Kuliah Kerja Nyata (KKN) atau Kukerta bukan sekadar kewajiban akademik yang harus ditempuh mahasiswa, tetapi juga menjadi jembatan untuk mengenal lebih dekat denyut kehidupan masyarakat. Tahun 2025 ini, saya berkesempatan melaksanakan Kukerta Mandiri dengan tema besar "Membangun Kampung Kito" di Desa Sukadamai, Kabupaten Muaro Jambi. Selama kurang lebih 45 hari, terhitung sejak 7 Juli hingga 20 Agustus, saya merasakan pengalaman luar biasa yang tidak hanya menambah wawasan, tetapi juga menumbuhkan rasa cinta dan tanggung jawab terhadap masyarakat.Â
Fokus utama kegiatan saya bertempat di Mushola Miftahul Huda, yang menjadi pusat aktivitas ibadah dan sosial warga. Dari sinilah program kerja utama saya berjalan: pembinaan generasi Qur'ani dan gerakan cinta lingkungan. Dua hal ini saya yakini sebagai pondasi penting dalam membangun kampung---menumbuhkan karakter religius pada generasi muda sekaligus menanamkan kesadaran akan pentingnya menjaga kebersihan dan lingkunganÂ
Minggu pertama dimulai dengan langkah sederhana namun penuh makna. Pada 9 Juli, saya ikut membantu anak-anak belajar mengaji antara maghrib dan isya. Suasana mushola yang hangat dengan lantunan ayat-ayat suci membuat saya merasa cepat menyatu dengan kehidupan desa. Selain itu, saya juga ikut membersihkan mushola, karena kebersihan adalah bagian dari ibadah.Â
Memasuki minggu kedua, pada 17 Juli, kegiatan saya masih berlanjut dengan mengajar ngaji. Namun, perbedaannya adalah ikatan emosional dengan anak-anak semakin terasa. Mereka bukan lagi sekadar murid, tetapi sahabat kecil yang penuh semangat dalam menuntut ilmu agama.Â
Minggu ketiga menghadirkan suasana berbeda. Pada 23 Juli, saya bersama warga ikut meramaikan pawai pembukaan Musabaqah Tilawatil Qur'an (MTQ). Saya juga turut mendampingi peserta dari Desa Sukadamai hingga penutupan. Ada rasa bangga tersendiri melihat generasi muda desa tampil percaya diri membawa nama baik kampung mereka. MTQ bukan hanya lomba, tetapi juga perayaan atas semangat religius yang hidup di tengah masyarakat.
Tanggal 2 Agustus di minggu keempat menjadi momen yang penuh warna. Selain tetap mengajar ngaji dan membersihkan mushola, saya bergabung dengan latihan hadroh bersama Majelis Ahbabul Itthad. Suara tabuhan rebana berpadu dengan sholawat membuat suasana malam semakin syahdu, menyatukan hati warga dalam irama kebersamaan.
Minggu kelima, pada 10 Agustus, kegiatan kembali berjalan seperti biasa: mengajar ngaji dan menjaga kebersihan mushola. Meski sederhana, rutinitas ini menjadi pengingat bahwa konsistensi dalam hal kecil dapat membawa dampak besar bagi pembentukan karakter generasi muda.Â
Puncaknya terjadi pada 18 Agustus, minggu keenam. Bersama warga dan rekan mahasiswa KKN Mandiri, kami menggelar gotong royong di madrasah. Kami membersihkan lingkungan sekolah sore sekaligus memasang spanduk penerimaan siswa baru. Ada semangat kebersamaan yang begitu kental hari itu, seakan menegaskan bahwa gotong royong masih menjadi ruh kehidupan desa.Â
Dari seluruh rangkaian kegiatan ini, saya menyadari bahwa Kukerta bukan hanya soal program kerja yang direncanakan. Lebih dari itu, ia adalah tentang bagaimana kita hadir, berbaur, dan meninggalkan jejak kebaikan yang bisa terus dilanjutkan oleh masyarakat. Saya belajar bahwa membangun desa tidak selalu harus dengan hal besar, tapi bisa dimulai dari hal-hal sederhana seperti mengajar ngaji, membersihkan mushola, atau membantu,madrasah.Â
Kini, meskipun Kukerta Mandiri ini telah usai, saya berharap semangat yang kami bawa tetap hidup di Desa Sukadamai. Anak-anak terus bersemangat menuntut ilmu agama, mushola tetap ramai dengan kegiatan, dan masyarakat semakin mencintai lingkungannya. Bagi saya pribadi, 45 hari ini bukan sekadar angka, melainkan cerita hidup yang akan selalu-saya-kenang.Â