Dia sering menghabiskan waktu menyendiri di warung Karmila sembari menyeruput kopi hitam. Karmila berbaik hati memberinya bon setiap kedatangan Amir dan tahu kalau Dia pasti tak kunjung membayar uang kopinya.Â
Selain sepupu ayahnya, Amir tak punya uang sepeser pun di kantongnya. Suatu hari ketika sedang suntuk di warung Karmila, Amir terkejut kaget ketika ayah Karmila memegang bahunya dari belakang.
"Kapan kau datang Mir?" tanya Dulla sambil merapatkan pantatnya disamping bangku Amir dan menjabat erat tangannya. "Sudah berminggu-minggu Dul, kuboyong anak dan istriku juga." Kata Amir sambil menghirup nafas panjang.Â
Dia melanjutkan, "Sepertinya jakarta bukanlah sandaran terbaik untuk orang sepertiku yang berpendidikan pas-pasan. Makanya kuputuskan pulang kampung. "Kata Amir datar sambil meminum kopinya penghabisan."
Amir melanjutkan perbincangan. "Dul, apa yang kamu kerjakan sekarang?"
"Aku masih nganggur Mir. Tiga ekor bebek manila yang kuternak hilang digondol maling." Dul menunduk sambil menggigit bibir atasnya. Setelah selesai minum kopi, mereka berdua beranjak keluar untuk membicarakan sesuatu.
Berjalanlah mereka berdua tiga puluh meter berbelok kiri ke rumah Amir sembari mengaso di teras rumahnya. Menyambung percakapan tentang masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang. Seketika Amir mendapatkan ilham: "Aku ingin mengajakmu Dul bekerja, itupun kalau mau?"
"Kerja apa Mir?" Balas Dulla.
"Tapi janji! Jangan bocorkan ke siapa-siapa." sambil memberi keyakinan terhadap sepupunya itu. "Aku mau membuat uang palsu sebanyak-banyaknya. Ilmu ini kudapatkan dari kawan di ibukota dulu yang di pecat dari bank negara." kata Amir menatap dalam ke mata Dulla. "Kamu yakin Mir?"
"Sebelum aku pulang ke sini, kupelajari berhari-hari cara membuat uang palsu itu dari kawanku itu."
"Kawanmu itu baik sekali, masih di jakarta Ia?"