Mohon tunggu...
Nurul Septiani Wulan Sari
Nurul Septiani Wulan Sari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Instagram : @nurulwlnsri

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Peningkatan Pelayanan Kesehatan Melalui Cognitive Behaviour Therapy untuk Mengatasi Gangguan Mental pada Mahasiswa

29 Januari 2024   14:04 Diperbarui: 29 Januari 2024   14:09 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://kampuspsikologi.com/cognitive-behavioral-therapy/




"The Stronger Person Is Not The One Making The Most Noise But The One Who Can Quietly Direct The Conversation Toward Defining And Solving Problems."

~Aaron T. Beck (Bapak Cognitive Behaviour Therapy)


Kesehatan mental mempunyai peranan yang sangat penting bagi mahasiswa baik mahasiswa baru maupun mahasiwa lama. Beradaptasi dengan ligkungan perkuliahan yang baru  harus didukung dengan kesehatan mental yang unggul. Selain mahasiswa baru, mahasiswa lama pun mengalami beberapa gangguan kesehatan mental yang diakibatkan ketidakseimbangan antara perkuliahan dengan organisasi , dan tuntutan-tuntutan yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Belakangan ini, depresi, stres, dan gangguan kecemasan menjadi jenis gangguan mental yang banyak dialami mahasiswa di Indonesia. Masalah kesehatan jiwa merupakan masalah kesehatan yang belum teratasi di masyarakat, baik di tingkan nasional maupun global. Secara global, satu dari tujuh anak usia 10-19 tahun mengalami gangguan mental, yang merupakan 13% dari beban penyakit global pada kelompok usia ini (WHO, 2021).

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar oleh Kementerian Kesehatan (2018), jumlah keseluruhan gangguan mental emosional yang terjadi di indonesi pada usia 15 tahun ke atas mencapai 9,8% dari jumlah penduduk, dan angka ini meningkat dibandingkan dengan tahun 2013 yang sebesar 6%. Depresi, kecemasan dan gangguan perilaku merupakan salah satu penyebab utama penyakit dan kecacatan di kalangan mahasiswa. Kecemasan adalah suatu keadaan emosi yang dipakai untuk menunjukkan respons emosional yang tidak sesuai dengan keadaan yang menimbulkan rasa takut (Adriansyah et al., 2015). Menurut Kurmaraswamy (2013) dalam lingkup perguruan tinggi, diperlukan adanya pusat konseling dan upaya untuk memupuk kesadaran mahasiswa akan pentingnya mencari bantuan ketika mengalami gangguan kesehatan mental. Berkaitan dengan hal tersebut, penyelenggaraan layanan kesehatan mental menjadi suatu sistem yang dibutuhkan baik dalam penyelenggaraan upaya promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif. Penggabungan berbagai pendekatan ini, dilakukan dalam upaya untuk merangkul berbagai kelompok status mental, baik itu kelompok dengan risiko rendah, risiko sedang, maupun risiko tinggi.

Mahasiswa merupakan masa pada batasan remaja akhir dan dewasa awal. Masa ini merupakan masa kondisi mental yang tidak stabil, diiringi dengan konflik dan tuntutan serta perubahan suasana hati (Suryanto & Nada, 2021). Perasaan dan perilaku seseorang akan dipengaruhi oleh cara pandangnya terhadap diri sendiri dan hubungannya dengan lingkungannya. Penyebab gangguan kesehatan mental pada mahasiswa bermacam-macam. Mulai dari faktor genetic, masalah lingkungan, hingga pengalaman traumatis. Perilaku mahasiswa yang menjadi cemas saat menghadapi beban tugas yang makin bertambah, harus segera menyelesaikan makalah dan tugas akhir (skripsi), atau harus  berbicara di depan umum untuk mempresentasikan suatu tugas dapat dikaitkan dengan hal tersebut. Hal ini disebabkan oleh pengaruh pemikiran yang tidak rasional dalam menyikapi diri sendiri dan lingkungan. Penyebab gangguan mental lainnya adalah kesedihan, trauma (stres internal), kegelisahan, kekerasan, perundungan atau bullying, dan ketakutan.

            Menurut WHO (2021), Bunuh diri adalah penyebab kematian keempat pada kelompok usia 15-29 tahun. Konsekuensi dari kegagalan mengatasi kondisi kesehatan mental remaja akan meluas hingga masa dewasa, berdampak buruk pada kesehatan fisik dan mental, serta membatasi peluang untuk  menjalani kehidupan yang membahagiakan pada masa depan. Mahasiswa dengan penyakit kronis, cacat intelektual atau kondisi neurologis dan mahasiswa dari latar belakang etnis atau adanya diskriminatif lainnya bisa menjadi faktor-faktor yang dapat menyebabkan kecemasan. Akibatnya, banyak mahasiswa yang stres berlebihan, timbul rasa cemas, perasaan tidak bahagia dalam hidup, merasa sedih berkepanjangan tanpa sebab yang jelas, tidak peduli dengan lingkungan sekitar, merasa lelah yang signifikan, sering marah berlebihan hingga mengalami masalah tidur.

Dalam mengatasi masalah gangguan mental ini, ada beberapa cara yang dilakukan. Salah satunya terapi kognitif. Terapi kognitif perilaku sering digunakan untuk menangani masalah kesehatan mental, seperti kecemasan dan depresi, gangguan pola tidur, skizofrenia, dan gangguan seksual obsessive-compulsiv disorder (OCD). Selain itu, terapi kognitif perilaku juga membantu mahasiswa menghadapi masalah yang ditemui sehari-hari.  Salah satu terapi kognitif adalah menerapkan intervensi CBT. Terapi ini membantu mahasiswa dengan mengidentifikasi apa yang salah dengan proses berpikirnya, menantang asumsi yang mendasari pikiran negatif mereka dan mengubah perilaku mereka. Oleh karena itu, mahasiswa yang menjalani terapi kognitif diharapkan mengalami penurunan kecemasan karena terapi perilaku kognitif  membantu mahasiswa untuk lebih mengenali dan memahami proses berpikirnya sendiri sehinga meningkatkan kemampuan dalam mengatasi permasalahan.

Terapi perilaku kognitif (CBT) mengacu pada kelas intervensi yang memiliki premis dasar bahwa gangguan mental dan tekanan psikologis dipertahankan oleh factor kognitif. Premis inti dari pendekatan pengobatan ini, seperti yang dipelopori oleh Beck (1970) dan Ellis (1962), menyatakan bahwa kognisi maladaptive berkontribusi pada pemeliharaan tekanan emosional dan masalah perilaku. Menurut model Beck, kognisi maladaptive mencakup keyakinan umum, atau skema tentang dunia, diri sendiri dan masa depan sehingga menimbulkan pemikiran spesifik dan otomatis dalam strategi tertentu. Model dasarnya menyatakan bahwa strategi terapeutik untuk mengubah kognisi maladaptive ini menyebabkan perubahan tekanan emosional dan perilaku bermasalah (Hofmann et al., 2012).

Menurut (Rahmadiani, 2020) Intervensi CBT dilakukan dalam sembilan sesi dan setiap sesinya terdapat proses evaluasi terkait sejauh mana subjek dapat menerapkan keterampilan barunya. Sesi 1: Membangun rapport dan komitmen bersama. Sesi 2: Identifikasi pemikiran-pemikiran negatif. Sesi 3: Mengajari hubungan antara kognitif -- emosi -- perilaku. Sesi 4: Melatih subjek menghasilkan pemikiran positif dan rasional. Sesi 5: Latihan relaksasi. Sesi 6: Exposure I. Sesi 7: Exposure II. Sesi 8: Exposure III. Sesi 9: Follow up.

 CBT dikatakan terbukti efektif dalam mengobati gangguan psikologis, dan sangat efektif dalam mengobati pasien depresi dan kecemasan, dibandingkan intervensi obat. Selain itu, CBT terbukti efektif dalam membantu mahasiswa yang mengalami panik atau cemas, gangguan mood, depresi dan gangguan perilaku. Bukan hanya CBT, solusi lain yang bisa dilakukan untuk mengatasi gangguan kesehatan mental pada mahasiswa dapat diatasi melalui beberapa cara, seperti tidur dan istirahat yang cukup, mengurangi asupan kafein, mengonsumsi makanan bergizi, hindari minuman beralkohol, atau zat penenang lainnya, tidak merokok, dan olahraga teratur,. Gunakan metode relaksasi sederhana, seperti yoga atau meditasi. Setiap mahasiswa harus fokus pada dirinya sendiri tanpa harus mengabaikan orang lain. Para orang tua dapat mendorong anak untuk lebih mencintai diri sendiri guna menstabilkan kesehatan mentalnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun