Mohon tunggu...
Ilmiawan
Ilmiawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Lagi belajar nulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Penulis yang Mencoba Menulis tentang Patah Hatinya

25 Januari 2022   19:51 Diperbarui: 25 Januari 2022   19:54 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Selepas malam tak henti-hentinya mengguyur hujan, pagi ini aku menemukan diriku bertelungkup pada ubin dingin yang sedikit lembab di balkoni. Aku tak mengingat dengan pasti perihal yang kulakukan hingga aku bisa berada disini dengan bertelanjang dada dan sebuah buku Khalil Gibran yang hancur lebur. 

Halaman demi halamannya bersepah ruah hingga tak tahu lagi yang mana pembuka dan penutup. Boleh jadi, ada beberapa halamannya sudah hilang ditiup angin, atau lebur menjadi bubur dibasahi hujan. Ditambah celana pendek basah akibat entah itu ulah hujan yang diam-diam menyempil atau kencing yang kini membentuk genangan kuning di sekitar paha.

Kepingan ingatan tak satupun memunculkan kejadian tadi malam, tetapi ada satu perasaan akan kehilangan yang sungguh menyesakkan dadaku. Entah asap rokok yang membentuk awan di paru-paru atau aku memang benar-benar telah kehilangan seseorang yang kucinta tadi malam. Aku tak tahu pasti. Hujan semalam tentu telah menghapus jejak kakinya di luar sana.
Mungkin, seseorang itu yang menjadikanku seorang yang gila di malam jahanam itu.

Aku melihat sebotol whiskey kosong di atas meja bersama selembar kertas yang telah dicoreti tinta mesin tik selepas aku menyapu tirai dan masuk ke kamar. Aku tak tahu apa yang kulakuan hingga membuat kamar jadi porak-poranda seperti habis dijarah para pribumi di tahun 98.

Tapi ada satu yang aku ingat itu. Untuk waktu yang lama, baru semalam aku kembali dapat menulis akan perasaanku. Lihatlah kata-katanya: memujamu, mencintaimu, mengasihimu, masih kau tinggalkan aku.

Sungguh menyedihkan. Bertahun-tahun aku membaca buku, hanya itu kosa kata yang kumiliki untuk mencurahkan isi hatiku? Malu, apa kata Almarhum Sapardi bila ia membaca tulisan itu.

Langsung kuremuk dan kubuang ke tong sampah. Dengan masih keadaan setengah telanjang dan sisa kencing berkerak di sekitar selangkangan, aku duduk di kursi itu. Meraih mesin tik untuk kedua kalinya setelah sekian lama. Dan aku mencoba. Mencoba. Mencoba.

Oh sial, cukup lama aku di sana, hanya kata mencoba saja yang kutulis berulang kali. Aku perlu sebatang rokok. Seingatku di lemari masih ada dua bungkus lagi. Aku tak berniat menghabiskan dua bungkus rokok untuk sebuah puisi tentang patah hati. Tetapi setidaknya aku tahu, bila satu rokok tak cukup, aku masih punya yang lain.

Setelah menyulut sebatang, aku menatap langit-langit membayangkan cintaku yang hilang disapu hujan malam.

Ah iya, aku ingat kami sempat bercinta saat hujan menggempur loteng dengan 1000 pisaunya. Aku kembali menulis.

Bercinta, bercinta, bercinta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun