Mohon tunggu...
Nurul Firmansyah
Nurul Firmansyah Mohon Tunggu... Advokat dan Peneliti Socio-Legal -

https://nurulfirmansyah.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik

Desa Adat atau Desa Administratif, Kontestasi Politik Revisi Perda Nagari

20 November 2018   15:29 Diperbarui: 21 November 2018   07:34 810
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

*Makalah ini adalah versi Bahasa Indonesia dengan Judul asli : Customary Village model or Administrative Village model : Political contestation in The Process of Revision of The West Sumatera Province Regulation Regarding Nagari yang disampaikan dalam workshop 'New Law, New Villages? Changing Rural Indonesia' 19 - 20 Mai 2016, yang diselenggarakan oleh KITLV bekerjasama dengan the Asian Modernities and Traditions (AMT) Research Program, the Van Vollenhoven Institute of Leiden University, dan the Norwegian Centre for Human Rights at the University of Oslo (NCHR) di Leiden, Belanda

ABSTRACT

The fall of the New Order changed the character of Indonesian Governance from centralized to decentralized. Many local government use this oppurtunity to return the village government based on adat (customary), such as Nagari in West Sumatra and Customary Village in Bali through local government law regime. In fact, Changes village system has not fully intact customary based, cause it only distributes the central government authority to the local governments with frills customary village. In this context, the village just the government unit who implements the local government authority  in the village level. Village autonomy based on adat (customary) is not fully exist. Therefore, the institutional dualism between the customary village institution with the village administration institution are existing. As the result, the village customary rights is not fully recognized, especially control over natural resources. So that conflicts over natural resources still prevail between the villages with the Central Government and Local Government.

The 2014 village law give preference to local governments and villages to choose two village models, the customary village or administrative village. The customary village model consequences to recognize the village customary rights, especially control over natural resources, while the administrative village model consequences to performing administrative functions only. The rule of the village model choices in the 2014 village law continued the logic of separation between customary village and village government. 

In the west Sumatra context, the choice between customary village model and administrative village model emerge debating between two interest groups on the revision process of West Sumatera Province regulation regarding nagari. The first group is civil society organizations, Indigenous Peoples and academia that encourage customary village models with the argument basis on the customary village rights recognition, while the second group is local bureaucracy and local politicians that encourage administrative village model with the argument basis related to the large number of government budget allocation to villages.

This paper proposes to explain the political and law process on the revision of West Sumatera Province regulations regarding nagari and the stakeholders participation within in the process. The writing use a qualitative method with the descriptive-analytic approach.

Keywords: Nagari (Customary village), Local Governance, Natural Resource Rights, Village-State Interaction.

1. Pendahuluan

Arus desentralisasi paska runtuhnya orde baru membuka babak baru pengakuan masyarakat adat. Desentralisasi banyak menggeser kekuasaan pusat ke daerah. Arus ini melahirkan implikasi positif dan negatif terhadap agenda pengakuan masyarakat adat. Sisi positifnya membuka peluang pengakuan masyarakat adat melalui reorganisasi desa. Sedangakan, sisi negatifnya adalah cengkraman kekuasaan elit daerah dengan menggunakan identitas adat (etnisitas) terhadap sumber daya. Akibatnya, desa menjadi lokus kontestasi kepentingan-kepentingan tersebut, terutama terkait akses dan kontrol terhadap sumber daya.

Arus desentralisasi dengan hukum pemda baru menjadi alat yang digunakan para aktor untuk perebutan sumber daya tersebut. Elit daerah mempunyai kepentingan langsung untuk mengelola sumber daya desa, baik sumber daya alam maupun anggaran. Elit daerah membatasi masyarakat adat untuk mengontrol sumber daya dengan memanipulasi adat sebatas formalitas.[1] Mereka menguasai institusi-institusi formal Pemerintah Daerah dan menggunakan adat untuk melegitimasi kepentingan elit atas sumber daya (Nordholt and Klinken, 2014). Nagari di Sumatera Barat adalah contoh bagaimana kembali ke nagari dari sistem desa orde baru tidak sepenuhnya dapat memulihkan kembali otonomi dan sumber daya masyarakat adat. Persoalan utama gagalnya nagari sebagai desa berakar adat yang kuat adalah hambatan struktural untuk mendapatkan kembali sumber daya nagari dan belum tuntasnya integrasi pemerintahan dengan adat.

Di sisi lain, masyarakat adat menggunakan adat untuk memulihkan kembali kapasitas desa adat. Revitalisasi desa adat ini berlandaskan pada dua kepentingan, yaitu; mengembalikan tradisi adat sebagai basis pemerintahan dan mengklaim asset desa (khususnya tanah ulayat). Nagari malalo di kabupaten tanah datar, Sumatera Barat adalah contoh kasus yang diulas dalam makalah ini untuk melihat kebangkitan nagari dari arus bawah. Desentralisasi membuka jalan nagari malalo untuk mengklaim kembali asset nagari dan otonominya. Proses tersebut tidak sepenuhnya berjalan mulus akibat persoalan belum jelasnya batas territorial adat dan dualisme makna nagari sebagai adat dan pemerintahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun