Mohon tunggu...
Cerpen Pilihan

Kisah Luar Biasa Ketika Hujan

19 Maret 2017   23:00 Diperbarui: 1 April 2017   08:45 889
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Siang ini taman kota itu terlihat ramai. Banyak pengunjung yang datang sekedar untuk melepas lelahnya. Ada yang sendirian, pasangan muda-mudi ataupun anak-anak kecil dan juga orang tua mereka yang sedang mengawasi. Di samping itu, terdapat beberapa pedagang yang berjualan berbagai macam makanan dan minuman. Ada yang menjual bakso, es dawet, es kelapa muda, gorengan dan sebagainya.

Aku mempercepat langkah kakiku saat teringat bahwa aku lupa membawa payung. Namun, tiba-tiba saja hujan turun saat aku melintasi taman kota dan melihat semua keramaian itu. Aku berlari masuk ke dalam taman menuju salah satu payung besar yang berbentuk jamur untuk berteduh. Keramaian orang yang sedang bersantai di taman tersebut siang ini langsung buyar dan mereka berlarian untuk berteduh di bawah payung-payung raksasa itu, ataupun segera pergi meninggalkan taman. Sementara itu para pedagang terlihat menutupkan terpal pada barang dagangannya.

Untuk kesekian kalinya, aku memilih untuk berteduh di bawah payung raksasa yang terletak di paling ujung belakang taman. Payung itu cukup besar untuk meneduhkan sekitar 5-6 orang dewasa. Namun, untuk kesekian kalinya pula aku berteduh sendirian di tempat ini. Mungkin orang-orang lainnya malas untuk berteduh di tempat ini karena letaknya yang terlalu jauh dari trotoar dibandingkan payung-payung lainnya. Aku memilih untuk berteduh di tempat ini adalah agar aku bisa mengingat semua kejadian lama itu. Kejadian yang merenggut nyawa Ibuku. Memang menyakitkan, namun aku memilih untuk berdamai dengan masa laluku.

“Dek, jangan melamun,” kata seorang laki-laki yang tiba-tiba datang dan mencoba menyentuh bahuku. Aku terkejut. Orang ini memakai pakaian yang rapi layaknya orang kantoran. Atasannya berupa kemeja abu-abu dan juga bawahan celana panjang. Namun, bajunya agak basah karena kehujanan. Orang itu kemudian tersenyum hangat. Senyuman yang menyenangkan. Senyuman itu pulalah yang merubah hari-hariku ke depannya.

***

Setelah teguran dari supir bus metromini tadi, aku kembali melangkahkan kakiku dengan lebih perlahan dan hati-hati. Namun, aku masih saja terus mencoba mengingat masa laluku. Jika diingat kembali, itu adalah pertemuan pertama dengan salah satu orang yang spesial bagiku. Cinta pertamaku. Namanya Septian Andhika Zefrian. Aku memanggilnya Kak Dhika. Ia sekarang bekerja sebagai seorang karyawan di salah satu perusahaan otomotif. Usianya 23 tahun, terpaut tiga tahun dengan usiaku yang masih 20 tahun saat itu.

Maka mulai hari itu aku selalu menyempatkan diri untuk duduk sebentar di bawah payung jamur itu  sepulang kuliah. Entah mengapa pula di setiap hari Rabu sepulang kuliah saat aku ada disana, orang itu datang. Seolah-olah kami sudah membuat janji untuk bertemu. Walaupun sebenarnya aku nantinya mengetahui bahwa semuanya memang diatur dengan sengaja.

Kami mulai mengobrol lebih banyak. Mulai saling mengenal satu sama lain, bertukar nomor ponsel dan selalu berkirim pesan setiap akhir pekan. Tentu saja kami juga selalu bertemu setiap Rabu siang di tempat yang sama, padahal kami tidak pernah janji untuk bertemu. Kami telah menemukan kecocokan satu sama lain dan akhirnya saling jatuh cinta.

Pernah suatu ketika setelah tiga bulan berkenalan dengannya, selama sebulan penuh orang ini mengabaikan pesanku dan tidak datang ke tempat kami biasa bertemu pada hari Rabu. Aku benar-benar putus asa dan merasa bahwa orang ini hanya ingin mempermainkanku. Rabu itu aku pulang dengan berhujan-hujan. Aku tidak ingin berteduh di tempat biasa karena aku merasa bahwa tidak ada gunanya berteduh disana sebab orang itu tidak akan datang.

Di tengah hujan itu, ada mobil yang menepi di dekat trotoar tempatku berjalan. Seseorang yang mengenakan pakaian kantoran keluar dari mobil dengan membawa payung dan mendekatiku. “Dek, kamu jangan berhujan-hujanan. Nanti kamu bisa sakit,” kata orang itu sambil memayungi tubuhku yang sudah setengah basah. Aku membalikkan badan. Ternyata orang itulah yang sedang berdiri di hadapanku. Ia tersenyum dengan hangat, sehangat pertemuan pertamaku dengannya dulu. Aku menitikkan air mata. “Kakak dari mana saja?” kataku sambil menahan suaraku yang agak bergetar karena tangis. “Maafkan aku. Ada hal yang harus aku luruskan dan kini aku telah menemukan titik terangnya. Mari kita kembali lagi seperti semula,” jawabnya. “Maaf, aku harus pergi sekarang,” lanjutnya sambil menarik lenganku agar aku memegangi payung yang sedang ia pegang. Aku merasa sangat senang dan menghapus air mata yang mengalir di pipiku.

Namun tiba-tiba saat mobil yang dinaiki orang itu telah melesat jauh, dadaku yang sebelah kiri terasa sakit. Napasku menjadi sesak. Aku ingin berteriak minta tolong namun suaraku tertahan. Payung hijau yang kugenggam terlepas. Orang-orang sekitar yang tadinya sedang berteduh kemudian berlarian mendekatiku. Setelah itu, aku sudah tidak sadarkan diri lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun