Setelah sukses besar pada dua season sebelumnya, Squid Game Season 3 akhirnya tayang dan kembali menyita perhatian publik global. Namun kali ini, taruhannya terasa lebih tinggi. Tidak hanya memperluas arena permainan hingga ke level internasional, tetapi juga mempertegas satu hal, bahwa kita semua hidup dalam sistem yang kejam, dan ironisnya, sering kali ikut mempertahankannya sendiri.
Dengan melihat lebih dalam, terutama lewat konsep hegemoni dari Antonio Gramsci, Squid Game 3 bukan sekadar tontonan hiburan tetapi menjadi cermin tajam bagaimana sistem kapitalisme membentuk cara berpikir kita, mengendalikan pilihan, dan menentukan nilai hidup manusia.
Kapitalisme Hegemoni: Kekuasaan Tanpa Paksaan
Seperti season sebelumnya, Squid Game 3 menampilkan orang-orang dari berbagai negara dan latar belakang sosial ekonomi yang bersedia mempertaruhkan nyawa dalam permainan mematikan demi hadiah uang tunai fantastis. Yang menarik, mereka semua ikut secara sukarela.
Inilah bentuk hegemoni paling klasik, kekuasaan tidak lagi hadir dalam bentuk senjata atau ancaman, tetapi melalui penerimaan sukarela oleh yang tertindas. Dalam dunia Squid Game, masyarakat miskin, terjerat utang, dan kehilangan arah melihat permainan ini sebagai satu-satunya jalan keluar. Mereka tahu bisa mati, tapi tetap masuk. Sistem kapitalisme modern, dalam hal ini, telah berhasil membuat kematian tampak lebih masuk akal daripada hidup dalam kemiskinan.
Gramsci menjelaskan bahwa hegemoni adalah dominasi ideologis yang diterima sebagai "akal sehat". Inilah yang ditunjukkan Squid Game, logika bahwa semua orang harus berjuang sendiri, bahwa jika gagal maka itu salahmu sendiri, bukan salah sistem. Penonton diajak merenung: benarkah hidup ini sebuah kompetisi? Benarkah keadilan bisa dibeli dengan uang?
Netflix, Budaya Pop, dan Industri Hegemoni
Yang membuat Squid Game semakin kompleks adalah kenyataan bahwa serial ini ditayangkan melalui Netflix salah satu kekuatan utama dalam industri hiburan global. Artinya, kritik terhadap kapitalisme justru hadir lewat produk budaya kapitalistik. Apakah ini paradoks?
Tidak sepenuhnya. Justru di sinilah kekuatan serial ini. Squid Game menggunakan platform dominan untuk membocorkan kenyataan yang sering ditutupi oleh hiburan popular, bahwa industri hiburan pun bagian dari sistem hegemoni. Ia menjadi contoh konkret dari bagaimana budaya populer bisa menjadi arena pertempuran ideologis.
Dalam Cultural Studies, budaya dianggap bukan sebagai refleksi pasif realitas, tetapi sebagai arena konflik makna. Dan dalam hal ini, Squid Game 3 menjadi alat untuk mendekonstruksi narasi dominan tentang kerja keras, keberhasilan individu, dan mimpi kapitalistik.