Lulus SMA,  Ibu mau menjodohkan aku dengan pilihannya. Seorang pemuda yang menurut beliau baik dan pintar cari duit. Itulah dua kriteria utama bagi orang tua kampung  dalam memilih menantu idola.
Berbagai cara beliau lakukan agar hatiku luluh. Mengajakku ngomong baik-baik, marah-marah, sampai  minta pertolongan orang pintar.
Soal wajah, pria lulusan SD itu lumayan ganteng. Usianya dua tahun di atasku. Tapi aku tetap konsisten dengan niat semula, mendambakan pasangan yang baik dan berpendidikan. Minimal sederajat dengan diriku.
"Untuk apa orang sekolah tinggi jika tak pandai mencari duit? Ijazah tak bisa dimakan, tak bisa digoreng." demikian protes Ibu dan sanak keluarga ketika kupaparkan alasan penolakanku.
Risih dengan keadaan, aku minta diantarkan kepada saudara perempuan Ibu ke kota X. Mengungsi ke tempat putri beliau yang ikut suaminya bekerja di sana.
Seminggu di kota  tersebut, aku bekerja di sebuah perusahaan makanan ringan.  Tanpa disangka-sangka, sebulan kemudian aku berkenalan dengan cowok asal luar Sumatera. Mas Wid. Begitu dia biasa disapa, karyawan beda perusahaan. Aku mengenal dia karena berteman dengan  Gina adik perempuannya, yang notabene rekan kerjaku.
Dari awal bertegur sapa, komunikasiku dan Mas Wid nyambung. Bawaannya penyayang dan  perhatian. Bagaimana terhadap Gina begitu pula dia memperlakukan diriku.  Lama-lama aku merasa  terayomi, dan menganggapnya abang sendiri.
Singkat cerita, tanpa disadari aku dan Mas Wid saling jatuh cinta. Aku berpikir, tunggu apa lagi. Dua kreteria jodoh pilihanku telah terpenuhi. Malah di atas standar. Pendidikannya Diploma 3, ganteng pula. Setelah adanya kecocokan dari pihak Mas Wid, kuminta restu kepada Ibu dan sanak keluarga. Mereka setuju. Asal akad nikah dan pestanya diselenggarakan di kampung halaman. Kami menikah akhir 1998.
Meskipun kami berbeda suku, hampir tiada kendala bagiku dan Mas Wid selama mengayuh biduk rumah tanggga. Â Memang apa yang telah ditakdirkan Allah tak ada yang melenceng. Pria yang bernama asli Widodo itu memang pasangan idiel bagiku dikirimkanNYa dari syurga.
Enam bulan usia pernikahan, belum ada tanda-tanda kehamilan menghampiri tubuhku. Dokter kandungan menyarankan aku  agar  istirahat total. Atas permintaan Mas Wid, aku memutuskan berhenti bekerja.
Tiga bulan kemudian, aku positif hamil. Cinta Mas Wid padaku semakin bertambah. Hal ini terlihat, sehabis jam kerja dia langsung pulang. Katanya kasihan isterinya sendirian di rumah.