Perawat merupakan suatu profesi yang vital dalam sistem kesehatan dan didominasi oleh perempuan. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga terjadi di seluruh bagian dunia. Profesi perawat memiliki stereotip sebagai profesi feminin di masyarakat, hal ini mengakibatkan minimnya jumlah pekerja laki-laki pada profesi ini. Perbandingan jumlah antara perawat laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan jumlah yang cukup signifikan, salah satu alasannya adalah profesi perawat yang membutuhkan sikap telaten, rasa peduli dan simpati yang tinggi sehingga dianggap kurang cocok untuk jenis kelamin laki-laki yang lebih mengutamakan kekuatan fisik daripada perasaan. Namun, sebuah stereotip seharusnya tidak menghalangi siapapun untuk berprofesi karena setiap individu sejatinya mampu untuk menunjukkan ketelatenan, rasa peduli dan simpati dalam merawat klien, bergantung pada keinginan dan niat. Gender seharusnya tidak menjadi batasan dalam dunia profesi karena pada hakikatnya keseimbangan dan kesetaraan gender dibutuhkan dalam dunia profesi.
 Selain itu, kehadiran perawat laki-laki sebenarnya dibutuhkan dalam dunia keperawatan demi keseimbangan dan kelancaran pelayanan kesehatan. Sebagai contoh yaitu pasien laki-laki yang terkadang akan merasa lebih nyaman bila ditangani oleh perawat sejenis dan kemampuan fisik laki-laki diperlukan dalam menangani pasien tertentu. Masyarakat harus mengubah cara pandang tersebut sehingga di masa mendatang tidak ada lagi pandangan yang terbatas terkait jenis kelamin terhadap suatu profesi, terutama profesi perawat.Â
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan pada tahun 2019 dalam Nurjanah (2022), 70 persen dari 1.244.162 total jumlah tenaga medis di Indonesia berjenis kelamin perempuan. Secara lebih rinci disebutkan dalam Erdianto (2020), menurut Doni Monardo, Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, mengatakan bahwa 71 persen dari jumlah perawat di Indonesia berjumlah 256.326 orang berjenis kelamin perempuan, sementara 29 persen sisanya yang berjumlah 103.013 orang berjenis kelamin laki-laki. Sedangkan data dunia pada tahun 2022, jumlah perawat laki-laki menunjukkan angka yang lebih kecil yaitu hanya 11 persen. Angka ini sudah meningkat dari tahun-tahun sebelumnya yaitu pada tahun 2020 sebesar 9,4 persen dan signifikan pada tahun 2015 sebesar 8 persen (National Nursing Workforce Study, 2023). Berdasarkan data tersebut, memberikan gambaran bahwa profesi keperawatan didominasi oleh perempuan, tidak hanya pada tingkat nasional tetapi juga secara global.
Pengelompokan pekerjaan berdasarkan jenis kelamin muncul pada masyarakat karena beberapa alasan, dalam Kinanti et al. (2021), alasan yang pertama yaitu masing-masing jenis kelamin memiliki perbedaan dalam berpikir dan bertindak sehingga kepribadian atau kualitas berpikir dan bertindak tersebut dibutuhkan dan berpengaruh dalam melakukan suatu pekerjaan (Cejka & Eagly, 1999; Shinar, 1975). Alasan lain yaitu karena jumlah peminat berdasarkan masing-masing jenis kelamin itu sendiri dalam melakukan suatu pekerjaan (Adachi, 2013; Eagly & Stefen, 1984). Keberhasilan dalam dunia kerja dipandang masyarakat memiliki keterkaitan dengan kualitas feminin dan maskulin, dimana kualitas maskulin diasosiakan dengan laki-laki dan feminin diasosiakan dengan perempuan (Cejka & Eagly, 1999). Dalam Kinanti et al. (2021), kualitas maskulin merupakan kualitas yang berkaitan dengan karakteristik agentic yang terdiri dari rasa percaya diri, tegas, independen, ambisius, dominan, kontrol, dan kompetitif. Sedangkan kualitas feminin berkaitan dengan karakteristik communal yang terdiri dari rasa perhatian terhadap kesejahteraan individu lain seperti memberikan afeksi, peduli, ramah, tidak egois, dan ekspresif (Eagly & Karau, 2002). Berdasarkan hal tersebut, apabila seseorang melakukan pekerjaan yang kualitasnya berlawanan dengan gendernya maka akan berdampak terhadap hilangnya utilitas yaitu munculnya rasa ambigu yang dapat menyebabkan pekerja tersebut kehilangan identitas. Sebagai contoh yaitu seorang laki-laki yang bekerja sebagai profesi perawat akan menunjukkan karakteristik sikap communal yang berlawanan dengan identitas dirinya yaitu perilaku sensitif dan emosional sehingga perawat tersebut merasa kehilangan identitas maskulinnya.
Menjadi seorang perawat tidak selamanya menjadi feminin atau kehilangan maskulinitas untuk pekerja laki-laki. Memang benar bahwa seorang perawat perlu untuk memiliki sikap sensitif terhadap perasaan klien dan karakteristik communal lainnya seperti peduli, ramah, memberikan afeksi, sabar, dan tidak egois, akan tetapi hal tersebut tidak dapat menjadi alasan atau penyebab seluruh kepribadian maskulin hilang tergantikan dengan kepribadian feminin. Sesuai dengan nilai profesionalisme dalam keperawatan, perawat dianjurkan untuk memiliki nilai aesthetic, altruisme, equality, autonomy, human dignity, dan truth (Taylor et al., 2010). Nilai-nilai tersebut dapat ditanamkan dalam diri perawat terutama perawat laki-laki sebagai bekal dalam melakukan asuhan keperawatan dan menjadi perawat profesional tanpa mengesampingkan kualitas maskulin dirinya. Pertama, aspek estetika merupakan aspek memperhatikan bagaimana perawat memberikan pelayanan kesehatan dengan menciptakan citra positif dan lingkungan yang nyaman untuk klien. Hal ini dapat ditanamkan dengan merawat diri sendiri dan menciptakan lingkungan yang bersih, rapi, dan nyaman. Kedua, Altruisme sebagai nilai yang mendahulukan kepentingan bersama, tercermin dalam sikap caring, seperti memperkenalkan diri, tersenyum, dan merawat dengan kesabaran.Â
Hal ini dapat ditanamkan dengan terlibat dalam kegiatan sosial yang bersifat sukarela dan menawarkan bantuan tanpa mengharapkan imbalan. Ketiga, nilai equality diwujudkan melalui sikap adil dan tidak membeda-bedakan klien yang dapat ditanamkan dengan bersikap atau berperilaku sama kepada individu yang satu dengan individu lainnya tanpa membedakan latar belakang dan SARA. Keempat, otonomi menekankan penghargaan terhadap hak klien dalam pengambilan keputusan kesehatan, melibatkan mereka dalam setiap keputusan. Hal ini dapat ditanamkan dengan bersikap memberikan seseorang hak untuk menentukan pilihan sendiri. Kelima, human dignity atau martabat manusia yaitu mengajarkan perawat untuk menghormati nilai keunikan klien, seperti menjaga kerahasiaan dan memberikan ruang untuk bercerita. Hal ini dapat ditanamkan dengan menghargai setiap individu dan mendengarkan cerita individu tersebut dengan empati. Terakhir, nilai truth atau kejujuran tercermin dalam akuntabilitas, kejujuran, dan rasa ingin tahu, seperti melakukan tindakan sesuai SOP dan upaya mencari informasi ketika ditemui hal yang tidak dipahami. Nilai ini dapat ditanamkan melalui sikap jujur dalam melakukan segala hal mulai dari hal yang kecil sekalipun. Keenam nilai tersebut dapat ditanamkan sejak dini oleh laki-laki sehingga dapat menjadi perawat profesional tanpa harus kehilangan kualitas maskulin dirinya.
Stigma masyarakat tentang perawat laki-laki yang cenderung bersifat feminin karena suatu pekerjaan dapat diatasi dengan meningkatkan jumlah perawat laki-laki untuk mengurangi atau menghilangkan kesalahpahaman. Oleh karena itu, masyarakat harus mengubah pandangan atau stigma mereka agar laki-laki tidak lagi ragu untuk melangkah menjadi seorang perawat. Ketidakseimbangan gender dalam profesi penting untuk diatasi terutama dalam profesi keperawatan karena dapat meningkatkan kualitas perawatan klien dan mengembangkan profesi keperawatan. Selain itu, meningkatkan jumlah pekerja laki-laki dalam keperawatan dapat memastikan adanya sumber daya manusia yang lebih besar bagi institusi dan lembaga perawatan kesehatan untuk menariknya. Perbedaan jenis kelamin dalam penyedia layanan kesehatan dapat meningkatkan interaksi dan perawatan terhadap klien, dimana klien perempuan cenderung lebih nyaman terhadap perawat berjenis kelamin perempuan dan begitupun sebaliknya. Hal tersebut dapat memaksimalkan proses asuhan keperawatan (Morris, 2022). Selain itu, perawat pria juga dibutuhkan dalam pelayanan kesehatan karena terjadinya peningkatan kebutuhan pelayanan primer, tenaga fisik pria yang lebih maksimal, dan preferensi gender dalam beberapa tindakan (Monroe & Kroning, 2020).
Perawat laki-laki menghadapi tantangan signifikan dalam profesi keperawatan yang didominasi oleh perempuan. Stereotip gender dan pandangan masyarakat yang menganggap perawatan sebagai pekerjaan yang lebih cocok untuk perempuan telah menyebabkan minimnya partisipasi perawat laki-laki. Data dari Kementerian Kesehatan dan studi global menunjukkan perbedaan jumlah yang signifikan antara perawat laki-laki dan perempuan, menegaskan perlunya kesetaraan gender dalam keperawatan. Pengelompokan pekerjaan berdasarkan jenis kelamin, terkait dengan persepsi karakteristik agentic dan communal, menunjukkan bahwa pendekatan inklusif diperlukan untuk mengubah pandangan terhadap perawat laki-laki tanpa mengorbankan maskulinitas. Peningkatan jumlah perawat laki-laki diharapkan dapat mengatasi stigma yang terkadang dihubungkan dengan sifat feminin, menciptakan lingkungan kerja yang inklusif, dan merespons preferensi gender pasien.Â
Kesetaraan gender di keperawatan bukan hanya soal peluang yang setara, tetapi juga meningkatkan kualitas asuhan kesehatan dengan memanfaatkan keberagaman gender. Perubahan persepsi masyarakat, upaya pendidikan yang mendukung keberagaman gender, dan penciptaan lingkungan kerja inklusif menjadi kunci dalam mengatasi minimnya perawat laki-laki, sehingga diharapkan keperawatan menjadi profesi yang seimbang secara gender, menghormati kontribusi dari semua individu, dan tetap memberikan pelayanan kesehatan berkualitas tinggi bagi masyarakat. Secara keseluruhan, perubahan pandangan terhadap perawat laki-laki memerlukan usaha bersama dari semua pihak. Dengan menciptakan lingkungan yang mendukung kesetaraan gender dan menghapus stigma, profesi keperawatan di Indonesia dapat menjadi lebih inklusif, beragam, dan dihormati oleh masyarakat secara keseluruhan.
REFERENSI
Erdianto, K. (2020, April 23). Ketua Gugus Tugas: Peran Perempuan dalam Penanganan Covid-19 Luar Biasa. Kompas. https://nasional.kompas.com/read/2020/04/23/19095001/ketua-gugus-tugas-peran-perempuan-dalam-penanganan-covid-19-luar-biasa