Mohon tunggu...
Ocyid
Ocyid Mohon Tunggu... Lainnya - In the Age of Information, being unknown is a privilege

Lun Yu 1.1: Sekalipun orang tidak mau tahu, tidak menyesali; bukankah ini sikap seorang Jun Zi - Kun Cu? - Lukas 12.57:Dan mengapakah engkau juga tidak memutuskan sendiri apa yang benar?

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sejarah Indonesia Berdasarkan Buku Klasik (Bagian 2): Catatan Willem Pieter (WP) Groeneveldt

1 April 2024   23:13 Diperbarui: 1 April 2024   23:13 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebagian wilayah Majapahit (Modjopait/Moa-tsia-pa-i) diambil dari situs Wikipedia: Majapahit

Subbagian 2: Sriwijaya di Jambi?

Tulisan ini merupakan lanjutan dari dua tulisan sebelumnya yang ternyata menjadi sangat panjang:

1. Sejarah Indonesia Berdasarkan Buku Klasik (Bagian 1): Catatan Biksu I-Tsing

2. Sejarah Indonesia Berdasarkan Buku Klasik (Bagian 2): Catatan Willem Pieter (WP) Groeneveldt (Subbagian 1)

Keterhubungan masalah yang terdapat dalam tulisan-tulisan ini sebetulnya menjadi kunci penting dalam memahami rumitnya kesalahpahaman dalam identifikasi sejarah Indonesia - yang, sayangnya, memang tidak pendek dan tidak mudah untuk dimengerti. Kesalahpahaman demi kesalahpahaman dalam identifikasi, yang disebabkan oleh "proses" identifikasi yang rumit, dalam catatan-catatan sejarah pada akhirnya turut memberikan kontribusi yang signifikan dalam kesemrawutan narasi sejarah. Namun, kusutnya benang sejarah sebetulnya dapat diuraikan, jika saja kita mau menguraikan satu per satu hubungan yang ada dalam tali-temali penceritaan sejarah yang saling berhubungan - walau terkadang tidak tampak di permukaan. Untuk itu, sebagaimana kita menguraikan benang kusut, menelusuri sumber ikatan pertama jelas menjadi metode dasar yang penting dalam menguraikan kekusutan yang terjadi. Dan, di sini, penelusuran benang-benang merah sejarah ini ternyata membawa kita kembali kepada dua sumber tersebut - sumber-sumber yang juga digunakan oleh monsieur George Cœdès dalam bukunya, The Indianized States of Southeast Asia (1975)

Sedikit catatan penulis: judul yang penulis berikan mungkin terasa kurang tepat, sebab penjabaran yang penulis berikan semata berfokus pada Sumatra, atau mungkin lebih tepatnya Jambi dan Palembang. Hanya saja, keterangan yang ada pada prasasti Kota Kapur tentang Sriwijaya yang melakukan penyerangan ke "bhūmi jāwa" serta penyebutan "Bhoga" (Bhoja) dalam buku sensei Takakusu Junjiro, yang beliau terjemahkan dari catatan biksu I-tsing (Yijing), diam-diam memberi sinyal hubungan mendalam yang ada antara orang-orang di Sumatra, khususnya orang Melayu, dengan orang Jawa - yang sayangnya, sumber-sumber utamanya masih sulit untuk dicari. Karenanya, walau penulis menyadari penuh tulisan-tulisan ini semata-mata hanya berpusat di kerajaan yang ada di (pesisir timur) Sumatra, penulis akan membahas sedikit tentang hubungan yang tersirat ini di akhir tulisan - yang sangat mungkin menjadi awal dari negara Indonesia yang kita kenal pada saat ini. Namun, pada titik ini, kita akan kembali pada permasalahan tentang kerajaan San-bo-tsai berdasarkan buku meester Willem Pieter (WP) Groeneveldt, Notes on the Malay Archipelago and Malacca Compiled from Chinese Sources (1876).

Ku-kang

Walau San-bo-tsai telah berdiri dan dikenali oleh masyarakat lintas negeri selama beratus-ratus tahun di Sumatra, tentu dengan asumsi bahwa kerajaan ini adalah kerajaan yang sama dengan Sribhoja yang disebutkan biksu I-tsing (Yijing) dan Kandali yang disebut-sebut sebagai nama lain dari kerajaan ini dalam catatan dinasti Ming, sejarah Sumatra modern mungkin bisa dikatakan dimulai pada sekitar abad ke-14 Masehi – yang dimulai dari finalisasi pendudukan Jawa atas San-bo-tsai. Pada halaman 71 dari buku karya meester Groeneveldt dijelaskan bahwa pada sekitar tahun 1397, Jawa “telah sepenuhnya” menguasai San-bo-tsai (completely conquered) dan mengganti namanya menjadi "Ku-kang" (Old River atau Sungai Tua) yang (menurut beliau) merupakan sebutan bangsa Cina untuk Palembang hingga saat ini (atau hingga tulisan tersebut dibuat, sekitar 100 tahun yang lalu). Dan, jika kita melihat ke dalam catatan sejarah Cina, hal ini menandakan bahwa pendudukan Jawa terhadap San-bo-tsai terjadi selama (kurang-lebih) 405 tahun – dimulai dari keterangan catatan dinasti Sung (Song) yang menceritakan tentang invasi Jawa ke San-bo-tsai pada tahun 992 (hal. 65), hingga keterangan pada catatan dinasti Ming tentang “finalisasi” pendudukan Jawa  terhadap San-bo-tsai di atas. Namun, catatan dinasti Ming mengungkapkan, pendudukan ini sendiri sebetulnya tidak berjalan secara lancar, sebab “finalisasi” yang terjadi menyebabkan “kekacauan” di seluruh negeri (the whole country was disturbed) dan Jawa tidak mampu mempertahankan seluruh wilayah yang mereka kuasai. Dalam keterangan-keterangan pada catatan tersebut, “kekacauan” yang dimaksud sepertinya mengarah pada pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di dalam kerajaan San-bo-tsai yang telah dikuasai sepenuhnya oleh Jawa. Dan, pemberontakan-pemberontakan ini pada akhirnya (dan hanya kemungkinannya) menimbulkan perpecahan-perpecahan; hingga jadilah Sumatra sebagaimana yang kita kenal pada saat ini. Kemungkinan ini, walau memang perlu diteliti lebih jauh kebenaran dan detailnya, jelas bukan tanpa alasan.

Sebelum kita memulai, ada satu hal yang sebetulnya penulis ragu untuk ungkapkan, tetapi sepertinya sangat butuh untuk dijelaskan. Dalam catatan tentang San-bo-tsai setelah finalisasi pendudukan Jawa atau setelah (sekitar) tahun 1397, keterangan-keterangannya sebetulnya bercerita tentang orang-orang yang berasal dari Cina dan, pada akhirnya, ditunjuk oleh kekaisaran Cina untuk menjadi “pimpinan” (chief) di San-bo-tsai. Hal ini, dari kacamata modern, memang terlihat seakan-akan narasi ini bercerita tentang “komunitas Tionghoa” sebagaimana yang kita mengerti pada saat ini. Namun, jika kita cermati lebih dalam, narasi ini kemungkinan menceritakan asal-usul orang Sumatra – khususnya di sini orang Jambi dan Palembang, terutama mereka yang berada di wilayah pesisir timur. Hal ini butuh untuk dimengerti dari kacamata sejarah dan bukan dari sudut pemahaman modern – yang memisahkan antara orang-orang Indonesia, sebagai bagian dari negara yang merdeka pada tahun 1945, dan orang-orang Cina sebagai bagian dari republik (baik sebagai Republik Cina atau sebagai Republik Rakyat Tiongkok)  yang didirikan pada tahun 1912 dan/atau 1949.

Yang penulis maksudkan sudut pandang sejarah, kita harus mengingat bahwa interaksi ini sudah terjalin selama kurang lebih 943 tahun, katakanlah mulai dari awal masa pemerintahan kaisar Hsiau-wu (Xiaowu) dari dinasti Liu Song (454-464) hingga awal keruntuhan kerajaan San-bo-tsai pada 1397. Apakah dalam masa yang tidak singkat ini tidak terjadi “percampuran” (asimilasi) antara orang-orang yang hidup di nusantara (khususnya di wilayah-wilayah yang disebutkan dalam catatan-catatan tersebut) dengan orang-orang yang hidup dalam wilayah-wilayah dinasti-dinasti di Cina? Hal ini belum ditambah keterangan tentang asimilasi (percampuran) itu sendiri, seperti yang tertulis dalam keterangan shifu Ma Huan, Ying-yai Sheng-lan (Yingya Shenglan - 1416) tentang “Jawa”; di mana pada bagian “Modjopait” (Moa-tsia-pa-i) diceritakan bahwa orang-orang Cina yang melarikan diri dari Canton (Guangzhou), Chang-chou (Zhangzhou), dan Ch’uan-chou (Quanzhou) yang tinggal di tempat ini telah menganut agama nabi Muhammad (Mahomedan) dan menjalankan ajaran Islam (hal. 49-50).

Keturunan orang-orang ini (entah siapa atau sekarang berada di mana), dalam kurun waktu 608 tahun sejak catatan itu dibuat, apakah tidak menjadi bagian dari orang Jawa yang kita kenal saat ini? Karenanya, hal yang sama kemungkinan juga terjadi pada orang-orang yang diceritakan dalam narasi sejarah kerajaan San-bo-tsai - di sini, khususnya di akhir masa jayanya. Atau, orang-orang (yang berasal dari) Cina yang diceritakan dalam keterangan-keterangan catatan sejarah Cina ini, dalam kurun waktu sekitar 627 tahun, pada akhirnya sangat mungkin merupakan nenek moyang orang Indonesia saat ini: orang-orang yang telah berdiam, beranakpinak, dan pada akhirnya menjadi “orang asli” di wilayah-wilayah tersebut – dan tidak terbatas pada “komunitas Tionghoa” sebagaimana yang kita mengerti pada masa ini. Karenanya juga, jika kita memperhitungkan jarak-waktu penceritaan dengan masa ini, catatan sejarah Cina sesungguhnya turut menceritakan sejarah Indonesia modern – dan bukan hanya tentang komunitas tertentu saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun