Mohon tunggu...
Nurul Muslimin
Nurul Muslimin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Orang Biasa yang setia pada proses.

Lahir di Grobogan, 13 Mei 1973

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ini yang Mestinya dilakukan Pemerintah dalam Dunia Film (Bagian #1)

16 September 2017   15:44 Diperbarui: 16 September 2017   18:00 3156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: http://ruangberkah.blogspot.co.id

Sedikit ilustrasi sebelum kita bahas tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah dalam dunia film. Betapa sangat berpengaruhnya film terhadap perilaku masyarakat, terutama anak-anak sebagai generasi muda kita. Tak jarang kita membaca atau melihat berita, terjadinya kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak atau remaja, bahkan oleh orang dewasa karena telah menonton dan terpengaruh oleh adegan atau cerita dalam film.

Film bisa menjadi senjata yang cukup 'mematikan', meski secara perlahan. Oleh mereka (bangsa) yang cerdik dan sekaligus jahat, film menjadi salah satu medium untuk merusak karakter bangsa lain. Film bisa menjadi salah satu media yang sekarang banyak disebut sebagai proxi-war. Karena kerusakan yang ditimbulkan bisa bersifat massive. Sebuah peperangan yang dilakukan oleh dua atau lebih negara dengan menggunakan pihak ketiga untuk menghancurkan lawan.  Karena film (di tangan penjahat) bisa menjadi alat propaganda politik, pemecah belah persatuan bangsa dan penggeser paradigma ideologi sebuah bangsa.

Sebaliknya, film di tangan orang baik juga bisa bermanfaat. Artinya, film bisa pula menginspirasi perilaku masyarakat untuk bertindak atau berperilaku dalam kebaikan. Ketika film telah menjadi 'senjata', maka efek dari 'senjata' itu adalah siapa yang ada di balik senjata itu. Bisa bernilai positif atau negatif. Banyak orang menyebut istilah ini dengan : "The man behind the gun".

Dalam tulisan Natashya Julian di Kompasiana menyebutkan, bahwa Joko Anwar, sutradara film Janji Joni (2005) pernah mengatakan bahwa "Film adalah bagian penting dalam hidup manusia." Julian menambahkan, bahwa industri perfilman bisa menjadi lahan potensial dalam memajukan bangsa kita baik dalam segi perekonomian, ilmu pengetahuan, dan bahkan menjadi salah satu medium untuk melestarikan budaya Indonesia. Nah,jelas kan, bukan hanya hiburan? Maka secara pribadi saya mengapresiasi pada bangsa kita sebagai bangsa Timur yang berusaha membentengi dari pengaruh negatif tersebut, dengan munculnya undang-undang tentang perfilman (Undang-undang No. 8 Tahun 1992). Munculnya undang-undang ini saya nggak melihat ada greget yang cukup menukik perhatian pemerintah dalam duni perfilman. Hanya aturan normatif saja yang tertuang di dalamnya. Maka munculnya UU No. 33 Tahun 2009, aturan main (rule of the game)-nya saya lihat semakin jelas dan tegas. Meskipun ada beberapa pasal yang multi interpretative dan debatable.

Mengapa bab ini saya tulis secara khusus? Sebenarnya semata-mata agar kita, baik masyarakat secara umum maupun masyarakat perfilman membuka mata dan sedikit cermat dalam melihat peta permasalahan apapun yang terjadi dalam dunia perfilman kita. Sehingga kita akan lebih bijak dalam menentukan sikap, kepada siapa kritik kita tujukan. Karena, belum tentu ketika dunia perfilman mengalami stagnasi atau bahkan kemunduran, adalah kesalahan dari pemerintah, DPR, atau undang-undang yang dihasilkan. Bisa jadi masyarakat perfilman sendiri yang kurang merespons terhadap sistem yang ada. Atau sistemnya yang kliru? Atau sebaliknya, pemerintah yang kurang greget dalam melaksanakan undang-undang? Atau, apa?

Tulisan ini spesifik untuk mencermati peran pemerintah dalam dunia film, maka paling enak untuk melihat apa yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah melihat undang-undangnya. Menurutku --secara esensial-- undang-undang merupakan komitmen pemerintah bersama wakil rakyat (DPR) dalam 'melayani' atau mensejahterakan rakyatnya. Mengapa demikian? Karena pemerintah sebagai eksekutor program, apapun yang dilakukan harus sesuai dengan undang-undang. Ini sudah menjadi 'aturan main' dalam dunia pemerintahan kita. Keluar dari aturan itu? Jelas akan melanggar konstitusi. Jadi menurutku tidak elok untuk menyalahkan pemerintah atau DPR secara an-sich, jika apa yang kita harapkan tidak tercantum dalam undang-undang. Artinya, semua akan sia-sia jika kita menuntut kepada pemerintah untuk melakukan sesuatu (dalam bidang film), sedang hal itu tidak ada dalam undang-undang yang mengaturnya. Atau jika undang-undangnya nggak sesuai dengan kebutuhan masyarakat (karena kapasitas pembuatnya kurang berkompeten), gimana eksekusinya? Ya, kan?!

Udah, itu dulu prolognya. Sekarang kita cermati undang-undangnya yaa...  Nilai-nilai Normatif secara umum kewajiban Pemerintah terhadap Dunia Perfilman tercantum dalam konsideran Undang-undang No. 33 Tahun 2009 disebutkan: 

1. bahwa film sebagai karya seni budaya memiliki peran strategis dalam peningkatan ketahanan budaya bangsa dan kesejahteraan masyarakat lahir batin untuk memperkuat ketahanan nasional dan karena itu negara bertanggung jawab memajukan perfilman.

2. bahwa film sebagai media komunikasi massa merupakan sarana pencerdasan kehidupan bangsa, pengembangan potensi diri, pembinaan akhlak mulia, pemajuan kesejahteraan masyarakat, serta wahana  promosi Indonesia di dunia internasional, sehingga film dan perfilman Indonesia perlu dikembangkan dan dilindungi;

3. bahwa film dalam era globalisasi dapat menjadi alat penetrasi kebudayaan sehingga perlu dijaga dari pengaruh negatif yang tidak sesuai dengan ideologi Pancasila dan jati diri bangsa Indonesia;

4. bahwa upaya memajukan perfilman Indonesia harus sejalan dengan dinamika masyarakat dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi

Sengaja ini saya sebutkan secara lengkap dalam konsideran Undang-undang Perfilman, agar kita cukup untuk berfikir positif terhadap munculnya undang-undang perfilman. Bukannya berfikir bahwa undang-undang adalah 'penjara' yang mengekang kebebasan bergerak bagi masyarakat perfilman.

Dalam konsideran ini tercantum nilai normatif (terutama yang bercetak tebal/bold) yang perlu kita perhatikan, yaitu kewajiban pemerintah secara umum dalam industri film kita adalah: memajukan, mengembangkan dan melindungi dunia perfilman serta menjaga pengaruh negatif yang tidak sesuai dengan Pancasila dan jati diri Bangsa Indonesia.

Agar kita berfikir runtut, mari kita cermati pula agak lebih detail di pasal-pasalnya:

Dalam Pasal 3 Undang-undang No. 33 tahun 2009 tentang Perfilman disebutkan, tujuan perfilman adalah: a). terbinanya akhlak mulia; b). terwujudnya kecerdasan kehidupan bangsa; c).   terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa; d). meningkatnya harkat dan martabat bangsa; e).   berkembangnya dan lestarinya nilai budaya bangsa; f).  dikenalnya budaya bangsa oleh dunia internasional; g). meningkatnya kesejahteraan masyarakat; dan h). berkembangnya film berbasis budaya bangsa yang hidup dan berkelanjutan.

Di samping itu, perlu kita cermati pula Fungsi Perfilman dalam Pasal 4 disebutkan, fungsi perfilman untuk: a).  Budaya; b).  Pendidikan;  c).  Hiburan;  d).  Informasi;  e).  Pendorong karya kreatif; dan f).  Ekonomi.

Selanjutnya secara tegas disebutkan dalam Undang-undang ini tentang Kewajiban, Tugas, dan Wewenang Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam bidang perfilman, tersebut dalam  BAB V, seperti ini;

Pasal 51: Pemerintah berkewajiban: a). memfasilitasi pengembangan dan kemajuan perfilman; b). memfasilitasi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi perfilman; c). memberikan bantuan pembiayaan apresiasi film dan pengarsipan film; dan d). memfasilitasi pembuatan film untuk pemenuhan ketersediaan film Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32.

Pasal 54: Pemerintah Daerah berkewajiban: a). memfasilitasi pengembangan dan kemajuan perfilman; b). memberikan bantuan pembiayaan apresiasi dan pengarsipan film; c). memfasilitasi pembuatan film untuk pemenuhan ketersediaan film Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32; dan d). memfasilitasi pembuatan film dokumenter tentang warisan budaya bangsa di daerahnya.

Pasal 55 (1): Pemerintah Daerah mempunyai tugas: a). melaksanakan kebijakan dan rencana induk perfilman nasional; b). menetapkan serta melaksanakan kebijakan dan rencana perfilman daerah; dan c). menyediakan sarana dan prasarana untuk pengembangan dan kemajuan perfilman. (2) Dalam menetapkan kebijakan dan rencana perfilman daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, pemerintah daerah mengacu pada kebijakan dan rencana induk perfilman nasional.

Secara praktis, beberapa pasal di dalam undang-undang ini membutuhkan aturan main yang lebih detail, yaitu Peraturan Menteri (Permen). Tanpa Peraturan Menteri, beberapa pasal itu tidak aplicable, hanya bersifat normatif dan debatable. 

Itulah beberapa point sebagai amanah rakyat yang harus dilaksanakan oleh pemerintah sebagai 'pelayan' masyarakat, khususnya dalam bidang perfilman. Pertanyaan yang muncul sekarang adalah; bagaimana implementasi dari undang-undang yang menjadi 'amanah' rakyat kepada Pemerintah tersebut?  Mari kita cermati bersama sebagai bahan diskusi dan sekaligus bisa menjadi masukan untuk Pemerintah.

Sebetulnya sudah cukup lama kita mendengar pernyataan pemerintah tentang pentingnya mendorong industri kreatif sebagai sektor yang potensial di dalam ranah pengembangan ekonomi Indonesia. Bahkan sejak tahun 2011 telah dibentuk Kementerian Pariwisata & Ekonomi Kreatif yang dijabat oleh Ibu Mari Elka Pangestu. Ini menjadi indikator perhatian pemerintah terhadap industri kreatif. Namun dengan banyaknya sektor industri kreatif (16 sub sektor, termasuk sub sektor film), seakan perhatian pemerintah terpecah sedemikian banyak, sehingga di sub sektor film, dan mungkin di sub sektor yang lain juga kurang terasa dampaknya.

Permasalahan di dunia perfilman, saya melihatnya tidak jauh dari dunia sektor industri kreatif yang lain atau dunia ekonomi secara umum. Ada dunia film industri yang bersifat komersial, ada pula film makerindie. Sedangkan secara scoop kelembagaan ada yang besar, sedang dan kecil. Dalam dunia ekonomi ada yang disebut UKM (Usaha Kecil dan Menengah), ada pula yang disebut perusahaan besar (great corporate). Permasalahan-permasalah yang muncul pun relatif sama atau tidak jauh berbeda. Seperti masalah permodalan, SDM (Sumber Daya Manusia), Teknologi, Pemasaran, Manajemen, dan lain sebagainya.

Munculnya Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) yang didirikan pemerintah pada Tanggal 20 Januari 2015 malalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2015 Tentang Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) cukup memberikan 'angin segar' bagi masyarakat perfilman Indonesia. Demikian juga berdirinya Badan Perfilman Indonesia pada tanggal 17 Januari 2014 atas amanah Undang-undang No. 33 Tahun 2009 sebagai wujud partisipasi masyarakat perfilman adalah bentuk dari perhatian pemerintah terhadap dunia perfilman. Mungkin kita harus memaklumi, bahwa lembaga yang baru seumur jagung ini tidak mungkin dituntut macam-macam. Tapi apapun, melihat geliat kegiatan Bekraf patut kita apresiasi secara baik, sambil mendorong teman-teman masyarakat perfilman untuk memberikan masukan-masukan pada lembaga yang cukup strategis ini.

Begitu pula untuk BPI (Badan Perfilman Indonesia), masih belum begitu nampak geliatnya di medan perfilman yang bisa dirasakan oleh masyarakat perfilman. Saya melihat BPI masih dalam rangka mencari bentuk dan mengumpulkan masukan dan referensi untuk dijadikan programnya. Bidang Penelitiannya pun belum mengadakan penelitian secara khusus. Saya yakin pembiayaan BPI masih terkendala urusan administrasi dan prosedur implementasi undang-undang No. 33 No. 2009 itu. Karena memang tidak mudah untuk mengaplikasikan sebuah undang-undang, apalagi terkait dana rakyat yang akan digunakan. Sebetulnya ini hanya dibutuhkan kemauan pemerintah beserta DPR untuk menurunkan aturan yang lebih applicable. Karena saya yakin, jika BPI dilepas dari peran pemerintah, khususnya pembiayaannya, akan mengalami hambatan yang cukup signifikan jika tidak disertai komitmen kesungguhan para pengurus dalam menjalankan organisasinya.

Mari kita melihat permasalahan-permasalahan ini secara obyektif. Untuk melihat agak detail terhadap permasalahan ini, sepertinya lebih enak jika kita petakan beberapa hal, seperti ini:

1. SDM (Sumber Daya Manusia)

Layak kita apresiasi langkah dan program yang dilaksanakan oleh Bekraf  dalam pengembangan SDM industri kreatif khususnya sektor perfilman dengan adanya workshop, up-grading,seminar, diskusi, dan road show yang dilsayakan di beberapa daerah di Indonesia. Termasuk penerbitan buku panduan bagi pengusaha pemula di bidang industri kreatif. Tapi sayangnya, saya belum lihat buku panduan di bidang film. Hal yang sama juga telah dan sedang dilakukan oleh Pusbang Film (Pusat Pengembangan Film)- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Dengan realitas Indonesia secara geografis yang demikian luas, apa yang dilakukan oleh Bekraf & Pusbang Film jelas masih terasa minim. Di samping itu melihat banyaknya materi yang ada, jika dibanding waktu yang hanya 2 hari workshop sepertinya masih sangat kurang. Mungkin ini bisa sebagai masukan (kepada Bekraf) agar ditambah intensitas pelatihan/workshop yang diadakan. Tidak hanya untuk Bekraf, di tingkat pemerintah daerah pun perlu peningkatan adanya pelatihan-pelatihan untuk SDM perfilman. Biasanya Dinas Kebudayaan yang menjadi leading sector di bidang industri kreatif termasuk film. Kalau perlu disediakan beasiswa khusus untuk para film maker yang potensial dan berprestasi untuk menempuh pendidikan khusus perfilman baik di dalam maupun luar negeri.

Sedangkah materi pengembangan SDM tentunya tidak hanya pada konten materi perfilman, tapi juga pada manajemen produksi film, karena materi ini sangat penting untuk pengelolaan produksi film. Mulai tahap pra-produksi, produksi, post produksi, manajemen produksi, pemasaran produk (film), permodalan, termasuk materi-materi yang lain yang diperlukan. Di samping itu perlu juga program pendampingan pada komunitas-komunitas film makeruntuk pengurusan legalitasnya.

Kemudian perlu koordinasi di antara Bekraf, BPI dan Pusbang Film serta Dinas Terkait Pemerintah Daerah dalam hal peningkatan SDM perfilman. Karena ini penting untuk pembangunan SDM secara merata dan tepat sasaran, agar tidak tumpang tindih antara satu dan lainnya. Oleh karena itu pemetaan bersama dunia industri perfilman di Indonesia perlu dilakukan oleh keempat stakeholder tersebut, termasuk peran dunia pendidikan (Perguruan Tinggi), khususnya Prodi Perfilman. Jika tanpa koordinasi, pasti terjadi silang-sengkarut dan overlap program di antara stakehlder-stakeholder tersebut.

2. Permodalan

Seperti halnya dalam dunia ekonomi, dunia perfilman tidak hanya membutuhkan kreatifitas, tapi juga membutuhkan pembiayaan sebagai modal usaha.

Lulu Ratna, pengamat perfilman nasional menyoroti masalah support pemerintah dalam hal permodalan dalam industri perfilman. Menurutnya, peran pemerintah saat ini terbilang cukup minim bila melihat fakta di lapangan saat ini. Sebab banyak penggiat film nasional harus rela mengeluarkan uang pribadi untuk memproduksi film-filmnya.

Untuk dunia industri film skala menengah ke atas, mungkin saja telah mempunyai modal sendiri, atau telah dipercaya oleh perbankan untuk produksi-produksi filmnya. Meskipun tidak semua perusahaan mendapatkan kepercayaan perbankan. Saya yakin bank tidak mudah memberikan kepercayaan (trust) pada dunia usaha perfilman, paling tidak harus mempunyai portifolio produksi film yang telah menguntungkan dan prospektif. Di samping itu bank juga akan melihat track recordcalon debitur secara teliti. Karena pasti bank tidak mau menambah NPL (Non Performing Loan) dengan memberikan kucuran kredit kepada pihak yang dianggap kurang menguntungkan.

Persis seperti yang dikatakan Ketua Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI), Djonny Syafruddin  menganggap bahwa industri perfilman nasional belum masuk kategori bankable. Sehingga banyak perusahaan perbankan cukup sulit untuk memberikan pinjaman kepada para sineas atau penggiat film untuk menyediakan biaya produksi film. (Bisnis.com, 2015)

Secara umum nasib industri perfilman relatif sama dengan perusahaan Event Organizer, sulit mendapatkan predikat bankable.Mungkin dinilai karena terlalu besar resiko dan unsur gambling-nya. Nah, di sinilah peran pemerintah untuk menjembatani, atau mungkin menjadi semacam 'afalis' bagi usaha perfilman untuk mendapatkan kucuran kredit dari perbankan.

Skema yang dibuat Bekraf untuk permodalan industri kreatif cukup lengkap dan perlu kita apresiasi. Bekraf menamakan program ini dengan nama "Dekraf" (Dana Ekonomi Kreatif). Ada pinjaman dari Bank, CSR (Corporate Social Responsibility) dari BUMN (Badan Usaha Milik Negara), modal ventura, filantropi, dan pengumpulan dana publik melalui IPO (Initial Public Offerings) di Bursa Efek.

Tak hanya berhenti di konsep, Dekraft lebih lanjut diimplementasikan ke dalam beberapa program kegiatan, yakni:  1). Bekraf Financial Club (BFC), 2). Penyaluran KUR bagi pelsaya ekonomi kreatif, 3). Kelas Keuangan Konvensional dan Syariah, 4). Inisiasi terbentuknya skema Intellectual Property Financing (IPF). (http://www.bekraf.go.id).

Apapaun yang terkonsep perlu kita apresiasi, namun perlu dicatat pula, bahwa program ini berlaku untuk industri kreatif secara kelesuruhan lho! Bukan hanya film. Film hanya salah satu sub sektornya saja. Artinya, jika diambil rata-rata setia sub sektor mendapatkan nilai nominal sama, berarti sub sektor film hanya akan mendapatkan peluang sebesar 1/16 (6,25%) dari budget yang diprogramkan oleh Bekraf.

Program ini pun belum ada informasi lebih lanjut tentang hasil dari pelaksanaan program Dekraf. Mari kita pantau terus sebagai social control agar program-programnya lebih tepat sasaran dan memberikan banyak manfaat bagi dunia perfilman.

Dalam hal pembiayaan film, BPI juga membentuk suatu bidang yang dinamakan Fasilitasi Pembiayaan Film. Menurut informasi dari website BPI, program ini bertanggungjawab pada pembentukan serta pengelolaan sistem pembiyaan film tertentu yang berkualitas baik dari berbagai aspek dan kepentingan (https://www.bpi.or.id/bidang.html) Masih sangat normatif, belum jelas sistemnya, debatable dan tidak/belum applicable. Sehingga perlu di-breakdown ke dalam program kegiatan dan sistem yang lebih riil. Karena bagaimanapun sebuah program dari lembaga publik yang didirikan berdasarkan undang-undang dari pemerintah haruslah transparan. 

Program ini saya katakan masih debatable karena kriteria "film tertentu yang berkualitas baik" ini pun masih sangat bisa diperdebatkan. "Baik" yang seperti apa? Dan "Baik" menurut siapa? Ini salah satu Pekerjaan Rumah (PR) untuk BPI untuk menggarap program pembiayaan dunia perfilman agar sistematis, tepat sasaran dan transparan.

Pusbang Film pun telah merespons Pasal 51 Undang-undang No. 33 Tahun 2009 dalam bentuk fasilitasi masyarakat dalam produksi film, meskipun baru menyentuh komunitas-komunitas dengan skala produksi kecil (Rp. 40 jutaan), (Masih jauh di bawah bantuan produksi film Danais DIY yang sampai sekitar Rp. 170 jutaan per judul film). 

Peran Pemerintah Daerah juga perlu kita picu untuk lebih memperhatikan dunia perfilman. Khusus untuk Daerah Istimewa Yogyakarta dengan adanya Danais (Dana Istimewa), saya sangat apresiasi untuk program perfilmannya melalui leading sektor Dinas Kebudayaan DIY. Dalam satu tahun paling tidak sekitar 30 film di-support dalam hal pembiayaannya. Semoga akan meningkat pada tahun-tahun mendatang. Paling tidak ini menjadi trigger (pemicu) semaraknya dunia perfilman di Yogyakarta. Bagaimana dengan Pemerintah Daerah lain? Teman-teman silakan mencari referensi di daerah masing-masing dan sekaligus mendorong agar Pemda setempat bisa lebih kuat mendorong dunia perfilman.

Kembali kepada masalah koordinasi, antara Bekraf dan BPI dan  Pusbang Film mempunyai program yang substansinya sama, yakni pembiayaan ekonomi kreatif (khususnya film). Maka sangat dibutuhkan koordinasi yang baik, untuk berbagi peran wilayah antara ketiga institusi tersebut. Agar tidak overlap dan tetap menjaga ketepatan sasaran.

Sementara ini dulu yaa... tunggu tulisan bagian ke-#2. 

Wallahu A'lam

Semoga bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun