Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Malang Nian Nasib Pengantin Ini. Gara-gara "Nyalang" Mempelai Wanitanya Tewas Ditimpa Kelapa

12 Januari 2020   19:48 Diperbarui: 12 Januari 2020   20:37 873
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pesta pernikahan keluarga berada versi masyarakat desa. Dokumentasi pribadi.

Di kampung-kampung,  inti dari sebuah pesta pernikahan adalah pelaksanaan serangkaian upacara adat.  Ia tak lebih dari tradisi, yang praktiknya berbeda di daerah satu dengan tempat lainnya.

Di kampung saya, momen tersebut seakan menjadi keharusan yang tidak bisa "tidak". Mungkin karena sudah merupakan tradisi. Terutama  bagi anak perawan, semiskin apapun orangtuanya. Warga setempat menyebutnya "bimbang"  

Andai "bimbang" tidak dilaksanakan, cenderung menimbulkan fitnah. Anak daro jo marapulai (pengantin wanita dan pria) dicurigai  berkasus. Dituding  tidak perawan tersebab melanggar etika dan norma  agama alias berzina. Walaupun zaman kini tak jarang juga belum genap lima bulan pasca akad nikah, pengantin perempuannya sudah melahirkan. Bahkan ada yang dalam hitungan minggu.

Ironisnya, segala dana yang berkaitan dengan hajatan, ditanggung oleh pihak perempuan. Kecuali  urusan administrasi untuk ijab qobul (biaya nikah dan mahar).

Tak aneh zaman saya dahulu, mulai anak gadisnya berumur 7 tahun, para orangtua sudah mulai guyuran. Umpamanya menyiapkan perangkat kamar atau peralatan tidur pengantin.

Hal ini dapat dimaklumi, dahulu di kampung-kampung belum ada jasa sewa pelaminan. Tidak sama dengan sekarang. Di desa atau di kota kapan butuh tinggal telepon. Tarif negoan sangat irit ada, yang sedang banyak, kelas super mewah pun berjibun. Bisa disetarakan dengan ketebalan kantong.

Zikir rebana pada acara pernikahan keluarga sangat sederhana di Inderapura. Dokumentasi pribadi
Zikir rebana pada acara pernikahan keluarga sangat sederhana di Inderapura. Dokumentasi pribadi
Yang meringankan, "bimbang" bisa dibuat sesederhana mungkin. Tidak ada yang mengejek kalau memang pengantinnya keluarga tak punya. Yang penting pada hari "H"-nya kedua mempelai berpakaian pengantin,  rebana ditabuhkan, suara zikir mengalun. Ini adalah ciri khas pesta pernikahan anak perawan, yang berlaku di kampung saya. Tamunya para tetangga dan kerabat terdekat saja. Mereka diundang secara lisan oleh panitia yang ditunjuk. 

Perjamuan besar-besaran juga banyak. Sesuai status sosial pemilik hajat. Ribuan undangan dilayangkan, motong sapi motong kambing,  mengundang orang-orang penting, menyewa band dan artis terkenal. Namun zikir rebana tak boleh tinggal.

Yang kasian, ada hajatan yang kurang mujur. Orangtua pengantin kaya, undangan telah tersebar, sapi sudah dipotong.  Eh ...! Walimatul 'Urs-nya sepi. Yang hadir boleh dihitung dengan jari.

Rangkaian acaranya lumayan unik. Usai akad nikah, pengantin lelaki belum boleh nginap di tempat  isterinya.  Nanti pada hari perhelatan, beriring zikir dan rebana dia diarak  ramai-ramai oleh sanak keluarganya ke kediaman mempelai wanita. Ritual ini desebut "nganta marapulai" atau mengantar mempelai lelaki.  

Selajutnya siap mengikuti  acara  "duduk basandiang duo" atau duduk bersanding berdua. Ini merupakan acara puncak dari apa yang disebut "bimbang"  tadi. Berlaku untuk si kaya dan si miskin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun