Mohon tunggu...
Nurul Muslimin
Nurul Muslimin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Orang Biasa yang setia pada proses.

Lahir di Grobogan, 13 Mei 1973

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Mengapa Perlu Melakukan Revitalisasi Lembaga KPI?

23 Juni 2017   01:46 Diperbarui: 23 Juni 2017   09:44 1992
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: okezone.com

Pola percepatan laju informasi di dunia menjadi trigger (pemicu) kecepatan di semua lini kehidupan. Ekonomi, sosial, budaya, politik, pendidikan dan lain sebagainya. Ini menjadi pertanda positif, namun perlu kita waspadai, bahwa percepatan laju informasi akan membawa implikasi negatif jika tidak ada kontrol secara baik oleh lembaga pemerintah. Karena bagaimanapun pemerintah bertanggung jawab ke arah mana masa depan bangsa akan dibawa.

Pada sekitar tahun 1980-an, saya masing ingat, jika menonton televisi harus ke Balai Desa, karena yang memiliki pesawat televisi waktu itu hanya segelintir orang saja dalam satu wilayah desa. Siaran stasiun televisi yang ada hanya TVRI (Televisi Republik Indonesia). Stasiun Radio pun yang ada hanya RRI (Radio Republik Indonesia). Sedangkan lembaga pengontrolnya waktu itu adalah Departemen Penerangan (Era Orde Baru).

Bisa kita bayangkan, pada era itu (Tahun 1980 dan era sebelumnya) masih menjadi era 'miskin' informasi. Kita hanya memiliki 2 (dua) saluran informasi yang bisa kita akses. Siaran TVRI dan RRI pada waktu itu pun jika kita bandingkan dengan era sekarang, apalagi dengan stasiun televisi dan radio swasta sangat jauh berbeda. Sekarang lebih variatif dan kreatif.

Pesatnya era informasi digital sejak tahun 1990-an yang ditandai dengan masuknya internet di Indonesia, membawa dampak yang demikian dahsyat. Akses informasi menjadi sangat cepat. Dunia seakan tanpa batas negara. Komunikasi dengan orang di belahan dunia lain bisa dilakukan realtime dan bahkan bisa live-streaming!

Dunia kreatifitas dalam bidang broadcastingdan reklame pun demikian 'gila!' Bahkan telah melampaui garis batas norma-norma etika. Di Amerika persaingan iklan antara produk soft-drink (Coca Cola dan Pepsi) menjadi contohnya (www.youtube.com). Di mana antar produsen tersebut saling serang dan saling merendahkan. Dunia kreatifitas yang tak mengindahkan nilai etika semacam itu bukan tak mungkin suatu saat masuk ke Indonesia dalam bentuk-bentuk yang lebih parah.

Perkembangan teknologi digital juga merambah dan menjangkiti dalam dunia sosial politik. Masih belum lenyap dalam ingatan kita tentang Pilkada DKI. Bagaimana sebuah berita disajikan oleh media massa dengan framing. Membingkai sebuah peristiwa dengan sudut pandang tertentu, dengan menggunakan diksi-diksi tertentu pula dan untuk tujuan-tujuan politis. 

Menurut saya framing adalah kejahatan yang dikemas dengan halus. Mengapa demikian, karena media massa era sekarang ini menjadi referensi yang cukup populer di kalangan publik, dan acap kali menjadi referensi setiap orang yang kemudian melahirkan pandangan-pandangan atau asumsi-asumsi yang mengikuti arah framing yang telah dibentuk. Padahal framing kebanyakan lebih condong kepada subyektifitas dan ada unsur pembelokan fakta empiris. Bahkan secara ekstrim mengarah pada berita bohong. Jika framing telah melewati batas-batas kebenaran empiris, maka berita tersebut telah memasuki ruang kebohongan publik alias hoax.

Inilah yang sekarang dihadapi oleh KPI (Komisi Penyiaran Indonesia). Bagaimana respons KPI terhadap kondisi situasi era yang demikian canggih, cepat dan tanpa batas? Maka menurut hemat saya, harus dilakukan sebuah re-positioning untuk lebih menjaga marwah KPI dalam melakukan kontrol terhadap lembaga penyiaran di Indonesia.

Dasar & Sistem Kontrol KPI terhadap Penyiaran

Terbitnya Undang-undang No. 32 Tahun 2002 tentang Komisi Penyiaran Indonesia menjadi jawaban terhadap kontrol dunia penyiaran di Indonesia. KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) di pasang untuk menjadi 'penjaga gawang' terhadap bocornya dunia penyiaran atas pelanggaran pada norma-norma etika dan hukum. Undang-undang tersebut merupakan dasar utama bagi pembentukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Semangatnya adalah pengelolaan sistem penyiaran yang merupakan ranah publik harus dikelola oleh sebuah badan independen yang bebas dari campur tangan pemodal maupun kepentingan kekuasaan.

Meskipun tak begitu kentara, semangat Undang-undang No. 32 Tahun 2002 ini berbeda dengan Undang-undang penyiaran sebelumnya, yakni Undang-undang No. 24 Tahun 1997 pasal 7 yang berbunyi "Penyiaran dikuasai oleh negara yang pembinaan dan pengendaliannya dilakukan oleh pemerintah". Di era demokratisasi saat ini, pasal tersebut sangat  menunjukkan bahwa penyiaran pada masa itu merupakan bagian dari alat kekuasaan yang digunakan semata-mata untuk kepentingan penguasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun