Mohon tunggu...
Nurul Purnamasari
Nurul Purnamasari Mohon Tunggu... lainnya -

Membaca jadi candu, menulis mengobati rindu @NurulPurnama07

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Eeee...KTP

9 Mei 2013   20:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:50 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam medio dua minggu ini di berbagai jejaring sosial sedang ramai membicarakan aturan yang dikeluarkan Mendagri tentang larangan fotokopi e-KTP. Katanya chip e-KTP akan rusak jika berulang kali terpapar suhu tinggi dari mesin fotokopi. Dengan kata lain, kita sebagai pemegang e-KTP hanya boleh satu kali memfotokopi jika tidak ingin kartu identitas baru ini rusak dan harus membuat lagi. Larangan yang keluar tiba-tiba dan kontroversial. Lagi-lagi e-KTP menuai masalah.

Pertanyaannya, siapakah yang tidak siap dengan e-KTP, masyarakat atau pemerintah? Secara berjamaah jawaban yang sudah diduga adalah pemerintah. Saya pun beranggapan demikian. Bukan tanpa alas an saya mengatakan demikian, karena ribuan cerita tentang pemrosesan e-KTP beredar dan bahkan kita alami. Saya akan mulai dari cerita yang dialami oleh keluarga saya dulu.

Kami (saya dan kedua orangtua) sudah melaksanakan foto e-KTP sejak awal November 2011. Setelah foto, saya tanya pada petugas kapan e-KTP kira-kira akan jadi, dijawab sekitar Februari 2012. Nyatanya Februari 2012 berlalu tanpa ada undangan pengambilan e-KTP. Baru pada September 2012 ada undangan dari Ketua RT atas nama bapak saya untuk mengambil e-KTP di Kecamatan. Berangkatlah kami bertiga, dengan persepsi seperti halnya undangan untuk foto yang atas nama kepala keluarga, berarti pada saat pengambilan pun yang tertera dalam undangan adalah nama beliau (kepala keluarga). Namun kami harus kecewa karena e-KTP yang jadi baru milik bapak, milik ibu dan saya belum jadi. Kata pak petugas, dalam satu keluarga memang belum tentu jadi bersamaan. Februari 2013, KTP ibu habis masa berlakunya. Waktu itu kebetulan bapak sedang ada urusan di kecamatan, sekalian menanyakan apakah e-KTP atas nama ibu sudah jadi? Jawabannya, BELUM.

Petugas kecamatan menyuruh agar ibu mengajukan permohonan perpanjangan KTP. Bapak yang berlatarbelakang sarjana hukum beradu debat dengan petugas kecamatan. “Kalau warga terlambat memperpanjang KTP, kena denda. Lalu kalau pemerintah terlambat menjadikan e-KTP warganya, apa dendanya?” Si petugas diam saja. Mungkin juga bingung mau jawab apa. Pokoknya ibu harus memperpanjang KTP sampai e-KTP jadi yang entah kapan. Pertengahan April lalu undangan atas nama saya akhirnya datang, saya pun segera ke kecamatan untuk mengambil e-KTP. Sama dengan bapak, saya menanyakan tentang nasib e-KTP ibu. Jawabannya, “Paling lambat pertengahan Juni, karena itu tenggat waktu pemrosesan e-KTP.” Hufftt…

Itu cerita kami. Beda lagi dengan cerita seorang teman dari Sukoharjo, Jawa Tengah. Dia mengaku sampai sekarang belum dapat undangan untuk foto. WHAT??? Usut punya usut nama suaminya tidak terdaftar di kecamatan. Padahal dalam kartu C1 tercantum sebagai kepala keluarga. Petugas kecamatan bilang keluarga teman saya harus menunggu sampai urusan e-KTP massal selesai, baru data mereka diperbaiki. Kacau…kacau….

Cerita lain yang lebih menggelikan dari teman yang berdomisili di Sleman dan Muntilan. Mereka punya cerita yang mirip, yaitu e-KTP dibagikan oleh ketua RT. Selesai. Saya sempat diam mendengar cerita mereka, arena seharusnya e-KTP itu diaktivasi menggunakan card reader di kecamatan dengan mencocokkan sidik jari.  Saat saya bilang tentang proses aktivasi, mereka malah gantian bengong.

Mis-informasi dialami oleh sebagian dari kita, hingga akhirnya muncul kabar tentang Permendagri yang melarang e-KTP difotokopi. Katanya proses fotokopi bisa merusak chip yang ada dalam kartu. Kenapa baru sekarang saat hampir sebagian besar masyarakat sudah menggunakannya untuk mengajukan kredit, perpanjangan SIM, pengurusan paspor, akta nikah, dan lain-lain. Jika memang Permendagri itu sudah keluar sejak 2011, kenapa baru disosialisasikan sekarang? Terus terang saya heran dengan aturan ini. Karena sebagai mahasiswa yang memiliki KTM-ATM, saya biasa memfotokopi kartu identitas itu untuk bermacam urusan. Tentunya ada chip disana atau alat sensor yang juga sensitif pada suhu tinggi, toh nyatanya sampai hari ini saya masih bisa melakukan transaksi dengan KTM-ATM tersebut.

Apa iya chip e-KTP tergolong yang murahan sehingga mudah rusak? Lalu kalau ternyata ratusan ribu e-KTP rusak, butuh berapa waktu lagi kita punya kartu identitas yang layak? Apa ganti rugi negara untuk rakyat? Bisa dipastikan rakyat yang disalahkan jika benar terjadi kerusakan massal e-KTP akibat fotokopi. Pokoknya saya tidak mau dipersalahkan kalau e-KTP saya rusak, wong saya saat saya mengambil e-KTP petugasnya tidak memberitahu apa-apa dan tidak ada pemberitahuan yang tertempel di kecamatan.

Akhir kata, ini loh…kebiasaannya Indonesia. Mengeluarkan aturannya kapan, sosialisasinya kapan. **

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun