Di tengah derasnya arus globalisasi digital, pertanyaan ini menjadi semakin relevan: masihkah film Indonesia punya tempat di hati penonton dalam era Netflix dan TikTok? Seperti kita lihat, bahwa merebaknya konten media sosial yang berseliweran di beranda kita, dengan mudahnya menyita waktu dan perhatian kita. Pertanyaannya adalah; masihkah kita peduli untuk nonton film Indonesia? Mari kita bincangkan.
Kini, layar bioskop tak lagi jadi satu-satunya tempat kita menikmati cerita. Dalam genggaman tangan, ada ratusan judul dari seluruh dunia yang siap ditonton kapan saja. Netflix menawarkan ragam tontonan dengan kualitas teknis mumpuni, sementara TikTok menyuguhkan hiburan cepat, singkat, dan sangat adiktif. Dalam dua klik, emosi kita bisa naik-turun dari tawa hingga tangis --- semua tanpa harus duduk dua jam di bioskop.
Dominasi Platform Global
Sejak pandemi, pola konsumsi film masyarakat Indonesia berubah drastis. Bioskop sempat mati suri, dan kebiasaan streaming meningkat. Netflix, Disney+, hingga Prime Video masuk ke pasar Indonesia dengan modal kuat: teknologi, dana produksi besar, dan jangkauan global.
Bahkan ketika bioskop dibuka kembali, sebagian masyarakat --- terutama generasi muda --- lebih nyaman menonton di rumah. Atau malah pindah ke TikTok, tempat mereka bisa menonton mini-drama, sketsa komedi, dan cuplikan film dalam durasi 15 detik hingga 3 menit.
Tantangan Besar bagi Sineas Lokal
Ini menjadi tantangan berat bagi para pembuat film Indonesia. Bagaimana bersaing di tengah budaya instan ini? Bagaimana membuat film panjang yang relevan dan menarik perhatian publik yang terbiasa dengan konten singkat dan serba cepat?
Bukan hanya soal durasi, tapi juga soal atensi. TikTok menciptakan algoritma yang tahu persis kapan penonton bosan, kapan harus memberi kejutan. Sementara film menuntut perhatian utuh --- duduk, menyimak, merenung. Di sinilah benturan budaya tontonan terjadi.
Namun, masih ada harapan
di balik tantangan, sebenarnya masih banyak alasan untuk optimis. Film Indonesia belakangan menunjukkan perkembangan kualitas cerita dan teknis. Lihat saja Joko Anwar, Angga Dwimas Sasongko, Mouly Surya, hingga Kamila Andini --- mereka membawa film Indonesia ke festival internasional dan menembus pasar global.
Beberapa film Indonesia bahkan tayang di Netflix dan Prime Video --- memperluas jangkauan tanpa harus bersaing langsung di bioskop. Film seperti "Yuni", seperti "Dendam", "Rindu Harus Dibayar Tuntas", hingga "24 Jam Bersama Gaspar" adalah bukti bahwa kita bisa relevan di tengah persaingan global.