“Melarang suami berselingkuh, ibarat menahan buang air besar.”
Demikian filosof sobat saya yang kenyang dengan ulah suaminya tukang selingkuh. Bertahan 40 kali lebaran, sempat dimadu 3 kali. Bentengnya jebol, rumah tangganya bubar pada tahun ke 41.
Ini hanya ilustrasi, betapa susahnya membina rumah tangga, jika di otak suami atau istri selalu ada wanita/pria idaman lain, kecuali pasangan halalnya.
Orang dahulu menyebutnya “hati yang mendua”. Atau “ingin berbagi/berpindah cinta ke lain hati”.
Dampak perselingkuhan berakibat buruk pada ketahanan rumah tangga. Tidak sedikit pasangan suami isteri mengawali kehidupan dengan susah payah. Untuk makan saja ngutang sana-ngutang sini.
Tatkala ekonomi mulai membaik, anak sudah punya, harta melimpah, isteri makin cantik, suami tambah ganteng. Gara-gara direcoki perselingkuhan, semuanya hancur berkeping-keping.
Dalam kasus ini, yang paling tersakiti adalah pihak yang dikhianati. Andaikan suami yang mendua, korban pengkhianatannya adalah isteri.
Sebaliknya jika isterinya berulah, suami yang terdzalimi. Pada titik ini, bagi seorang laki-laki tahurahannya adalah harga diri.
Tersebab konflik beginilah suami sering gelap mata. Mereka cendrung menyelesaikan masalah dengan caranya sendiri. Hukum rimba berlaku.
Lalu bagaimana posisi orang ke tiga? Yang biasa dikenal dengan istilah pebinor (perebut bini orang) atau pelakor (perebut laki orang). Sebelumnya mohon maaf. Sebutan ini bukan merupakan luapan suka atau tidak suka. Sekadar mengikuti trend saja.
Saya belum berpengelaman punya teman seorang pebinor. Dengan pelakor? Pernah. Sitidaknya lebih dari 3 kali.
Anehnya, ada beberapa oknum perempuan terlahir dengan bakat perebut laki orang. Terlepas apakah dia perawan atau janda.