[caption id="attachment_361424" align="aligncenter" width="261" caption="Maulidan di Kampung Kademangaran"][/caption]
Hari ini, dua puluh lima tahun yang lalu, dimana masjid masjid, surau, dan musholla di ramaikan dengan bacaan syair kitab barzanji dengan akhiran huruf "H", dan setiap akhir bait yang dibaca akan disambut oleh para jama'ah dengan ucapan asma Allah yang maha suci. Tak hanya kaum adam, kaum hawa pun mengumandangkan syair syair yang kurang lebih sama, namun berbeda dalam intonasi. Iramanya sangat khas dan membuat bulu kuduk ini merinding karena akan selalu diingat dan selalu dirindukan pembacaan bait demi bait yang isinya memuji Allah dan Rasul Nya. Kaum hawa lebih memilih berkumpul di rumah rumah dengan sistem bergilir antar rumah dari rumah yang satu ke rumah yang lain, sedangkan kaum adam mengadakan di masjid atau surau, karena memang masjid telah menjadi pusat kegiatan masyarakat kampung itu. Ya, hari ini adalah hari penyambutan kelahiran kanjeng Nabi Muhammad Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam, panutan ummat manusia seluruh dunia yang dirayakan di kampung kelahiran saya, kampung kademangaran.
Tradisi ini berlangsung rutin tiap tahun hingga hari ini (22/12/2014), sebagai wujud penghormatan dan penyambutan milad atau ulang tahun Rasulullah SAW yang tiba 11 hari kedepan. Begitulah masyarakat kampung Kademangaran menyambut kelahiran kanjeng Nabi, manusia pilihan Allah yang menerima wahyu saat berkhalwat di gua Hira. Memang syair yang dibaca bukanlah kitab suci Al qur'an, bukan kitab sotasoma, bukan kitab mahabaratha, apalagi kitab Tripitaka. Yang dibaca adalah kitab Albarzanji, sebuah kitab yang berisi sirah nabawiyah (sejarah nabi lengkap dari menjelang lahir hingga menjelang wafat). Namun begitu, efek ramainya pembacaan kitab ini di kampung saya telah memberi saya pelajaran yang amat sangat berharga, yaitu saya selalu mengingat perjuangan Rasulullah SAW, karena kitab ini berisi kisah dan riwayat Nabi dari mulai menjelang lahir, masa kanak kanak, masa remaja, masa dewasa, hingga diangkat menjadi Rasul dan akhirnya meninggal.
#Sejarah Singkat Lahirnya Kitab Al Barzanji
Konon menurut sejarah, kitab ini lahir pada tahun 1183 Masehi, sebagai jawaban atas didudukinya  masjidil aqsa oleh umat kristiani dalam perang salib. Mereka mengubah masjidil Aqsa menjadi gereja, yang mana setiap tahun dijadikan peringatan Natal oleh kaum kristiani ditempat itu. Salahaudin Al ayubi, seorang penguasa wilayah Haramain (dua tanah suci, Makkah dan Madinah) yang dikenal brilian kemudian mempunyai pemikiran bahwa kekalahan kaum muslimin pada perang salib dikarenakan mereka tercerai berai oleh karena membela wilayahnya masing-masing, sehingga ukhuwah mereka menipis dan mudah dikalahkan. Sang raja dengan otak brilian pun akhirnya mempunyai ide dan mencari cara supaya akum muslimin bersatu. Salah satu kunci persatuan muslimin adalah dengan membangkitkan semangat juang Rasulullah dalam menyebarkan ajaran Islam. Atas dasar itulah sang penguasa cerdik itu mengusulkan adanya peringatan kelahiran Rasulullah dengan harapan peringatan tersebut bisa menggugah kaum muslimin untuk lebih mengingat perjuangan Rasulullah. Salahudin kemudian menegaskan bahwa perayaan Maulid Nabi hanyalah kegiatan yang menyemarakkan syiar agama, bukan perayaan yang bersifat ritual, sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai bid'ah yang terlarang.
[caption id="attachment_361428" align="aligncenter" width="404" caption="Kelahiran (Maulid) Anak Saya"]

Acara perayaan kelahiran rasulullah diisi dengan pembacaan riwayat hidup Rasul dari mulai menjelang lahir hingga wafat. Nah, untuk menuliskan sejarah dengan sentuhan syair merdu agar enak didengar, maka dibuatlah sayembara pembuatan kitab yang berisi sirah nabawiyah (sejarah nabi). Singkat cerita, sayembara itu dimenangkan oleh penyair sufi bernama Syaikh Ja'far bin Abdul karim bin Muhammad Al-Barzanji, oleh karenanya kitab tersebut dikenal hingga sekarang dengan nama kitab Barzanji.
Melalui daerah kekuasaannya di Makkah, Raja Salahuddin kemudian mengajak seluruh jama'ah haji dari berbagai penjuru dunia, untuk merayakan hari kelahiran Rasulullah di kampung halamannya masing-masing sepulangnya dari ber-haji. Atas ide berliannya itu, Raja Salahuddin berhasil menghidupkan cahaya kehadiran Rasululllah di seluruh penjuru dunia, yang pada efeknya ukhuwah kaum muslimin diseluruh dunia kembali terbentuk, saat itulah Raja Salahudin membangun kekuatan untuk membalas kekalahan perang salib, dan pasukan Salahudin Al Ayubi berhasil merebut kembali kota suci Yerusalem dan masjidil Aqsha.
#Mauludan di Indonesia
Seiring berjalannya waktu, tradisi maulid Nabi sudah tersebar dan mengakar di seluruh dunia dengan ikon kitab Al Barzanji sebagai pengisi perayaan tersebut. Di Indonesia sendiri, tradisi Maulid Nabi mulai mengakar sejak tahun 1920, saat Walisongo berhasil meng islamkan Indonesia terutama tanah Jawa. Strategi dakwah walisongo yang melalui akulturasi budaya di Indonesia sangat jitu. Budaya umat Hindu dan Budha yang suka membaca kitab Tripitaka menggunakan pengeras suara di Pura dan tempat tempat tertentu diganti isinya dengan pembacaan kitab Al Barzanji dan kitab suci Al qur'an, tempat tempat pertunjukan wayang pun dirubah isinya menjadi kisah kisah teladan dan filosofi konsep ketuhanan sesuai ajaran Islam, sehingga Islam sangat mudah diterima oleh masyarakat saat itu. Perkembangan Islam melalui akulturasi budaya saatitu mengalami pertumbuhan yang sangat pesat sepanjang sejarah masuknya Islam di Indonesia.
#Maulidan di Kademangaran
Hingga kini dan hari ini, tradisi Maulid Nabi yag diadakan di masjid dan surau surau di kampung Kademangaran yang dikenal dengan sebutan Muludan masih ramai terngiang, dari tanggal 1 Rabiul Awal hingga tanggal 12 Rabiul awal sebagai puncak perayaan maulid. Suasana maulid yang (lagi lagi) penuh dengan suasana kebersamaan sungguh membuat saya yang saat ini merantau tidak akan pernah melupakan kenangan masa kecil untuk merayakan Maulidan. Terngiang saat saat pertama kali saya bisa berbicara di depan halayak dengan menggunakan microfon adalah salah satunya melalui perayaan Maulidan ini, dimana saya mendapat giliran untuk membaca kitab Al Barzanji dan bacaan saya diakhir bait syair disambut oleh teman teman sebaya dengan menyebut asma Allah... aaah..., sungguh begitu indah masa masa itu. Ingin rasanya saya kembali ke masa itu.
[caption id="attachment_361430" align="aligncenter" width="261" caption="Muludan di Langgar Beton Kademangaran"]

Dan yang tak kalah indah adalah saat selesai acara maulidan, saya dan teman teman makan compreng (makan bersama dalam satu wadah besar), aiih... tambah kangen saja ingin pulang ke kampung Kademangaran dan ikut acara maulidan. Tak kalah seru lagi saat hari ketujuh acara maulidan, tradisi makan dalam compreng ditambah dengan dibagikannya buah buahan dan makanan kecil didalam layah (piring tanah liat) yang dikenal dengan istilah Tekuwinan. Nah untuk tradisi yang ini hanya ada di Tegal saja, konon tekuwinan adalah cara para orangtua untuk menyemangati anak anak kecil seperti saya agar ikut meramaikan maulidan dimesjid, dengan dibagikannya makanan kecil dan buah buahan, anak anak menjadi semangat mengikuti perayaan maulid nabi.
Puncak acara maulid nabi adalah malam tanggal 12 Rabiul Awwal. Biasanya kue, jajanan, dan makanan akan keluar secara jor joran di acara puncak ini, dimana setiap jama'ah akan dibagikan besek atau orang kampung menyebutnya Berkat Maulid (orang media menyebutnya Berkah Maulid *sedikit menyesatkan publik). Adakalanya beberapa masjid di kampung Kademangaran mengadakannya di pagi hari tepat di tanggal 12. Nah, perbedaan perayaan itulah yang biasanya dimanfaatkan oleh kami yang masih anak anak untuk mendapatkan banyak makanan yang menurut kami langka dan tidak kami temui di hari hari biasa (jiaah pinter juga nih piyik piyik). Kami sangat girang dengan datangnya maulid, selain mendidik kami untuk menumbuhkan rasa cinta kepada Rasulullah, kami juga ketiban berkah banyak makanan he he he... namanya juga anak anak.
Sebagian orang membenci acara perayaan maulid ini, terutama orang orang yang anti dengan Baghdad atau Irak, sebab orang pertama yang mendukung perayaan ini adalah penguasa Baghdad (Raja An-Nasr) yang saat itu menjadi sahabat Raja Salahudin Al Ayubi (tau dooong... golongan orang orang ini...). Sebagian yang lain juga menganggap acara ini hanya meniru niru perayaan Natal di masjidil Aqsha saat kaum kristiani menduduki Yerusalem di perang salib, sehingga termasuk Haram (tau juga doong kelompok orang orang ini... he he he).
Tapi jujur, dimata saya hikmah perayaan maulid di kampung kademangaran benar benar membentuk karakter saya untuk senantiasa cinta kepada Rasulullah SAW, membentuk ukhuwah islamiyah, dan membentuk mental gotong royong yang menjadi ciri khas budaya masyarakat Indonesia. Saya banyak belajar ber empati dari perayaan acara ini, sebab kami akan saling berbagi makanan sesama teman yang saat itu belum mendapatkan makanan.
Oooh indahnya seni budaya jika dibungkus dengan nilai nilai Islam, efek spiritualnya benar benar bsia dirasakan hingga ke relung hati. Yuuk... kita ikut Muludan di masjid Al-Mubarok...?? *yuk ah!! dangkati!!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI