Mohon tunggu...
Octaviana Dina
Octaviana Dina Mohon Tunggu... -

Cogito ergo sum\r\n\r\nhttps://octavianadina.wordpress.com/\r\n

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hantu

2 Mei 2014   22:35 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:56 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1399019522100746733


Ilustrasi : wallpaperpassion.com

Api yang memuntahkan asap hitam tebal bergulung-gulung membubung membawa bau segala isi gedung yang terbakar hebat. Juga bau hangus puluhan, bahkan mungkin ratusan, manusia yang terjebak di dalamnya. Sebagian penduduk kota percaya, mereka adalah orang-orang yang dijebak.



Lelaki itu mengancingkan jaketnya. Malam ini ia ingin menuntaskan semuanya. Ia tak tahan lagi, lima tahun sudah dirinya bersabar. Sekarang adalah saat untuk bertindak. Menghadapinya langsung.

“Hati-hati, Mas.” Itu saja yang dikatakan isterinya ketika ia pamit pergi. Laki-laki itu tersenyum, merasa beruntung telah mengawini seorang perempuan yang tak pernah banyak cingcong.

Sudah lewat sedikit dari jam setengah sepuluh. Ia memacu motornya menembus gerimis. Hujan lebat yang sedari sore menghajar kota membuat jalan-jalan di malam Minggu itu terasa lengang dan sepi.Setengah jam kemudian ia sudah memasuki kawasan yang ditujunya. Ia melambatkan laju motornya, lalu berhenti di depan satu-satunya warung kopi di jalan itu. Hanya ada seorang pengunjung dan tampaknya akan segera pergi. Lelaki itu duduk di dekat pintu masuk, dan memesan kopi serta mi rebus. Pandangannya melayang ke luar. Mencari yang dicarinya, dan menemukannya. Di sana. Masih tetap sama dalam kegelapan.

“Sepi, Bu?!” ujarnya membuka percakapan.

“Wah, di sini kalau siang saja ramai. Kalau malam Minggu biasanya sih lumayan. Tapi dari sore tadi memang sepi, Pak. Mungkin karena hujan,” sahut perempuan tua pemilik warung yang lantas sibuk menyiapkan kopi dan mi rebus. “Dulu nggak begini, Pak. Siang malam ramai. Tapi sejak kejadian itu, lantas sepi. Orang-orang takut. Bapak tau kan, itu…,” ucap perempuan itu seraya menggerakkan dagunya, menunjuk ke arah yang sama yang sedari tadi diawasi laki-laki itu.

“Ibu juga takut?”

Lah iya, Pak. Liat sih belum, tapi saya sering dengar suaranya. Ih, seram. Hati-hati, Pak, kalau lewat situ. Sudah banyak kejadian…”

Lelaki itu menyeringai. Seandainya saja perempuan ini tahu apa yang akankulakukan sebentar lagi, bisiknya dalam hati.

***

Jam setengah sebelas malam. Gerimis masih saja turun. Laki-laki itu mematikan rokok dan meloncat turun dari motor. Sepi dan gelap belaka di sekelilingnya. Satu dua kendaraan yang melintasi jalan raya seakan terburu-buru ingin secepatnya enyah dari tempat itu. Lelaki itu tegak memandangi bangunan di hadapannya. Bekas gedung pertokoan yang terbakar habis, dan telah bertahun-tahun dibiarkan teronggok begitu saja. Seolah sengaja disisakansebagai bukti dan saksi dari kemenangan angkara murka yang pernah mengamuk di kota ini. Kini di bawah naungan kegelapan malam bayangan kekejaman itu menjelma kian nyata di matanya. Orang-orang beringas bercampur aduk dengan orang-orang panik dan kebingungan. Mereka adalah para penyerbu dan kaum yang diserbu, namun ujung nasib mereka tak dinyana berakhir sama. Orang-orang yang terbakar. Sebagian penduduk kota menyebutnya sebagai orang-orang yang dibakar.

Bayangan kekejaman itu sekarang bukan lagi sekadar rentetan gambar kejadian yang membayang di bola matanya. Telinganya mulai menangkap suara-suara gaduh. Teriakan-teriakan marah, jeritan panik dan ketakutan bercampur baur dengan derap langkah kaki yang berlarian tak keruan. Ia mendengar jelas letusan senjata, deru truk diselingi aba-aba dan suara percakapan pendek-pendek dari radio komunikasi. Laki-laki itu merasa telinganya makin pekak. Gemuruh suara rolling door dan pintu-pintu terali besi yang ditutup secara bersamaan mengawali akhir kekejaman itu dengan ledakan keras yang mengguncang gedung. Lalu api. Dan api. Api yang memuntahkan asap hitam tebal bergulung-gulung membubung membawa bau segala isi gedung yang terbakar hebat. Juga bau hangus puluhan, bahkan mungkin ratusan, manusia yang terjebak di dalamnya. Sebagian penduduk kota percaya, mereka adalah orang-orang yang dijebak.

Untuk sejenak lamanya lelaki bertubuh tegap itu merasakan hatinya bergetar. Getaran yang sama juga dirasakan tangannya. Tanpa diduga jari-jemarinya masih menyimpan getaran akibat perbuatan menutup rolling door dan pintu-pintu teralis dengan hentakan keras kala itu.

Segera dirinya tersadar. Tidak ada yang terlalu menakutkan. Aku tak boleh gagal dalam tugas ini, batinnya memantapkan hati. Sudah berpuluh kali iamenyaksikan wajah-wajah kematian, bahkan dua kali nyaris tewas dalam tugas. Dinyalakannya senter kecil, lalu tanpa ragu lagi ia melangkah masuk ke dalam reruntuhan gedung.

Tidak sulit baginya untuk mencapai lantai dua bangunan meskipun gelap da bagian tangga gedung itu sudah rontok di sana-sini. Di bagian tengah ruangan seluas sekitar dua ratus meter persegi ia duduk bersila beralaskan selembar koran. Ia menyalakan sebatang lilin. Di dekatnya ia meletakkan dua benda andalannya. Sekantong garam hitam dan sepotong pasak kayu hitam berusia amat tua dan sangat langka. Ia memperolehnya dari seorang tua-tua saat bertugas dulu di gugusan kepulauan nun jauh di timur negeri.

Bebauan aneh menyeruak masuk ke dalam rongga hidungnya. Bau yang memualkan. Tapi laki-laki itu tak lagi peduli. Mulutnya mulai komat-kamit merapal mantra. Mantra pemanggil. Dan tak perlu lama menunggu. Di bawah cahaya lilin yang redup tak berdaya melawan kungkungan gelap matanya yang amat terlatih samar-samar menangkap sosok-sosok hitam yang lebih pekat dari gelap bangkit dari lantai. Sebagian lagi keluar dari dinding-dinding. Mereka berkerumun di pojok. Udara mendadak dingin menekan. Bebauan aneh itu makin menyengat. Bau daging hangus terbakar. Lamat-lamat terdengar suara bergumam. Lelaki itu terdiam dan waspada. Ia merasa bagai tersedot ke dalam dunia gulita yang mengerikan.

Wuussshh!! Sekonyong-konyong ada angin kencang menampar wajahnya. Lilinnya mati. Segera ia mengucap mantra dengan telunjuk menunjuk ke arah lilin. Benda itu kembali menyala. Lelaki itu bertambah waspada. Sosok-sosok hitam itu mulai beringsut-ingsut maju ke depan, berduyun-duyun menuju dirinya. Suara gumaman makin keras terdengar. Telinganya kini jelas menangkap artinya.

“Ikuut kaammiii! Ikuuut kaaaammiiii!!” seru mahluk-mahluk itu dalam suara rendah yang mendirikan bulu roma. Agaknya mereka telah mengenali siapa dirinya. Dalam sinar lilin yang lemah, wujud mereka kian nyata menyeramkan. Hitam berasap dengan tubuh melepuh terkelupas di sana-sini. Lelaki itu mengeraskan hati. Pertempuran sudah dimulai, ia harus memenangkannya.

“Ayo, maju semua!” seringainya geram. Mulutnya kembali merapal matra. Seolah tak terpengaruh, sosok-sosok menakutkan itu makin dekat. Lelaki itu berusaha menenangkan degup jantungnya. Sekarang waktunya! Dengan sigap ia berdiri. Tangannya meraup garam hitam, dan melemparkannya segenggam demi segenggam ke arah kerumunan hitam di depannya diiringi mantra penakluk yang makin keras ia serukan. Mahluk-mahluk itu meraung marah sambil terus merangsek. Tangan-tangan mereka terjulur, seolah siap mencekik. Laki-laki itu kini menyulut pasak kayu hitam dengan api lilin. Lalu melontarkannya ke tengah kerumunan itu. Kayu berapi itu berpusing seperti gasing di lantai. Nyalanya semakin membesar dengan suara menderu bersuit-suit bak angin puting beliung. Bug! Tubuh lelaki itu mendadak terpental dan terhempas beberapa meter ke belakang.

Terdengar jerit kesakitan. Sosok-sosok hitam berasap itu kini mulai terbakar. Udara terasa pekak oleh teriakan-teriakan ngeri. Api membubung, membentuk pusaran besar yang bergerak menyapu segala sudut dengan gemuruh desauan angin. Lantas menghisap mahluk-mahluk itu tanpa ampun dan menguncinya dalam inti api. Beberapa saat kemudian api berangsur-angsur mengecil, lalu padam. Ruangan itu kembali pada kesunyiannya. Seakan-akan tak pernah ada sesuatu pun yang terjadi.

Lelaki itu terpaku sesaat. Sisa keringat dingin menetes di keningnya. Sungguh kejadian yang luar biasa dan sulit dipercaya. Seringai kemenangan menyala di bibirnya. Lunas sudah hutang janjinya untuk membalaskan kematian rekan-rekan Tim Empat. Bardi mendadak gilaenam bulan setelah peristiwa kebakaran itu sebelum akhirnya mati gantung diri. Setahun kemudian Mohtap tewas disambar truk saat tengah berhenti di lampu merah. Sementara Ulung, sudah tiga tahun ini ia lenyap begitu saja bak ditelan bumi. Meninggalkan isteri dan dua orang anak yang kebingungan setengah mati. Ia yakin mahluk-mahluk inilah yang harus bertanggungjawab karena telah menyebar teror ketakutan dalam benak mereka.

Dengan tenang ia menyalakan rokok. Dalam nyala pemantik api matanya menandai onggokan abu sisa bakaran yang masih berasap. Sampah tetaplah sampah, makinya dalam hati. Ia tahu betul siapa orang-orang yang kini menjadi abu. Tak lain dari sekumpulan bajingan tengik, bekas residivis, penjahat kambuhan, dan tukang-tukang palak. Sampah yang diangkutnya dari jalanan, dimobilisir dengan sejumlah bayaran dan minuman keras. “Pulanglah kalian ke neraka,” desisnya. Diinjaknya onggokan itu dengan rasa puas.

***

Pagi masih amat dini tatkala ia sampai di mulut gang menuju rumahnya. Dimatikannya mesin motor. Ia tak ingin merusak suasana yang begitu hening. Baru beberapa meter ia menuntun motornya, di tingkungan sesosok tubuh nyaris menubruknya. Ternyata Sutimah, anak Mbok Suyem penjual gado-gado. Gadis limabelas tahun itu memang kurang waras. Siang dan malam kerjanya berkeliaran menyusuri gang.

“Pagi-pagi begini mau ke mana, Mah?” sapanya. Sutimah tak menjawab. Gadis kurus itu mematung memandanginya. Matanya membeliak seperti ketakutan dan mulutnya yang biasa melongo menganga kian lebar. “Hantuuuuu!!!” jerit Sutimah seraya tunggang-langgang menjauh. Lelaki itu terkekeh geli. “Dasar bocah nggak waras,” gerutunya pelan.

Tanpa suara ia membuka pintu rumahnya. Lampu di dalam menyala, isterinya pasti sudah bangun. Dilongoknya kamar tidur. Tampak si bungsu sedang berceloteh sendiri di atas dipan. Segera ia menghampiri dan menyapanya. Bocah berusia sebelas bulan itu mendadak terdiam. Matanya yang bulat jernih menatapnya terbelalak. Penuh ngeri. Lalu tiba-tiba ia menangis keras sekali.

***

Octaviana Dina

Jakarta, 2003

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun