Mohon tunggu...
Nurul Fuadah
Nurul Fuadah Mohon Tunggu... -

Emak-emak yang suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mengenangmu Kembali

11 September 2013   11:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:03 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengenangmu kembali

Sangat ingat, hari itu Ahad. Seperti biasanya aku, suami dan anak-anak mengunjungi Orangtuaku. Setelah menikah dan punya anak, aku tinggal terpaut jarak sekitar 25 km dari rumah orangtuaku. Week end ini berbeda, karena aku memang sangat ingin pulang. Mengingat Bapak yang baru pulang dari opname, setelah operasi. Aku berharap kondisi Bapak sudah pulih. Tapi yang kudapati sebaliknya. Bapak hanya terbaring di tempat tidur dan merasakan sakit diperutnya.

Badanya menguning, perutnya membesar. Ibu tak pernah jauh dari kamar. Setiap aku tanya, Ibu selalu bercerita sambil menangis. Bapak? Tak banyak bicara. Kalau merasakan kesakitan, Bapak hanya menggerakkan badan, badan kurus itu bergelung di kasur. Ah bapak...

Tak sengaja saja, aku membawa minuman sari kajang hijau. Ketika anakku meminumnya Bapak melihat dan bertanya, itu minuman apa? Aku bilang sari kacang hijau, lalu aku ambil satu dan mengambil sedotan. Kusodorkan pada bapak. Bapak meminumnya sampai habis.

Siangnya Bapak meminta minuman itu lagi. Dan ternyata habis minuman kotak itu. Aku, sangkin inginnya memenuhi keinginan Bapak, mengajak suami dan tentu saja dua krucilku membeli minuman itu. Tapi ternyata tak mudah, baru disebuah toko yang jaraknya jauh dari rumah, aku menemukannya. Alhamdulillah.

Tak berapa lama. Kakak sulungku datang, rembugan bagaimana dan akhirnya kami memutuskan membawa Bapak ke rumah sakit lagi. RSUD Kraton menyarankan agar Bapk di opname. Kamar vip no 11, aku pulang dan meninggalkan Bapak dan Ibu di kamar itu.

Kembali ke rumah kembali bekerja tapi pikiranku tak pernah berhenti memikirkan Bapak. Belum sepekan Bapak kembali dari rumah sakit dan sekarang harus terbaring di rumah sakit lagi. Ketika di rawat kemarin, aku bolak-balik menengok. Menempuh jarak 50km dengan Bis atau motor bersama suami dan dua krucilku. Aku sangat ingin menemani full di rumah sakit, tapi tentu saja itu tak mungkin. Aku hanya ijin tak sekolah pas Bapak operasi. Alhamdulillah operasi lancar, Bapak bisa berkomunikasi dengan baik dan pulang ke rumah.

Dan hari itu hari Rabu, hari keempat Bapak Opname, seharian itu aku merasa sangat gelisah. Mengajar di kelas tapi tak jenak. Tak henti memantau perkembangan Bapak dengan sms dan telfon Ibu. Tapi gelisahku tak jua hilang. Jam istirahat, jam 10wib aku buka lappi dan menumpahkan sedihku dengan menulis. Kuposting saat itu juga di FB, noteku tentang Bapak: BUKAN AYAH JUARA SATU.

“Kenapa jeng?” tepukan di bahu menyadarkanku. Seorang sahabat yang mengamatiku sejak tadi, melihat aku menangis.

Aku hanya menggeleng. Kututup lappi dan mau kembali masuk kelas. Hpku berdering, kakak sulungku menelfon. Suaranya parau, memintaku datang ke rumah sakit sekarang. Tak biasanya dia begitu. Kakak sulungku yang paling intens merawat Bapak. Orang kesehatan yang tahu seluk beluk penyakit dan kesehatan. Airmataku berderai lagi menerima telfonnya. Pasti ada apa-apa, batinku.

Tak jadi masuk kelas, aku rapikan bawaanku dan bergegas keluar sekolah menuju sekolah suamiku. Suamiku menyambutku dengan cemas, aku tak banyak bicara hanya airmata yang terus mengalir dan memintanya ijin ke rumah sakit sekarang.

Berbonceng menjemput krucil dan melaju ke Pekalongan. Istirahat sejenak di Comal untuk shalat Dhuhur dan minum. Lalu segera meluncur lagi.

Bapak tersenyum menyambut kami. Aku masih ingat kalimatnya yang memanggil bujangku, “Lavy....” menyambut tangan bujangku yang mencium tangannya. Aku berpikir, rasanya Bapak baik-baik saja. Tapi itu tak lama, karena setelahnya bapak berkata,”Jam piro iki? Aku tak Shalat.” Buru-buru beliau bangkit. Kakakku segera menahannya, “Bapak wis shalat sih mau.”

Itu tak Cuma sekali. Beliau berbaring sebentar, lalu bangkit tiba-tiba, “Ndelok aku tak wudhu sih...” aku tak kuasa menahan airmata. Memegangi badannya yang berusaha bangkit dari tempat tidur. Terus saja begitu. Beliau terus meminta wudhu dan shalat.

“Jare Hani arep Bali?” kalimat Beliau lagi menanyakan kakak perempuanku yang tinggal di Depok. Tak hanya sekali, terus berulang seperti itu.

Menjelang Magrib aku pulang. Meski hatiku sangat ingin tetap di rumah sakit. Tapi bagaimana dengan dua krucilku?

Malam itu aku tak pulang ke rumahku, tapi menginap di rumah orangtua di Bodeh. Karena jaraknya lebih dekat denga Rumah Sakit dan aku berencana besok pagi mau ke rumah sakit lagi. Malam itu tak nyenyak tidur, kakak sulungku terus sms mengabarkan Bapak. Aku tak mampu membalas hanya terus memikirkan Bapak. Dini hari itu juga Kakak keduaku datang dari Jogja langsung ke rumah sakit.

Kali ini hampir jam tiga pagi hari, kakak sulungku menelfon. Aku akan dijemput subuh nanti dan bersama istrinya (Mbak iparku) ke rumah sakit karena Bapak tak lagi bisa diajak komunikasi. Aku mengiyakan saja, tak banyak tanya karena aku tak tahu harus berkata apa. Kubangunkan Lek (adik kandung bapak) yang rumahnya dekat dariku. Aku hanya mampu bilang, sejak jam 1 tadi Bapak tak bisa diajak komunikasi. Kemudian Lek ku itu juga membangunkan Pakwo (Kakak sulung Bapak) dan mengabarkan hal yang sama. Aku juga masih sempat SMS sahabat-sahabatku untuk minta doa untuk Bapak.

Setelah shalat Subuh, aku suami krucil, Pakwo, Lek dan mba iparku melaju ke kraton.Ibuku tak henti menangis, kakak keduaku tilawah, kakak sulungku berkomunikasi dengan tenaga medis. Dokter spesialis jantung (dokter yang merawat bapak) di telfon merekom agar bapak dibawa ke ICU. Tapi ruang ICU penuh.

Bapak gelisah di tempat tidur, masih terdengar kalimatnya lirih, “Jare Hani arep bali, mono di pethuk rah...”...”Jam piro iki?Aku tak shalat...”. hanya itu yang tak bisa kulupa. Banyak kalimat-kalimat lain yang keluar begitu saja, urusan pekerjaan, urusan masjid, urusan muhammadiyah. Seolah semua slide hidupnya satu persatu keluar lagi.

Aku dekap Bapak, kupegangi dadanya. Kami semua memegangi Bapak agar bisa terbaring dengan tenang. Di telinga kanannya kusebut asma Allah. Karena Allahlah yang berkuasa atas diri Bapak. Terus tak henti kusebut asma Allah.

Bapak terbaring tenang. Aku tak tahu siapa yang sedang membaca Quran, aku juga tak tahu siapa yang sedang berbicara di dekatku, aku juga tak tahu suara siapa yang menangis. Aku hanya ingin terus menyebut Asma Nya. Menyebut nama Allah ditelinga Bapak dan memegangi tangannya.

Allah....Allah...Dialah Allah, Allah yang berkuasa atas setiap hamba-Nya. Semua hanya milik Allah dan akan kembali pada-Nya. Yaa Ayyatuhal Nafsu mutmainah...irji’i ila Robbiki Rodhiyatan Mardhiyyah....

Bapakku telah kembali kepada Allah pukul 05.20 pagi, kamis 21 Okteber 2010.

Terimakasih ya Allah....aku telah berkesempatan menemani saat-saat terakhirnya.

Terimakasih ya Allah....Bapak pergidengan tenang di kelilingi orang-orang yang sangat mencintainya.

Dan hari ini, aku terus mengenangnya. Mengenang Bapak. Doa tak pernah lupa kupanjatkan untuknya. Tapi aku tak bisa berhenti mengenangnya. Kadang SMS adik, berbagi bahwa aku ingat Bapak, aku juga sering memimpikan Bapak.

Tapi semua itu tak mampu menghilangkan rinduku pada Bapak.

Ayah, dalam hening sepi kurindu....

Sabtu, 20 Okt2012

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun