Mohon tunggu...
Nurul Rahmawati
Nurul Rahmawati Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger bukanbocahbiasa.com | IG @bundasidqi | Twitter @nurulrahma

Halo! Saya Ibu dengan anak remaja, sering menulis tentang parenting for teens. Selain itu, sebagai Google Local Guides, saya juga kerap mengulas aneka destinasi dan kuliner maknyus! Utamanya di Surabaya, Jawa Timur. Yuk, main ke blog pribadi saya di www.bukanbocahbiasa.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bahagia Melihat Orang Bahagia

7 Agustus 2019   10:49 Diperbarui: 25 Juni 2021   09:47 552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahagia Melihat Orang Bahagia | Dokpri

Sudah sering dengar hadits ini bukan? Sejauh mana kita serius merenungkannya? Sampai dibagian mana kita jujur mencocokkan hadits ini dengan perilaku keseharian kita? Dengan lintasan-lintasan hati kita?

Atau kita membacanya dengan sambil lalu. Karena sudah menyerah, mengaku tak sanggup menjalankannya. Bahwa berat kalau kita itu disuruh bahagia terus setiap melihat saudara kita bahagia. Bahwa kalau kita suka punya banyak harta, maka kita harus bahagia kalau orang lain punya harta lebih banyak dari kita. 

Juga soal kedudukan. Kita harus bahagia melihat teman kita dipromosi jabatannya. Juga soal pendidikan. Kita harus bahagia apabila anak teman kita diterima di perguruan tinggi negeri favorit sedang anak kita di perguruan tinggi swasta.

Baca juga: Termasuk Orang Bahagiakah Kita?

Tapi begitulah seharusnya seorang mukmin. Bahagia melihat orang lain mencapai keberhasilannya. Bahagia melihat orang lain bisnisnya tumbuh. Bahagia melihat orang lain memperoleh apa yang diinginkannya. Bahagia melihat mereka bahagia. Meski kita tak memiliki seperti yang mereka miliki.

Ada satu alasan besar mengapa bahagia melihat orang bahagia itu sulit dilakukan. Yaitu disebabkan kita selama ini biasa didorong berkompetisi dan bersaing. Dan jarang dilatih ikut bahagia dengan keberhasilan orang lain. Pola kalimat "masak kalah" lebih banyak mengisi otak kita daripada pola "ikut bahagia".

Padahal sebenarnya, insting berkompetisi tak perlu terlalu diajarkan. Ia sudah menjadi bawaan sejak lahir. Sudah menjadi bawaan manusia, berlomba-lomba ingin menjadi yang terbaik.

Mari berandai-andai. Disebuah reuni sekolah. Kita bertemu dengan teman. Yang dulunya katakanlah bodoh. Miskin. Udik. Lalu di reuni saat ini, ia datang bersama anak istrinya. Rapi dan anggun. Istrinya sangat cantik. Gaun hijabnya berkelas. Anak-anaknya bersih dan lucu. 

Ternyata ia sukses. Jadi bos perusahaan-perusahaan. Sedangkan kita. Yang dulu lebih cerdas di kelas. Sekarang nasibnya rumah masih kontrak. Mobil tak punya. Jujur, bisakah kita tulus ikut bahagia dengan kesuksesan teman kita? atau basa-basi di lisan saja, tapi hati protes kepada Allah 

Kalau kita sepakat bahwa pesan Nabi itu penting. Serius untuk diamalkan. Bahwa tidak dikata iman sampai kita mencintai teman kita sebagaimana kita mencintai diri kita sendiri. Harusnya iman level ini sungguh-sungguh diperjuangkan. Salah satunya, tidak lagi memprovokasi diri, anak, dan tim kita dengan kalimat-kalimat "masak kalah!". Karena ia akan menjauhkan dari standart keimanan yang diinginkan Nabi .

Padahal siapa yang tak ingin memiliki hati mukmin ideal seperti yang digambarkan Nabi . Betapa senangnya, bila setiap melihat orang lain bahagia, kita ikut bahagia. Meluaslah area kebahagiaan kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun