Mohon tunggu...
Odi Shalahuddin
Odi Shalahuddin Mohon Tunggu... Konsultan - Pegiat hak-hak anak dan pengarsip seni-budaya

Bergiat dalam kegiatan sosial sejak 1984, dan sejak tahun 1994 fokus pada isu anak. Lima tahun terakhir, menempatkan diri sebagai pengepul untuk dokumentasi/arsip pemberitaan media tentang seni-budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama FEATURED

Selintas Kehidupan Teater Modern di Jogja Tahun 1950-an

25 Desember 2018   17:30 Diperbarui: 26 Maret 2019   09:12 5332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Iklan Pementasan Raksi Seni yang dimuat di Majalah Minggu Pagi (Dok. Odi)

Pengantar

Yogyakarta, kota dengan berbagai julukan, salah satunya adalah "Kota budaya", merupakan kota yang dapat dikatakan memberikan kontribusi besar bagi perkembangan kesenian dan kebudayaan di Indonesia. 

Pada bidang sandiwara atau teater, geliatnya di Yogyakarta sudah terlihat sejak tahun 1940-an. Sebagai gambaran adalah "Himpunan Sandiwara Penggemar "Raksi Seni" yang berdiri pada Juli 1948, yang aktif melakukan pementasan-pementasan.

Dari pergulatan di Yogya inilah lahir tokoh-tokoh teater (dan kesenian lainnya) yang menjadi penggerak dan diperhitungkan di wilayahnya masing-masing saat mereka kembali atau berpindah dari Yogya dan atau dikenal serta memiliki pengaruh di tingkat nasional dan internasional. 

Sekadar menyebut nama, Adjiem Arijadi (Kalimantan) dan Ganti Winarno (Lampung) keduanya alumni ASDRAFI berperan dalam menghidupkan dan menggerakkan teater di daerah asalnya. Umar Kayam, Motinggo Boesje, Nasjah Djamin, Kirdjomuljo, WS Rendra, Arifin C Noer, Danarto, Noorca M Massardi, adalah sebagian dari tokoh teater/budayawan Indonesia yang berasal atau pernah bergulat sebelumnya di Yogyakarta.

Masa Perkembangan Teater Modern

Jakob Sumardjo membuat periodisasi perkembangan teater Indonesia ke dalam lima periode, yakni; 1) Masa Perintisan Teater Modern (1885-1925), 2) Masa Kebangkitan Teater Modern (1925-1941), 3) Masa Perkembangan Teater Modern (1942-1970), 4) Masa Mutakhir (1970-1980-an) dan, 5) Teater kontemporer (1980-an hingga sekarang).

Salah satu ciri dari teater modern adalah penggunaan naskah. Awal teater modern dikaitkan dengan sastra lakon Indonesia, yang paling awal tercatat dalam kaitan periodisasi ini umumnya dikenal adalah Bebasari (1926) karya Rustam Effendi. 

Pada masa kependudukan Jepang, semua unsur kesenian dan kebudayaan dikonsentrasikan untuk mendukung pemerintahan Jepang. Pada Maret 1943, Jepang mendirikan "Keimin Bunka Shidoso" atau Pusat Kebudayaan yang mulai bekerja sejak April 1943.

Pembentukan Pusat Kebudayaan berfungsi untuk mengontrol lakon-lakon yang dimainkan. Setiap pertunjukan harus memiliki naskah tertulis yang akan diperiksa dan disensor, dan pertunjukan harus sesuai dengan naskah yang telah disetujui. Pada periode ini, lahirlah naskah-naskah lakon yang cukup banyak.

Sebatas pengetahuan yang dimiliki, belum tersedia informasi mengenai keberadaan kelompok-kelompok teater (yang pada masa itu masih menggunakan istilah sandiwara) di Yogyakarta. Catatan yang dimiliki, kelompok yang aktif melakukan pertunjukan adalah Himpunan Sandiwara Penggemar "Raksi Seni" (berdiri Juli 1948), Studio artis, Front Seniman, Gabungan Artis Pelajar, PPPI, dan Bunga Tjita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun