Mohon tunggu...
(Rosita Mulya Ningsi) Ocha
(Rosita Mulya Ningsi) Ocha Mohon Tunggu... profesional -

ada banyak pertanyaan yang membutuhkan jawaban... akan tetapi ada lebih banyak hal yang justru hanya butuh kita pertanyakan... sedangkan jawaban.. hanyalah tingkatan menuju pertanyaan-pertanyaan lainnya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Media Massa dan Budaya Politik

14 Januari 2012   13:46 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:54 2149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Marketing Politik dan Pertarungan Citra

Peluang kebebasan pers yang semakin terbuka, sejak jatuhnya rezim orde baru tidak kemudian membuat pers dalam hal ini media massa menjadi media yang bebas dan terlepas dari berbagai kepentingan politik. Justru semakin ke sini keberadaan media massa malah jauh lebih besar dalam proses membentuk dan melahirkan sebuah budaya dan sistem politik di Indonesia. Bahkan lebih jauh, media massa mampu mengendalikan, mengarahkan bahkan menentukan titik point bagi praktisi politik dalam melakukan berbagai aktivitas dan prilaku politiknya.

Kendali-kendali media massa tersebut sebenarnya tidak terlepas dari bagaimana kemudian media massa itu sendiri di tempatkan dalam kancah perpolitikan tanah air. Lebih jelasnya, sejauh mana media massadi beri ruang untuk ikut serta dalam proses politik.

Berkaitan dengan hal itu di dalam proses berpolitik, maka kita harus melakukan tindakan-tindakan persuasif. Baik itu dalam rangka mempertahankan konstituen, maupun untuk menarik hati calon konstituen agar kemudian menjatuhkan pilihan pada pelaku politik itu sendiri.

Berdasarkan hal tersebut maka kita melihat ada banyak peluang yang dimiliki oleh media massa untuk terlibat ataupun mengendalikan sistem dan dinamika politik pada wilayahnya. Hal yang paling menonjol adalah Melalui iklan politik, iklan politik adalah proses yang kita sebut juga dengan pemasaran politk (marketing Politik).

Adapun Marketing menurut Bruce I Newman adalah proses memilih customer, menganalisa kebutuhan mereka dan kemudian mengembangkan inovasi produk, advertising, harga dan strategi distribusi dalam basis informasi. Marketing dalam pengertian Bruce bukan dalam pengertian marketing biasa, melainkan produk politik berupa image politisi, platform, pesan politik dan lain-lain yang dikirim ke audiens dan diharapkan menjadi konsumen yang tepat.

Pendapat lain dikemukakan oleh Mauser, G yang mendifinisikan marketing sebagai ‘influencing mass behavior in competitive situations’. Marketing politik dianalogikan kepada marketing komersial. Misalnya di sektor komersial harus memiliki target audience dari pemilih yang harusnya mendukung, menggunakan media massa, dalam sebuah lingkungan kompetitif yang dipadati lebih dari satu ‘brand’ produk. Meskipun memang akan ada perbedaan mendasar antara marketing politik dengan marketing komersial. Misalnya, marketing politik mengukur kesuksesan tidak dalam term keuntungan melainkan dalam hasil voting dan efektivitas power.

Akan tetapi lebih jauh Marketing politik dalam sebuah Pemilihan Umum (Pemilu) memainkan peran yang sangat penting karena merupakan bagian dari aktivitas persuasi dalam pendekatan marketing politik itu sendiri. Selanjutnya Kampanye mengemas pesan politik secara intensif dalam kurun waktu tertentu yang dibatasi, guna mendapatkan pengaruh di kalangan khalayak politik. Dengan harapan, khalayak mendukung dan menjatuhkan pilihan pada kandidat yang mengkampanyekan diri tersebut. Meskipun marketing politik ada juga yang dilakukan melalui media-media luar ruang akan tetapi tetap saja media massalah yang memegang peranan paling besar.Dan fenomena ini di awali pada pemilu tahun 2009 dimana semakin kuatnya peranan media massa di Indonesia dalam proses mengkonstruksi citra para kandidat baik perseorangan (caleg, capres dan cawapres) maupun organisasi partai politik. Pemanfaatan media untuk mendongkrak popularitas sebenarnya telah mulai marak dan bebas sejak Pemilu 1999 dan semakin menguat di Pemilu 2004 hingga Pemilu 2009 dan akhirnya melahirkan sebuah budaya politik baru di Indonesia.

B.Budaya-budaya Politik dalam ruang PertarunganCItra

1.Budaya politik Narsistik

Bisa kita katakan kemenangan SBY pada Pemilihan Presiden secara langsung Pemilu 2004, merupakan keberhasilan marketing politiknya, karena partainya sendiri bukanlah partai pemenang Pemilu. Pada Pamilu 2009, masa kampanye diperpanjang menjadi 9 bulan dimulai 12 Juli 2008-April 2009. Dengan 38 partai peserta Pemilu, dan banyaknya tokoh yang menyatakan diri siap menjadi kandidat Presiden dan Wakil Presiden, tentunya kian meramaikan “pertarungan citra” dalam merebut hati para pemilih. Kandidat yang menguasai industri citra tentunya akan memperbesar peluangnya memenangkan pertarungan tersebut.

Dan media massalah sebagai pelaku utama dalam Industri Citra Tersebut, dalam hal ini kemampuan media massa untuk melampaui batas antara ruang dan waktu tersebut. Kemudian membuat media massa di percaya oleh banyak pelaku politik untuk melakukan proses pencitraan atas dirinya. Dengan tujuan utama tentunya adalah di kenal oleh calon konstituennya. Yang pada akhirnya adalah pencitraan tersebut kemudian mampu membuat masyarakat menjatuhkan pilihan pada dirinya.

Sehingga tidak heran ketika pada pemilu 2009 bermunculan berbagai pernak-pernik dan bentuk iklan politik yang “aneh”seperti misalnya sebuah baliho yang berhasil di rekam oleh teman-teman kompas, sebuah baliho yang mengiklankan seorang calon legislatif yang menggunakan baju superman. Keberadaan baliho tersebut kemudian menjadi perhatian banyak orang. Sehingga dalam waktu singkat iklan tersebut menjadi bahan pembicaraan, baik itu pembicaraan yang bersifat positif maupun negatif. Akan tetapi apapun sifat pembicaraan tersebut hal itu kemudian mampu mendongkrak popularitas si kandidat.

Kemudian kita juga di kagetkan ketika tiba-tiba, calon presiden SBY muncul di acara realityshow bukan 4 mata. Sesuatu fenomena yang kita lihat narsistik sekali. Bagaimana kemudian seorang calon presiden, yang telah menjadi presiden selama 5 tahun tersebut (INCUMBEN) kemudian muncul di acara realiti show yang biasanya menghadirkan artis-artis ataupun kelompok orang yang menjadikan popularitas sebagai sumber kehidupannya. Maka kita lihat, ada budaya politik Narsistik di sini. Sehingga tidak heran jika kita temukan seorang calon legislatif yang mengiklan dirinya dengan menggunakan Atribut superman agar lebih mudah dikenal dan di ingat oleh masyarakat sasarannya. Narsis sekali bukan seorang calon DPRD “menjual” diri dengan menganalogikan dirinya sebagai seorang SUPERMAN.

Selanjutnya, Industri pencitraan tersebut kemudian mengubah identitas para politisi kita, dari seorang politikus, Ahli negara dan dianggap mampu menjadi pelaku dan pembawa perubahan justru pelaku dan elit politik kita menjadi selebritis negara (politisi Selebritis).

Kalau SBY yang adalah merupakan calon Incumben pada Pemilu 2009 lalu, yang kemudian berani tampil dan melakukan pencitraan di acara reality show tersebut. Maka tidak heran kalau banyak partai politik kemudian menjadikan artis dan selebriti sebagai kandidat yang akan di usung.

Karena dalam hitungan dan perhitungan politiknya, dalam budaya politik narsistik, yang lebih mengedepankan selebritis politik ketimbang figur politik inilah yang kemudian membuat partai politik yang memiliki ambisi untuk memenangkan pemilu kemudian mengusung artis/aktor/bintang-bintang media massa (TV). Dengan demikian partai politik tidak perlu mengeluarkan budget dan energi yang besar untuk mendongkrak popularitas dan elektabilitas kandidat yang di usung.

Pertanyaannya, bagaimanakah sebenarnya media massa mengubah budaya politik tersebut?

Dalam proses kerja media massa maka kita kemudian mengenal Teory agenda setting, dimana dalam perspektif agenda setting, media massa memang tidak dapat mempengaruhi orang untuk mengubah sikap, tetapi media massa cukup berpengaruh terhadap apa yang dipikirkan orang. Ini berarti media massa mempengaruhi persepsi khalayak tentang apa yang anggap penting. Bila Prabowo dan Partai Gerindra secara terus menerus diberi label penolong dan pelindung para petani, pedagang tradisional maka lambat laun Prabowo akan dianggap dalam persepsi khalayak sebagai penolong dan pelindung wong cilik. Iklan Prabowo dalam berbagai versi di televisi ternyata mampu menaikan tingkat penerimaan khalayak akan sosok Prabowo dan partai Gerindra. Berkat Iklannya yang terus menerus di berbagai televisi menurut hasil Survey Lembaga Survey Nasional (LSN) pada 20-27 September 2008, menunjukkan tingkat elektabilitas pemilih menjadi 14, 2 persen.

Dengan demikian dia menempati posisi ketiga setelah SBY dengan tingkat elektabilitas 30 persen dan Megawati 15,3 persen. Hasil Survey terhadap 400 responden di 15 Kota tersebut menunjukkan alasan mengapa mereka tertarik Prabowo, jawabannya ternyata 79,9 persen responden menyatakan mereka tertarik karena Iklan Probowo yang simpatik dengan pesan-pesan mewakili para petani, nelayan dan pedagang pasar tradisional. Ini menunjukkan hal penting, bahwa jika media selalu mengangkat citra Prabowo yang dekat dengan kaum petani nelayan dan pedagang pasar tradisional maka pemilih pun akan memikirkan bahwa Prabowo sebagai sosok yang penting sebagaimana yang dicitrakan oleh media.

Dan ruang kuasa media yang memonopoli industri pencitraan inilah yang kemudian mengubah budaya Politik di Indonesia. Dan mari coba kita lihat sejauh apa kemudian media massa dalam proses Industri Pencitraan tersebut mengubah dan merekonstruksi budaya politik di Tanah Air.

2.budaya politik Instan

Ketika kita coba flashback ke zaman orde baru, dimana di masa orde baru partai golkar dengan segenap sistem dan mekanisme pengkaderannya mencoba mendidik kader-kadernya untuk berpolitik dan menjadi pelaku politik praktis. Maka saat ini proses itu tidak diperlukan lagi. karena yang terpenting adalah bukan seberapa mengerti seseorang kandidat dengan politk dan mekanisme berpolitik akan tetapi lebih kepada seberapa terkenal dan populernya seseorang. Dan kita melihat bahwa ada budaya Instanisasi politik yang juga telah di terima dan menjadi tindakan utama setiap aktivitas perpolitikan Kita.

Kuasa Medialah yang kemudian mengubah prilaku politik masyarakat maupun elit politik tersebut. Maka meskipun sangat mahal, akan tetapi berpolitik dengan memanfaatkan “Industri pencitraan” ini menjadi pilihan utama bagi pelaku politik. Dengan demikian pelaku politik tidak perlu bercapek-capek mengkader diri. Mereka bisa fokus dengan berbagai urusan mereka. Karena semuanya sudah dikerjakan oleh media massa.

Kemudian, keberadaan media massa yang telah mampu mempengaruhi perubahan Hingga pada Tahap Sosiosferlah yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan di masyarakat. ketergantungan masyarakat kepada media massa, di era masyarakat globalisasi informasi ini. akhirnya menempatkan media massa pada urutan teratas kebutuhan manusia setelah sandang pangan dan papan.

Hal ini kemudian di dukung pula dengan tingkat kecerdasan masyarakat yang masih sangat minim. Sehingga masyarakat belum mampu melakukan proses seleksi atas setiap informasi yang di sajikan oleh media massa. Bahkan masyarakat kita cenderung menganggap apapun yang dikatakan media itu adalah benar. Masyarakat kita yang mayoritas adalah masyarakat kelas menengah ke bawah, seolah-olah membiarkan diri mereka dalam posisisebagai objek dari media massa. Yang secara sadar maupun tidak menerima setiap suntikan informasi yang di berikan oleh media massasebagai suatu kebenaran. maka dengan demikian serta merta kemudian masyarakat benar-benar larut dalam pasar Industri Pencitraan itu.

3.Budaya Politik Kekerasan

Sistem politik yang berada dalam gerak dan ruang Industri pencitraan ini kemudian juga melahirkan Budaya politik kekerasan. Dimana kekerasan dalam berbagai bentuk menjadi halal dan sah. Untuk memenangkan CITRA, seorang kandidat akan melakukan apa saja. Bahkan tindakan-tindakan curang tersebut dilakukan dalam rangkan meraih simpaty dari calon konstituen/masyarakat. dalam pemilihan gubernur tahun 2010 lalu misalnya. Bagaimana beberapa kandidat saling mengeluh dan rame-rame mengadu ke media massa sebagai orang yang telah terzalimi.

Terzalimi oleh penantang mereka, karena banyak sekali baliho ataupun atribut iklan mereka yang di rusak. Tuduhan pencemaran nama baik hingga rengekan-rengekan manja layaknya anak kecil yang mengadu ke ibu mereka karena mainan mereka di rebut oleh temannya adalah pemandangan yang sangat lazim.

Dan pada saat itu, saya kebetulan juga memiliki kenalan ang cukup dekat. Kenalan saya tersebut adalah beberapa orang yang ikut serta sebagai tim sukses dari berbagai kandidat yang berbeda. Dan dalam kesempatan yang berbeda mereka dengan jelas mengatakan kepada saya. Bahwa sesungguhnya merekalah yang melakukan tindakan tersebut. Atas tujuan tim kampanye mereka. mereka kemudian merobek atribut – atribut pencitraan kandidatnya sendiri. Dan pada akhirnya mereka menuduh pihak lawanlah yang melakukannya.

Mengapa demikian, hal tersebut adalah serta merta untuk memperoleh simpati dari masyarakat. walaupun harus memfitnah, saling menjelekkan. Dan bahkan terkadang hingga pada terjadinya bentrok fisik yang menimbulkan banyak kerugian. Baik itu kerugian nyawa maupun materi.

Sering sekali kita lihat bagaimana antar pendukung calon bentrok bahkan hingga berdarah dan menimbulkan korban jiwa. Hal tersebut sekali lagi biasanya di picu oleh fitnah dan proses mengkambinghitamkan kandidat lawan.

C.Wajah politik dalam ruang Pertarungan CITRA

Kita lihat betapa buruknya budaya politik kita saat ini, pertama berpolitik dianggap sebagai proses narsistik. Dimana yang terpenting adalah bagaimana menjadi terkenal (selebritis). Sehingga dengan tenangnya SBY kemudian mencoba Membuat Album dan melakukan Rekaman. Laah SBY mau Jadi Presiden Atau mau jadi Penyanyi. Sekali lagi pelaku-pelaku politik kita terjebak dalam budaya narsistik. Yang ke semua itu sesungguhnya berakar dari politik yang dikendalikan oleh Industri Pencitraan.

Selanjutnya, politik hanya di lihat sebagai PEMILU, dan Tugas Politisi adalah memenangkan pemilu. Soal lainnya itu tidak menjadi penting. Padahal perlu di ketahui, dalam ruangnya sebagai negara maupun political will tertentu, politisi adalah representasinya. Bagaimana kemudian para politisi mampu mewakili negara maupun wilayah politik tertentu untuk menghegemonikan setiap kepentingan negaranya.

Bagaimana seharusnya presiden mampu menaikkan posisi dan kedudukan indonesia dalam ruang politik Indonesia. Setiap peluang dan kesempatan itu yang harus di lihat seharusnya. Kelemahan dan kelebihan mengenai itu yang harus di lihat. Bukan seberapa dekat SBY Dengan BARACK OBAMA. Atau seberapa mesra SBY Dengan presiden Rusia. Akan tetapi lebih kepada seberapa berharga INDONESIA di mata dunia.

Dan itu yang terlupakan, dan tidak benar-benar disadari. Karena politik kita adalah sebuah proses politik yang serba instan, serba cepat dan tanpa proses pembelajaran dan pemahaman yang utuh mengenai politik. Sehingga wajar saja yang dilakukan SBY adalah bagaimana caranya untuk memperat hubungannya secara pribadi dengan OBAMA. Bahkan ketika harus mengorbankan Negaranyapun itu tidak menjadi soal. Kedekatan SBY dengan OBAMA dianggap mampu menaikkan Citranya secara pribadi. Apalagi saat OBAMA memang menjadi salah satu figur politik yang melambung tinggi di masa sekarang ini.

Ambisi untuk menaikkan citra pribadinya itu, membuat politisi kita lupa. Ada banyak peluang untuk memperkuat posisi Indonesia Di mata dunia. Krisis Finansial Eropa dan Amerika ternyata tidak cukup membuat Indonesia mampu berhenti untuk bergantung dengan Amerika. Bahkan dengan bangganya malah SBY Pamer keakraban dengan Obama saat kongres Asean di Bali. Bahkan dengan sengaja, selakuketua Asean SBY memberi ruang OBAMA untuk melakukan Intervensi terhadap Asean? Dan tanpa SBY sadari pada saat itu, SBY tengah memperlemah posisi Indonesia bahkan di mata negara-negara di Asean.Dan sekarang seolah-olah Indonesialah yang menjadi Negara Boneka, yaitu bonekanya AMERIKA SERIKAT. Malang sekali memang tapi itulah yag terjadi. dan kembali lagi hal tersebut terjadi. karena kita masih meletakkan politik dalam ruang-ruag kuasa media massa yag mengendalikan Industri Pencitraan tadi.

Dan yang terakhir adalah, budaya politik kekerasan dan cengeng. Lucu sekali ya, ketika tiba-tiba seorang presiden mengeluh dan mengatakan saya itu terancam, saya diancam akan dibunuh. Dan lain sebagainya. Mendengar dan menyaksika berita tersebut di berbagai media massa membuat saya teringat keponakan saya. Suatu hari sepulang sekolah dia berlari dan mencai ibunya sambil menangis. Sambil terisak-isak dia menceritakan bagaimana temannya mengambil mainannya. Memcibilinya dengan lidah dan matanya. Dan dia tersedu-sedu. Kemudian ibunya langsung menghibur, berjanji akan membelikan mainan baru agar anak tersebut tidak menangis lagi.

Saya melihat betapa cengengnya para elit politik kita, demi mendapatkan simpati dari masyarakat kemudian merengek, menyampaikan perkataan yang sangat tidak layak disampaikan oleh seorang presiden. Ya wajarlah kalau ada orang yang mau membunuh dia. Dia itu presiden. Orang penting. Oleh karena itu pula negara harus mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk menggaji paspampres, membeli mobil lapis baja dan semua fasilitas termasuk para petugas ke amanan yang rela bergantian berjaga untuk melindungi beliau yang sedang tidur. Oooh Alangkah lucunya negeri ini.

Selanjutnya politik yang dikendalikan oleh Industri Pencitraan kemudian melahirkan Budaya politik yang sarat kekerasan, sebagaimana sudah coba saya jelaskan di awal. Keinginan untuk memenangkan rangking “CITRA” Tertinggi membuat setiap pelaku politik rela melakukan apapun. Bahkan ketika harus menyakiti oranglain. Memfitnah orang lain. Hingga akhirnya mengadu domba dua kelompok yang dengan polosnya membawa harapan untuk sebuah perubahan.

Dua kelompok itu adalah masyarakat pendukung, harapan akan perubahan seperti yang dijanjikan oleh politisi melalui “kebenaran” yang mereka transformasikan melalui media massa kemudian membuat mereka rela melakukan apasaja. Bahkan untuk mengorbankan nyawa mereka.

Tindakan para kandidat yang saling memfitnah ini kemudian memicu reaksi dan akhirnya berujung konflik antar pendukung yang tidak jarang berujung pada kekerasan massal dan menimbulkan banyak korban nyawa maupun materi. Dan sekali lagi tetap saja masyarakatlah yang menjadi korbannya.

Pada kenyataan ini, bagaimana Pertarungan citra membuat kandidat-kandidat dan pelaku politik telah melakukan kekerasan. Tidak hanya sekali, bahkan berkali-kali. Pertama dia menyakiti kandidat pesaing/lawannya dengan berbagai tindakan fitnah yang dilakukannya.

Kemudian yang kedua dia telah melakukan kekerasan kepada publik dengan kebohongannya. Dan yang terakhir dia telah melakukan kekerasan kepada orang-orang yang telah mendukungnya. Orang-orang yang mengorbankan waktu, suara dan energi mereka. ternyata juga hanya dibalas dengan kekerasan dan kenyataan menyakitkan. Kembali lagi ini hanya demi memenangkan CITRA.

D.Kesimpulan

Terakhir, saya ingin mencoba menarik kesimpulan dari penjelasan panjang yang coba saya jabarkan di atas, Kita lihatbagaimana sebuah proses politik yang dikendalikan oleh INDUSTRI PENCITRAAN, melahirkan berbagai format budaya dan prilaku politik di bumi kita tercinta ini. dan kembali lagi, media massalah yang menjadi pelaku utama dari setiap Aktivitas Produksi dan reproduksi Citra dalam rangka memfasilitasi terlaksananya pertarungan citra tersebut telah mampu mereproduksi budaya politik kita pada saat ini.

Bagaimana media massa telah mampu menstrukturasi sistem politik di Indonesia. Merestrukturasinya dengan berhasil memproduksi maupun merepduksi budaya-budaya politik baru yang pada akhirnya membuat politik di lihat sebagai sesuatu yang kotor. Sesuatu yang hanya bicara soal pemilu.

Bengkulu, 13 Januari 2012

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun