Percayalah, Pak Supir saya bukan wartawan. Hanya penulis artikel di blog kroyokan Kompasiana.
Pria berbaju kuning itu mengeluarkan selembar kartu identitas. Entah kartu apa, saya mengabaikannya. "Saya juga Wartawan. Merangkap LSM di Kabupaten Merangin." Wajahnya kurang enak.
Suami saya bertanya. "Biasanya bawa sawit Bang, ya."
"Apa yang ada aja. Kadang sawit. Pulangnya bawa bata merah. Kalau muatan sebelah, tidak untung. Cukup untuk setoran dan bensin aja."
Obrolan menyenggol  harga sawit. Katanya murah mahalnya komuditi itu tergantung mutu. "Makanya, jangan sok tahu membahas sesuatu kalau tak paham kualitas barangnya."
"Saya tidak hendak membahas sawit. Cuman sharing pengalaman." Saya tetap nyinyir. Â "Bagaimana dengan penjahat di daerah S, dan R, yang konon ceritanya sering merampok para pengemudi yang lewat. Apa awak pernah punya pengalaman buruk?" Â selidik saya.
"Kalau itu saya tidak takut. Syukur-syukur saya tidak ngerampok mereka," katanya enteng.
Tak boleh ya sudah. Â Sebelum pamit pulang, Â saya tanyakan namanya siapa, dan berasal dari mana.
Saya kaget. Rupanya pria yang mengaku bernama Uyun Koto itu satu kampung dengan saya. Setelah dia menarasikan tentang saudaranya si A, si B, dan C, kisahnya semakin terang benderang. Dia bagian dari keluarga saya. He he.
"Kalau Allah menghendaki, dengan seribu satu jalan silaturrahmi kita tersambung  ya, Uni," katanya bangga.