Mohon tunggu...
Nurul P
Nurul P Mohon Tunggu... pegawai negeri -

learner

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Mogok Dokter: Menyakiti Masyarakat

27 November 2013   06:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:38 442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Berita tentang rencana mogok kerja para dokter se Indonesia terkait kasus mal praktek yang terbukti di lapangan dilakukan oleh Dr. Dewa Ayu Sasiary SpOG sungguh sangat mencengangkan.Profesi dokter yang begitu mulia justru dicoreng oleh para dokter sendiri yang mengaku tidak mendapat perlindungan profesi. Tidakkah mereka sadar, hati masyarakat begitu terasa perih dengan tingkah solider mereka ini.

Jika diruntut dari peristiwanya, memang sangat mengerikan apa yang terjadi pada korban. Korban yang katanya datang pukul 7 pagi dalam keadaan payah, dan baru malam hari jam 10 mendapat penanganan telah memperlihatkan keganjilan dari tindakan para dokter kandungan ini. Sekali lagi, penyebabnya keadaan ekonomi keluarga yang dianggap tidak mampu membiayai biaya operasi.

Tidak perlu ditanya lagi, pelayanan seperti ini pasti terjadi di banyak rumah sakit dan klinik di Indonesia. Sudah sering saya mendengar keluhan semacam ini. Mari kembali kita ingat-ingat berapa kali mendengar cerita buruk tentang dokter dan berapa kali mendengar cerita tentang kemuliaan dokter di Indonesia. Saya yakin jawaban terbanyak adalah pengalaman yang pertama. Entah dari cara saat dokter berbicara sinis kepada kita, saat perawat begitu galak kepada pasien, saat dokter yang hanya diam dengan jawaban seenaknya saat kita tanya tentang penyakit kita.

Ini masih masalah kecil dari sikap dokter yang begitu super-ordinal dihadapan pasien yang memiliki posisi sebaliknya. Pasien adalah orang bodoh yang siap di vonis apa saja oleh dokter. Kita, pasien, adalah orang dungu yang seolah tak berhak tahu apa penyakit yang kita derita dan tunduk pada kuasa para dokter-dokter.

Memang iya, karena kita sebagai pasien tak tau apa-apa. Saat kita sakit, apa yang kita lakukan selain berkeluh kesah dengan dokter. Sakit di negeri ini adalah sebuah peristiwa yang mengerikan karena dalam derita yang dihadapi pasien harus siap berhadapan dengan sebuah industri komersial berupa jasa dokter, industri obat dan industri layanan rumah sakit yang tak manusiawi. Betapa kasihan para pasien yang jatuh tertimpa tangga ini.

Michel Foucault, salah seorang ahli sosiologi di era post-strukturalist memiliki pemikiran mendalam tentang praktek seperti ini. Pertama adalah tentang arkeologi Ilmu Pengetahuan dan genealogi kekuasaan yang memperlihatkan bagaimana orang mengatur diri sendiri dan orang lain melalui produksi pengetahuan. Dalam kasus ini, dokter memiliki kekuasaan untuk menekan dan menindas pasien yang tak memiliki pengetahuan tentang kesehatan yang telah diciptakan ilmu kedokteran.

Sementara kedua, genealogi kekuasaan menekan pada bagaimana antara ilmu pengetahuan dan kekuasaan itu saling berhubungan satu-sama lain. Orang yang memiliki ilmu adalah mereka yang memiliki kekuasaan. Berapa kali kasus malpraktek di negeri ini yang dapat dibuktikan? Berapa dokter yang mau mengakui kesalahan diaknosa mereka? Mereka memiliki kuasa pengetahuan, mungkin pengadilan tak bisa mengungkapnya karena pengetahuan tentang kedokteran tak dikuasai oleh hakim.

Memprihatinkan jika memang ini terus terjadi di sistem kedokteran kita. Dokter-dokter kita tak lagi membawa misi kemanusiaan namun komersialitas. Dokter sibuk menemukan ilmu pengetahuan dan berbagai teori tentang penyakit namun disisi lain melupakan ilmu tentang kemanusiaan yang menjadi landasan filosifi pekerjaan mereka. Biaya atas pengembangan teknologi dan keilmuwan kemudian dibebankan pada biaya berobat yang begitu mahal, sikap superopritas atas ilmu yang begitu kental.

Mengerikan apabila para dokter ini bertindak layaknya para pelayan toko, pramugari, pelayan restoran di era kapitalisme media yang mengasingkan diri dengan para pelanggannya. Mereka hanya tersenyum dan menyapa kita saat kita membeli barang yang mereka jual. Namun ketika selesai transaksi maka tidak akan lagi menyapa kita saat bertemu di lain kesempatan. Sekarang kita harus mengakui bahwa tak ada yang mengatakan bahwa ke dokter itu murah jika ingin mendapatkan pelayanan prima.

Saya takjup dengan cerita ibu saya tentang seorang dokter yang dulu pernah merawat saya saat kecil, 30 tahun yang lalu. Ia bercerita tentang dokter anak yang bahkan tak tega meminta imbalan atas jasa yang dilakukan pada para pasiennya. Sang dokter katanya juga sering memberikan susu secara sukarela kepada anak-anak yang orang tuanya tak mampu membeli susu. Tapi saya yakin itu mustahil ada di jaman seperti ini, saat tuntutan pelayanan ramah saja begitu langka kita dapatkan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun