Padang Arafah
Ketika mendengar frasa "Padang Arafah," yang terbayang di benak saya adalah hamparan tanah tandus yang kering dan berdebu, dengan sinar matahari menyengat dan pasir yang menghampar sejauh mata memandang. Namun, semua bayangan itu buyar seketika ketika saya benar-benar menginjakkan kaki di Arafah ketika berhaji di tahun 2025 (1446H). Bukannya padang pasir gersang yang saya jumpai, melainkan bentangan rumput sintetis berwarna hijau yang menutupi seluruh area, membuat suasananya terasa sejuk di mata. Tidak ada debu yang beterbangan, tidak pula pasir yang menyelimuti kaki karena semuanya telah tertutup rapi oleh tenda-tenda besar ber-AC yang tertata rapat. Lorong dari pintu masuk ke arena tenda dilengkapi dengan kipas angin yang menyemburkan air yang menyegarkan kulit. Padang Arafah, suatu padang yang disimbulkan padang mahsyar tampilan fisiknya ternyata sama dengan taman kota yang padat dengan tenda.
Tenda-tenda yang menutup padang tersebut ber-AC, ber-sofa bed, dan berkarpet. Ukuran tenda sebenarnya luas, namun karena jumlah jamaahnya banyak, maka tenda tersebut terasa sebaliknya. Jumlah jamaah yang sekitar 300 orang dan keberadaan sofa bed menjadikan tenda yang sudah ngepres menjadi lebih ngepres. Pada akhirnya sofa bed ditiadakan dan diganti dengan karpet sehingga suasana jadi agak leluasa. Masing-masing jamaah mendapat satu kapling yang cukup untuk duduk dan berbaring tanpa keleluasaan untuk bergerak. Ketidaknyamanan karena sempitnya space sepertinya bukan kendala bagi jamaah termasuk saya. Kami semua sadar sesadar-sadarnya bahwa tenda tersebut memang bukan tempat untuk bersantai dan bersenda gurau. Tempat tersebut untuk berwukuf.
Banyak yang bertanya apa yang dilakukan ketika wukuf? Â Wukuf maknanya diam. Maka, sesuai dengan namanya, selama masa wukuf, jamaah tidak melakukan banyak aktivitas fisik layaknya tawaf, sai, dan lempar jumroh. Di padang Arafah ini jamaah disyariatkan menjalankan apa yang dulu para Nabi lakukan, yaitu berdiam diri, berkontemplasi, bermuhasabah, dan bermunajat kepada Allah
Berdasar pada tuntunan tersebut, maka aktivitas wukuf di tenda saya diisi dengan adzan, shalat dhuhur dan ashar yang dijamak qashar, khutbah wukuf, dzikir bersama, dan dzikir mandiri. Khutbah wukuf disampaikan oleh Dr Ari Ginanjar Agustian. Penekanan akan pentingnya keimanan yang berujung pada kerelaan dalam penghambaan terhadap Allah adalah isi utama dari khutbah. Khutbah juga menekankan pentingnya bersyukur atas nikmat kesempatan berwukuf mengingat wukuf adalah bersatunya waktu dan tempat yang mustajabah.
Dzikir bersama adalah aktivitas wukuf berikutnya. Permohonan ampunan atas semua salah dan dosa seperti yang disampaikan Nabi Yunus di QS. Al-Ambiya ayat 87 kami baca berulang-ulang, dilanjut dengan istighfar dan asmaul husna. Dzikir bersama ini menghasilkan suara yang menggema dan bisa membawa suasana khusuk.
Wukuf ditutup dengan dzikir dan doa mandiri. Di kesempatan ini saya mengucapkan istighfar sebanyak mungkin sebagai permohonan ampunan atas berbagai salah dan dosa. Selain itu, berbagai kalimat toyibah yang saya mampu saya lisankan dengan penuh penghayatan sebagai pengakuan atas keesaan, keagungan, dan kebesaran-Nya.
 Berbagai pujian dan pengakuan atas kebesaran-Nya diikuti dengan doa dan permohonan. Di kesempatan ini, berbagai keinginan dan hajat saya sampaikan. Ampunan, ridha, dan rahmat-Nya adalah tia hal yang saya langitkan pertama kali dan disusul dengan doa kebaikan dunia akhirat yang bersifat global. Doa-doa keduniawian yang bersifat sangat teknis dan spesifik tanpa malu-malu saya langitkan. Intinya, semua uneg-uneg keinginan tertumpah, tumplek bleg di kesempatan ini.
Doa titipan dari kerabat dan sahabat tidak lupa saya juga panjatkan.. Ada yang saya sebut by names dan by hajat, tetapi ada pula yang saya parafrasa sehingga yang terucap adalah hajat yang bersifat global. Hal ini saya lakukan mengingat saking banyaknya nama dan hajat yang dititipkan hingga saya sulit mengingatnya satu persatu. Doa untuk kebesaran dan keberkahan institusi di mana saya berkhitmat dan organisasi di mana saya berkiprah juga saya panjatkan dengan sungguh-sungguh.
So What?