Mohon tunggu...
Nurul Firmansyah
Nurul Firmansyah Mohon Tunggu... Advokat dan Peneliti Socio-Legal -

https://nurulfirmansyah.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Arus Balik Nagari

18 November 2018   13:46 Diperbarui: 18 November 2018   14:42 514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Handining/KOMPAS)

D. Menemukan Kembali Nagari 

Kelembagaan (struktur) desa adat berdasarkan hak asal usul (susunan asli) tidak dijelaskan secara rinci, namun dengan indikator pada "pranata pemerintahan adat yang hidup." 

UU Desa menjelaskan format desa adat dengan cukup fleksibel, seperti terlihat dalam penjelasan umum point 4 : "Desa Adat atau yang disebut dengan nama lain mempunyai karakteristik yang berbeda dari Desa pada umumnya, terutama karena kuatnya pengaruh adat terhadap sistem pemerintahan lokal, pengelolaan sumber daya lokal, dan kehidupan sosial budaya masyarakat Desa" yang kemudian dipertegas oleh penjelasan umum point 5 bahwa kelembagaan desa/desa adat menganut sistem pemerintahan modern dengan adanya eksekutif dan legislatif desa/desa adat. Artinya, format desa adat mengakomodasi kenyataan hibriditas desa adat.   

Perdebatan tentang struktur asli terjadi dalam pembahasan rancangan perda nagari di Sumatera barat. Perdebatan tersebut memperlihatkan penafsiran beragam tentang pranata pemerintahan adat ini, yang sebenarnya debat telah muncul sejak aksi kolektif "Baliak Ka Nagari" tahun 1998 dan mencuat kembali dalam penyusunan rancangan perda nagari paska UU Desa 2014. Perdebatan semantik tentang "nagari asli" adalah citra permukaan dari dinamika adat, islam dan negara yang terus menerus mencari titik temu di Sumatera Barat.

Dalam konteks ini, nagari hybrid adalah kenyataan sosial dan sejarah yang tidak bisa lagi dibantahkan. Nagari dalam konteks desa adat semestinya tidak lagi pada pencarian yang paling "asli" dari nagari, namun menyatukan realitas keberagaman tatanan normatif adat, islam dan negara tersebut dalam kelembagaan nagari yang saling melengkapi. Syarat pelaksanaan hal tersebut adalah penghilangan dualisme kelembagaan nagari adat dan nagari administratif. 

Pemahaman ini tidak hanya diletakkan pada pengambil kebijakan, namun juga kedalam tubuh masyarakat adat nagari sendiri. Dualisme nagari adat dan administratif adalah tantangan utama implementasi desa adat dalam konteks nagari. 

Dari pengalaman ber-nagari di Sumatera Barat, debat antara adat dengan negara tidak lagi dipisahkan secara biner karena kenyataan dinamika hibridasi tatanan-tatanan normatif dalam proses sosial yang lama terbentuk. 

Debat keaslian nagari tidak lagi diletakkan pada pembangkitan struktur lama yang romantis, namun telah menjurus pada pencarian format kelembagaan yang paling cocok untuk mengakomodasi nagari berakar adat. Makanya, debat untuk menyusun kelembagaan nagari membutuhkan diskursus panjang dalam kontestasi politik lokal di Sumatera Barat.

Selain itu, wilayah adat (hak ulayat) menjadi atribut penting bagi nagari. Ketaatan suku dan kaum (klan dan sub-klan) terhadap hukum adat adalah kekuatan sosial nagari untuk bertahan dalam berbagai perubahan nagari dalam waktu yang lama (F dan K Von Benda Beckmann 2014, Vel dan Bedner 2016). 

Wilayah adat menjadi penanda utama eksistensi nagari sebagai kesatuan masyarakat adat. Oleh sebab itu, dalam konteks nagari sebagai desa adat, kembalinya nagari kepangkuan negara semestinya untuk mengembalikan hak-hak ulayat nagari tersebut.

Maka format kelembagaan nagari yang paling cocok kedepan adalah "hybrid berakar adat," yaitu kelembagaan nagari dengan mengakomodasi berbagai tatanan normatif, adat, islam dan negara. Prinsip "tigo tali sapilin" bisa digunakan untuk penunjuk pembentukan kelembagaan nagari ini. Konsekuensi format ini adalah nagari tidak lagi terpisah antara pemerintah nagari dengan lembaga adat (KAN) dan adanya penyatuan wilayah adat dengan wilayah administrasi nagari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun