Mohon tunggu...
Nurul Fahmy
Nurul Fahmy Mohon Tunggu... -

Selalu banyak mimpi...Berdomisili di Jambi. Suka membaca, tapi sedikit menulis...

Selanjutnya

Tutup

Money

Seratus Tahun Karet Rakyat Menopang Perekonomian Jambi

6 Januari 2012   17:26 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:14 1467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nurul Fahmy, Lebih dari seratus tahun tanaman karet jenis hevea milik rakyat menopang perekonomian Jambi. Cikal bakal perkebunan ini bermula dari tren tanaman serupa di Malaka. Elsbeth Locher-Scholten (2008) yang meneliti catatan-catatan kolonial pada permulaan abad 19 menuliskan, benih tanaman ini awalnya diselundupkan dari Brasil ke Malaka pada 1890, dan kemudian diimpor oleh para pedagang Cina ke Sumatera (Jambi) dan Kalimantan. Karena kondisi ekologi dan struktur tanah Jambi yang baik dan subur, maka tanaman ini dapat tumbuh dengan mudah di mana saja. Namun oleh sebab tabiat masyarakat Jambi yang tidak terlalu suka repot (untuk tidak mengatakan sebagai pemalas), awalnya tanaman ini dibiarkan hidup liar di pinggiran hutan, dan sebagian lagi berkembang secara serampangan di antara komoditas lain, seperti padi dan kopi. Sehingga pengusaha-pengusaha Barat maupun petani pribumi abai memperhatikan potensi ini. Barulah setelah tanaman jenis hevea brasiliensis (the para rubber tree) ini memiliki prospek yang cerah di pasar dunia, Residen Jambi, Helfrich, sekitar tahun 1910-1912 menganjurkan budidaya tanaman ini secara massal, dan mendistribusikan benih-benih unggulan kepada rakyat. Pada 1918, tanaman ini telah menjadi primadona baru bagi orang Jambi. Mereka mulai mengalihkan sawah dan ladang menjadi perkebunan karet, bahkan kemudian menerapkan pertanian dengan sistem monokulltur, yakni hanya dengan menanam karet saja. Namun dalam laporan-laporan kolonial disebutkan, sebenarnya pada 1904 perkebunan karet di Jambi telah marak dilakukan secara sporadis oleh warga pribumi dan pendatang Cina.

13258701561391420397
13258701561391420397
Masa kejayaan produksi karet di Jambi terjadi pada 1920 hingga 1925 dan 1937. Di tahun-tahun itu akumulasi pendapatan dari penjualan getah mencapai angka 46 juta gulden. Sebuah angka yang sangat menakjubkan kala itu. Dan tak pernah terulang lagi di tahun-tahun berikutnya, seiring berfluktuasinya harga jual komoditas ini di pasar dunia akibat resesi ekonomi yang terjadi pada 1930 hingga 1940-an. Produksi yang melimpah dan harga jual yang tinggi pada saat itu telah menjadikan rakyat Jambi makmur secara ekonomi. Zaman itu kemudian disebut sebagai “zaman koepon”. Sebuah situasi yang merujuk pada maraknya penjualan kupon-kupon panen karet milik pribumi yang dikeluarkan Belanda, guna mengatur produksi dan distribusi karet yang berlimpah itu. Dampak Perekonomian Bagi Rakyat Jambi Dalam sebuah literatur klasik tentang rakyat Jambi disebutkan, saking makmur dan kayanya rakyat Jambi kala itu—karena sebagian besar memiliki satu atau lebih perkebunan karet yang luas—mereka tidak tahu lagi untuk apa uang yang dimiliki. Menurut sahibul hikayat yang boleh dipercaya boleh tidak, sebagian orang menggunakan uang sebagai kertas pelinting tembakau dan menjadikannya rokok. . Namun sebagian lainnya membuat rumah, dan pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Buya Hamka dalam novel terkenalnya Di Bawah Lindungan Ka’bah yang diterbitkan pertama kali tahun 1938, menuliskan situasi orang-orang yang berangkat haji dan kaitannya dengan naiknya harga dan produksi karet di Jambi pada tahun itu. Tulisan ini, meski merupakan sebuah karya fiksi, namun dengan terang telah merekam dan menyiarkannya kepada dunia tentang situasi ekonomi yang membaik di Jambi, akibat produksi karet yang melimpah di wilayah Pesisir Timur Sumatera dan sepanjang aliran Batanghari kala itu, sehingga menjadikan masyarakatnya hidup berkecukupan. Sebagai dampak dari perkembangan ekonomi, selera seni masyarakat di Jambi juga mengalami pertumbuhan dan kemajuan. Jafar Rassuh, seniman dan budayawan yang juga menjabat sebagai Kepala Taman Budaya Jambi dalam Ragam Hias Daerah Jambi (2008) menuliskan, zaman koepon telah membuat sense of art masyarakat Jambi berkembang secara signifikan. Hal itu terbukti dengan semaraknya ragam seni hias dalam kehidupan masyarakat Jambi.
1325870355498834167
1325870355498834167
Perkembangan dan kemajuan itu terlihat bukan saja dari beragamnya motif pada pakaian (batik Jambi), tapi juga terlihat dari ukiran-ukiran kayu yang terdapat pada rumah-rumah masyarakat. Kini pun jika jeli, kita masih dapat melihat sisa-sisa ragam hias (ornamen) yang terdapat di rumah-rumah atau masjid tua yang dibangun pada tahun-tahun itu. Ukiran pada kayu yang biasanya diletakkan di pagar, tangga dan atap rumah itu dibuat, didatangkan dan dibeli dengan harga yang mahal. Semakin banyak, indah dan unik ukiran-ukiran itu, semakin menunjukkan status sosial yang tinggi dalam masyarakat. Dan jelas merupakan lambang kemakmuran suatu keluarga dalam masyarakat Jambi. Namun, hasil karet rakyat Jambi tidak hanya menopang perekonomian lokal, tapi juga memberikan kontribusi nyata bagi perjuangan kemerdekaan Republik ini. Meski Usman Meng dalam bukunya Napak Tilas Provinsi Jambi (2006) tidak dengan rinci menjelaskan riwayat bantuan uang tunai sebesar 380 dollar Singapura, yang diberikan oleh para pejuang rakyat Jambi kepada pemerintah pusat pada awal-awal kemerdekaan dulu, namun dapat diduga, uang itu bersumber dari kekayaan para pejuang dan rakyat dari hasil penjualan getah di Jambi. Hal ini sangat memungkinkan, sebab sebagian besar rakyat Jambi saat itu menikmati berkah atas melimpahnya produksi dan tingginya harga karet, sehingga tidak mustahil mereka mampu menyetorkan bantuan dalam jumlah besar tersebut. Dalam buku Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial; Hubungan Jambi-Batavia (1830- 1907) dan Bangkitnya Imperialisme Belanda, Elsbeth Locher-Scholten menuliskan, meski kualitas karet Jambi tidak terlalu istimewa, namun hasil produksi kala itu berada di deretan terdepan produsen karet di Hindia Timur, mengalahan daerah-daerah seperti Kalimantan dan Palembang, serta daerah-daerah lain di Pesisir Timur Sumatera. Hebatnya, ratusan ribu hektare perkebunan karet Jambi kala itu bukan milik pengusaha Eropa atau Belanda (VOC), tapi murni milik rakyat Jambi. Perkebunan tersebut tersebar di Kota Jambi kini, Batanghari, Muara Jambi, Muara Tembesi, Tebo dan daerah-daerah lainnya. Sehingga orang Jambi saat itu tidak mengenal kelas buruh atau kelas pekerja. Sebab tanaman karet milik rakyat itu terbagi-bagi ke dalam perkebunan-perkebunan besar dan kecil milik perseorangan (keluarga) yang digarap secara kolektif kekeluargaan. Dan diduga, situasi inilah (kemakmuran) yang membuat gerakan-gerakan kaum sosialis komunis yang sedang marak di daerah lain—pemberontakan kaum komunis di Silungkang Sumatera Barat terjadi pada 1927—tidak mampu menanamkan faham-fahamnya kepada rakyat Jambi. Kalaupun ada perkebunan yang dikerjakan secara upahan dan dalam skala sedang, biasanya milik tuan-tuan tanah (tauke getah) keturunan Cina, seperti Tjoa The Hok dan Tan Kim Yang. Tuan tanah yang terakhir ini dikenal sebagai pemilik Onderneming Sungai Beluru atau Onderneming Kemenyan—plesetan dari nama Tan Kim Yang oleh lidah pribumi—di kawasan Jerambah Bolong, Kabupaten Muaro Jambi kini . Para pekerja di perkebunan karet itu biasanya adalah buruh yang didatangkan dari Jawa dan Sulawesi. Nyaris waktu itu tidak ada pribumi Jambi yang menjadi kuli sadap apalagi kuli angkut getah ke gudang-gudang asap (gudang penyimpanan getah karet). Terdepak Sebagai Produsen Karet Terbesar dI Hindia Timur Cerita karet di Jambi tidak melulu tentang kesenangan atau kemakmuran belaka. Dalam suatu masa, seiring dengan gejolak harga dan resesi ekonomi yang terjadi di pasar dunia, para petani karet di Jambi sempat pula mengalami masa-masa getir. Situasi ini menjadi semakin sulit pada saat harga karet jatuh drastis pada 1930-an. Keadaan kemudian berbalik runyam. Masyarakat Jambi yang telah terbiasa menerapkan pertanian dengan sistem monokultur harus menanggung akibat naiknya harga komoditas lain seperti padi dan kopi. Karena bahan pokok itu harus didatangkan dari daerah-daerah lain. Tidak ada yang dapat mereka lakukan pada saat itu, selain harus membeli bahan pangan dengan harga tinggi, sambil terus berdoa agar harga karet kembali naik. Harga karet kembali merangkak naik pada 1937-an. Total penjualan dari produksi karet Jambi pada saat itu mencapai angka 21 juta gulden. Namun gejolak pasar akibat meletusnya perang di belahan dunia lain membuat harga karet mengalami fluktuasi. Anomali harga komoditas ini pelak memengaruhi kehidupan masyarakat hingga tahun 1941-an. Di tahun-tahun itu, Jambi sebagai produsen karet terbesar di Hindia Timur perlahan-lahan terdepak oleh Palembang dan daerah-daerah lain di Sumatera dan Kalimantan. Demikianlah, selain produksinya yang melimpah, kejayaan zaman koepon di Jambi juga menyisakan segelintir cerita konyol. Seorang Belanda, P.J van der Meulen dalam Memorie van Overgave (1932) mengatakan, selain menciptakan golongan elite baru dalam masyarakat, zaman koepon ini juga melahirkan para pecundang.
1325870437814608491
1325870437814608491
Menurutnya, sebagian kecil para petani memanfaatkan tingginya harga jual karet di pasaran dengan melakukan praktik-praktik ilegal. Getah basah yang baru saja disadap dicampur dengan pasir, potongan-potongan besi, sol sepatu bekas, bahkan monyet matipun dicampurkan guna menambah berat karet pada saat ditimbang. Dalam catatan yang sarat dengan semangat orientalis itu juga dikatakan, karena satu-satunya transportasi untuk mengangkut karet pada saat itu adalah sungai, maka 46 persen karet yang dijual mengandung air. Sehingga karet produksi Jambi di Singapura reputasinya menjadi buruk. Namun bagaimanapun reputasinya, karet Jambi telah terlanjur menguasai ekspor komoditas dari wilayah lain, dan berhasil melakukan penetrasi pasar yang berdampak pada kemakmuran rakyat secara umum. Bahkan ekspor karet Jambi ke pasar dunia menguasai sekitar 90 persen ekspor sumber daya alam dari wilayah lain. Kondisi yang belum pernah terjadi lagi sesudahnya, bahkan hingga kini—di tahun 2011 ini—seiring dengan maraknya perkebunan-perkebunan sawit partikelir. Perkebunan swasta yang berjumlah puluhan bahkan ratusan ribu hektare milik segelintir pengusaha yang telah menggantikan tanaman karet milik rakyat. Sebuah ironi dari perubahan zaman kolonial menuju kapitalisasi pribumi terjadi. Dalam sebuah pemberitaan di Jambi Ekspres (2009) disebutkan, hingga Desember 2008 lalu, sedikitnya 41 ribu dari total 217. 935 penduduk Jambi di Kabupaten Batanghari yang nota bene pada zamannya termasuk basis perkebunan karet rakyat, hidup di bawah garis kemiskinan. Program replanting (peremajaan) karet seluas 151.830 hektare, dinilai gagal oleh banyak pihak. Pada Desember 2010 lalu Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi juga merilis fakta mengejutkan, angka pengangguran di provinsi ini telah mencapai 83.278 orang. Jika kondisi tersebut dianggap suatu kebangkrutan, maka ini adalah tragedi peradaban yang sangat menyesakkan dada, mengingat kejayaan rakyat Jambi di masa lalu sangat berbanding terbalik dengan kondisinya kini. Spirit Zaman Koepon Namun demikianlah, pasar dan lalu lintas barangnya adalah sesuatu yang tak terduga. Pada Desember 2011, Badan Pusat Statistik Jambi seperti dikutip Kantor Berita ANTARA pada 12/12/2011 kembali merilis data yang menggembirakan sekaligus mencengangkan. Disebutkan, karet sebagai salah satu komoditas industri di Provinsi Jambi masih menjadi penyumbang terbesar nilai ekspor Jambi ke beberapa negara tujuan. Selama periode Januari - Oktober 2011 persentase ekspor karet olahan dari Jambi mencapai 50,40 persen atau sebesar 1. 003,68 juta dolar AS, mengungguli ekspor komoditas industri lainnya di Jambi. Pertanyaannya, apakah data dan angka-angka yang menakjubkan itu semuanya berasal dari perkebunan karet rakyat? Atau hanya berasal dari perkebunan-perkebunan swasta milik segelintir pengusaha yang telah mengkapling-kapling tanah rakat, dan lantas menjadikan orang Jambi hanya sebagai kuli-kulinya saja? Mengingat sebagian besar lahan-lahan perkebunan rakyat kini  telah banyak disulap menjadi ladang-ladang karet dan sawit partikelir. Jika memang benar maka ini adalah malapetaka, dan jelas merupakan kegagalan pemerintah yang paling fatal dalam mensejahterakan rakyat dari tanah dan sumber mata pencarian mereka sendiri. Jika tidak, maka bersyukurlah. Artinya, momentum zaman koepon era 20 hingga 1930-an layak dijadikan spirit bagi pemerintah maupun masyarakat Jambi, untuk meraih kembali kejayaan produksi karet dari perkebunan rakyat. Kemudian menggalang semangat ekonomi lokal yang berbasis pertanian dengan menciptakan kesadaran historis perlu pula ditanamkan dalam jiwa masyarakat Jambi. Karet untuk kesejahteraan rakyat Jambi dengan demikian dapat dimanifestasikan melalui semangat “kembali ke zaman koepon”, guna meraih zaman keemasan bagi masyarakat dan Pemerintah Provinsi Jambi. sehingga memiliki posisi tawar dan diperhitungkan secara luas dalam kancah nasional maupun internasional. ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun