Dahulu Pipit (bukan nama sebenarnya) dan dua adik cowoknya tinggal bersama kedua orangtuanya di kota M. Karena ibu dan bapaknya bercerai, mereka memilih ikut sang ayah, kembali ke daerah asalnya di desa. Kurang lebih 80 meter dari kediaman saya.
Saat itu Pipit kelas 3 Sekolah Dasar, adiknya yang nomor 2 belum sekolah, dan si bungsu 4 tahun dalam kondisi sakit. Karena Pipit dan putri saya berteman, dia kerap main ke rumah saya dan sering curhat tentang keluarganya di kota M.
Ketika saya tanyakan kenapa dia tidak bersama ibunya saja. Gadis mancung itu menjawab, dia benci kepada ibunya. "Kalau ayah pergi kerja, dia bla, bla ...," ujarnya polos.Â
Di tanah kelahirannya ini Ropi meneruskan usaha orangtuanya berjualan nasi sekaligus warung kopi. Tak lama kemudian dia menikah lagi. Isteri barunya diboyong ke rumah kedainya.
Seiring berjalannya waktu, bisnis Ropi laris manis. Pipit tumbuh menjadi gadis cantik dan rajin membantu orangtua. Walaupun usianya baru 12 tahun (kelas 5 SD) dia pintar bekerja layaknya orang dewasa.
Sebelum berangkat ke sekolah rutinitasnya membantu ayahnya di dapur. Memasak air sampai membuat gorengan dalam porsi yang banyak untuk melengkapi dagangannya.
Saat berbelanja pagi hari, tak jarang saya temui Pipit beraktivitas sendirian. Sementara orangtua dan adik-adiknya belum kelihatan. Pulang sekolah pekerjaan lain menunggu. Mulai mencuci pakaian sampai menggiling cabe pakai cobek besar. Bayangkan saja cabe untuk masakan rumah makan, meskipun rumah makan versi desa.
Singkat cerita, setelah Pipit lulus SMA (1994), ibu kandungnya Nani (samaran) datang. Katanya dia sangat rindu pada ketiga buah hatinya.
Karena Nani nginap di rumah saya, saya dan suami merasa terpanggil untuk memediasi supaya dia dan anak-anaknya bisa bertemu.
Kebetulan hari itu Ropi sekeluarga bersiap-siap hendak pergi ke kota P di luar provinsi. Tujuannya mencari tempat kos buat Pipit. Karena putrinya itu telah diterima di salah satu perguruan tinggi di sana.
Pipit dan 2 adiknya menolak menemui ibunya. Padahal masih ada tenggat waktu 10 jam menjelang keberangkatannya. Suami saya membujuknya dengan berbagai cara. Termasuk minta bantuan Ropi supaya hati anak-anaknya itu melunak.Â