Siapa sangka sebuah film yang diangkat dari novel inspiratif karya Andrea Hirata ini bisa menjadi katalis perubahan besar di dunia pariwisata Indonesia? Laskar Pelangi yang mengangkat sebuah kisah perjuangan anak-anak miskin di pelosok Belitung yang mengejar pendidikan, tidak hanya menyentuh hati jutaan penonton, tetapi film ini juga berhasil membawa perubahan besar bagi Pulau Belitung. Setelah film ini dirilis pada tahun 2008, Belitung yang dahulu tenang dan sederhana, kini menjadi ramai dikunjungi wisatawan yang ingin melihat langsung lokasi syuting film tersebut. Fenomena ini dikenal sebagai film-induced tourism, di mana sebuah film mendorong orang untuk mengunjungi lokasi syutingnya (Beeton, 2005).
Belitung kemudian dikenal sebagai "Bumi Laskar Pelangi". Replika SD Muhammadiyah Gantong, Museum Kata Andrea Hirata, dan Pantai Tanjung Tinggi menjadi spot wisata utama. Film yang berlatar di kepulauan Belitung yang disutradarai oleh Riri Riza ini berhasil menembus box office dengan total 4,71 juta penonton. Bahkan film ini juga telah ditayangkan di berbagai mancanegara, seperti Singapura, Hongkong, Italia, hingga Amerika Serikat. Film ini juga berhasil meraih gelar sebagai film terbaik tingkat dunia yaitu " The Golden Butterfly Award" di Hamedan, Iran.
Berdasarkan data Dinas Pariwisata Belitung Timur, jumlah kunjungan wisata melonjak lebih dari 40% dalam dua tahun setelah film tersebut dirilis (Dinas Pariwisata Belitung Timur, 2010). Pemerintah dan masyarakat pun sigap memanfaatkan peluang ini, mereka mulai membangun fasilitas wisata, membuka homestay, dan menjual suvenir bertema film. Namun dibalik dampak positif tersebut muncul sebuah tantangan baru. Kurangnya perencanaan yang strategis dan infrastruktur yang dibangun terburu-buru tanpa memperhitungkan daya dukung lingkungan. Hal ini menyebabkan beberapa pantai rusak akibat overkapasitas, dan pengelolaan sampah di beberapa titik wisata juga terbukti tidak optimal (Rachmah, 2016, Jurnal Kepariwisataan Indonesia). Selain itu, muncul kekhawatiran komodifikasi budaya lokal, di mana tempat wisata dibentuk sekadar demi foto, bukan untuk pelestarian nilai budaya. Beberapa warga lokal merasa kehilangan otentisitas kampung halaman mereka yang kini lebih mirip latar film daripada ruang hidup mereka sendiri (Setiawan, 2020, Tourism and Society in Indonesia).
Kisah Laskar Pelangi ini menunjukkan bahwa sebuah film bisa membawa perubahan besar bagi suatu daerah. Belitung yang dulu sepi, kini menjadi tujuan wisata populer berkat cerita inspiratif dari film ini. Masyarakat pun mendapat banyak peluang baru dari sektor pariwisata. Namun, di balik kesuksesan itu, ada tantangan yang harus dihadapi. Tanpa perencanaan yang baik, pariwisata bisa merusak lingkungan dan mengubah budaya lokal. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak untuk terus menjaga keseimbangan antara pariwisata, budaya, dan alam.
Daftar referensi
Beeton, S. (2005). Film-Induced Tourism. Channel View Publications.
Dinas Pariwisata Belitung Timur. (2010). Laporan Perkembangan Pariwisata Pasca Film Laskar Pelangi.
Rachmah, L. (2016). "Dampak Pariwisata Berbasis Film terhadap Lingkungan di Belitung." Jurnal Kepariwisataan Indonesia, 10(2).
Setiawan, B. (2020). Tourism and Society in Indonesia: Cultural Commodification and Local Voices.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI