk membantu ingatan sang anak.

”Nah, sekarang tulislah yang kamu ceritakan itu,”

”Ditulis? Saya hanya bawa kertas satu lembar. Nanti untuk yang belajar buat menulis puisi gak ada lagi, Pak Penyair,”

”Untuk kertas, di dalam masih ada, tenang saja,”.

Sang anak lalu duduk di lantai dan menggunakan meja kecil sebagai alas untuk menulisnya. Ia kelihatan berupaya keras mengingat-ingat, menulis, mencoret, menulis lagi, ada keraguan, menulis, dan selesailah.

”Sudah selesai Pak Penyair! Setelah ini sudah bisa belajar buat puisi ya?” sorak anak sekaligus berharap.

SUNGAIKU

Ada sungai di dekat rumahku, letaknya di ujung kampung, jaraknya sekitar 200 meter dari rumahku. Airnya tidak banyak, hanya di bagian tengah, air mengalir. Di sekitarnya banyak sekali sampah-sampah yang berserakan. Ih, kotor sekali, sampai jijik aku membayangkan kalau menyusuri sungai itu.

Tapi kalau hujan, airnya tinggi sekali dan sering melewati batas, memasuki jalan dan rumah-rumah. Banjir namanya. Aku senang bermain-main air seperti berenang-renang di jalan. Kalau di sungainya, aku tidak berani karena airnya deras. Kalau sudah begitu, aku pasti dimarahi oleh ibuku.

Sang Penyair membaca sambil manggut-manggut. Lalu ia membungkuk dan mengatakan kepada sang anak ”Wah tulisanmu sudah bagus, kamu berbakat. Lancar. Sekarang, mari kita olah tulisan ini, ya,”. Sang penyair mengambil beberapa lembar kertas dan menyerahkannya kepada sang anak. Ia lalu memberi contoh satu kali pemenggalan kata, selanjutnya dilakukan oleh anak.

Sang anak dengan riang mengerjakannya. Setelah selesai ia mengernyitkan dahinya, lalu tersenyum sendiri. ”Pak Penyair, kok sekarang kelihatan seperti puisi ya?”

Sang penyair tersenyum saja, sambil menerima hasil dari sang anak. Ia membacanya.

SUNGAIKU (1)

Ada sungai di dekat rumahku,
letaknya di ujung kampung,
jaraknya sekitar 200 meter
dari rumahku.

Airnya tidak banyak,
hanya di bagian tengah,
air mengalir.

Di sekitarnya banyak sekali sampah-sampah yang berserakan.
Ih, kotor sekali,
sampai jijik aku membayangkan kalau menyusuri sungai itu.

Tapi kalau hujan,
airnya tinggi sekali
dan sering melewati batas,
memasuki jalan dan rumah-rumah.
Banjir namanya.

Aku senang bermain-main air
seperti berenang-renang di jalan.
Kalau di sungainya,
aku tidak berani karena airnya deras.

Kalau sudah begitu,
aku pasti dimarahi oleh ibuku.

”Masih ada tugas lagi, sekarang. Cobalah baca, dan coretlah kata-kata yang menurutmu tidak perlu, tapi kamu anggap tidak mengubah  apa yang ingin kamu sampaikan. Bagaimana? Bisa? Tidak susah kan?”

”Siap Pak Penyair” kata sang anak yang lalu kembali sibuk bergumul dengan tulisannya. Dengan wajah riang ia menyerahkan kepada sang penyair.

SUNGAIKU (2)

Ada sungai dekat rumah,
letaknya di ujung kampung,
jaraknya sekitar 200 meter

Airnya tidak banyak,
hanya di bagian tengah,
air mengalir.

sampah-sampah berserakan.
Ih, kotor sekali,
sampai jijik aku membayangkan

Tapi kalau hujan,
airnya tinggi sekali
sering lewati batas,
masuk jalan dan rumah-rumah.
Banjir namanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun