Kata mbak Mus, sedikit bercanda bumbunya hanyalah ada bawang putih, bawang merah, daun salam, garam, gula merah, merica setelah ditumbuk terus di"gongso" atau ditumis jadi bau dari bumbu sampai dihidangkan pun masih "nyegrak" menyengat tajam di hidung. Dan hidung pun hanya mampu membaui tidak mampu merasakan.
Andaikan tidak yang membaui maka tiadalah tahu kalau ada makanan lezat. Kata orang daging yang paling nikmat adalah yang menempel di tulang, dan setelah saya buktikan memang nyatanyalah seperti itu, apalagi tulang dari yang masih segar dan bisa disedot-sedot sum-sumnya hingga terdengar srut-srut. Gurih sekali boook.
      Demikian banyak kuliner yang ada di Pati, meskipun asem-asem tidak sekondang nasi gandul, sego tewel, soto kemiri namun dapat dikatakan asem-asem iga mewarani kekayaan wisata jajan di Pati, Kudus, Jepara, Rembang dan sekitarnya.Â
Dan asem-asem Mbak Mus begitu terkenalnya mengalahkan nama warungnya "Warung Barokah" bahkan tidak kalah yang ada di kota besar lainnya. Namun masakan Mbak Mus tidak bisa mengalahkan masakan istri saya. Tahu kan maksud saya? Â Hehehehe...
      Setelah habis tanpa belas kasihan untuk si daging dan teman-temanya yang semuanya masuk perut. Sekarang tinggal menyisakan piring dan mangkok, untuk menghilangkan rasa pedas peyek yang sedari tadi menami kriyuk-kriyuk makan iga sapi masuk juga ke mulut.Â
Setelah  makanan turun  ke perut gantian minuman jeruk, menghangatkan mulut sekaligus menghilangkan rasa pedas. Jam sebelas lebih sedikit ketika saya mendatangi Mbak Mus penjual merangkap kasir untuk membayar.Â
Dua puluh dua ribu rupiah, enam belas ribu untuk asem-asemnya, tiga ribu untuk nasinya, jeruk angetnya dihitung tiga ribu rupiah. Sedangkan peyeknya gratis katanya, Â karena saya pelanggan yang selalu ditunggu. Hahahaha ahay...