Di tengah pesatnya perkembangan teknologi digital, banyak negara termasuk Indonesia mulai menata ulang strategi penerimaan negaranya. Tidak hanya dari sisi perpajakan yang terus mengalami pembaruan regulasi, tetapi juga dari sektor Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang kini diarahkan agar lebih transparan, efisien, dan berbasis sistem digital. Salah satu sektor yang kini menjadi perhatian serius adalah sektor transportasi laut.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi luar biasa dari sektor pelayaran. Namun, potensi ini belum tergarap optimal untuk mendukung penerimaan negara. Salah satu kendala utama yang selama ini terjadi adalah birokrasi yang panjang, pengawasan yang lemah, dan sistem perizinan serta administrasi fiskal yang masih konvensional. Di sinilah digitalisasi hadir sebagai solusi.
Kementerian Perhubungan melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Laut telah mengambil langkah signifikan dengan mengembangkan sistem berbasis digital seperti SIMLALA (Sistem Informasi Lalu Lintas Angkutan Laut) dan dari sisi perpajakan adapula kanal digital dari Direktorat Jenderal Pajak berupa sistem pengelolaan dokumen seperti SKTD (Surat Keterangan Tidak Dipungut Pajak) yang menjadi bagian penting dalam transparansi fiskal di sektor pelayaran. Dalam hal permohonan SKTD, Perusahaan pelayaran domestic khususnya harus memiliki SIUPAL yang dapat kita cek keabsahannya di SIMLALA. Langkah ini merupakan bentuk integrasi antara pelayanan publik dan kebijakan fiskal negara.
Sebagai contoh, SIMLALA memberikan kemudahan bagi perusahaan pelayaran dalam pengurusan izin seperti SIUPAL (Surat Izin Usaha Perusahaan Angkutan Laut), Surat Persetujuan Berlayar (SPB), hingga sertifikat-sertifikat kelaikan kapal. Semua dilakukan secara daring, terintegrasi, dan dapat dipantau secara real-time. Hal ini secara langsung mengurangi potensi pungutan liar, mempermudah validasi data, dan memperkuat dasar perhitungan PNBP.
Sementara itu, penggunaan SKTD sebagai dokumen digital yang menyatakan suatu transaksi tidak dipungut pajak (misalnya PPN), merupakan inovasi penting dalam sektor pelayaran. SKTD sangat relevan terutama bagi perusahaan pelayaran yang mendapatkan fasilitas fiskal tertentu, seperti dalam layanan pelayaran dalam negeri. Dengan sistem digital, SKTD bisa diakses dan diverifikasi secara langsung oleh otoritas fiskal, sehingga mengurangi risiko manipulasi dan memperkuat integritas sistem perpajakan nasional.
Menurut berita yang dirilis Antara pada Maret 2024, digitalisasi layanan pelabuhan oleh Kemenhub telah mendorong peningkatan PNBP secara signifikan. Ini menjadi bukti bahwa arah transformasi digital bukan sekadar wacana, tetapi berdampak nyata terhadap kas negara. Bahkan disebutkan bahwa efisiensi waktu layanan yang dulunya memakan waktu harian kini bisa diselesaikan dalam hitungan jam. Efisiensi ini sejalan dengan meningkatnya kepatuhan pelaku usaha dan kontribusi fiskal mereka terhadap negara.
Tak hanya pemerintah, asosiasi pelayaran seperti DPP INSA (Dewan Pengurus Pusat Indonesian National Shipowners’ Association) pun menyadari pentingnya peran digitalisasi. Dalam pernyataan resminya melalui situs dppinsa.com, DPP INSA bahkan membentuk bidang khusus yang menangani digitalisasi industri pelayaran. Ini mencerminkan semangat kolaborasi antara regulator dan pelaku usaha dalam membangun ekosistem pelayaran yang lebih modern, transparan, dan akuntabel.
Namun, transformasi digital di sektor maritim tidak datang tanpa tantangan. Masih terdapat kesenjangan infrastruktur, terutama di pelabuhan kecil dan daerah terpencil. Belum semua operator kapal atau pemilik usaha pelayaran memiliki kesiapan teknologi maupun SDM yang memadai. Selain itu, konsistensi regulasi dan interoperabilitas antar sistem lintas kementerian juga menjadi tantangan tersendiri.
Meski demikian, dari perspektif jangka panjang, digitalisasi pelabuhan dan administrasi fiskal diprediksi menghasilkan multiplier effect yang besar. Tak hanya berdampak pada penerimaan negara, tetapi juga pada efisiensi biaya logistik nasional yang selama ini menjadi sorotan. Biaya logistik Indonesia masih berkisar 23 - 24 persen dari PDB, nilai ini lebih tinggi dibanding negara tetangga. Apabila sistem digital dapat menurunkan biaya tersebut, maka dampaknya akan terasa pada daya saing ekspor dan pertumbuhan ekonomi nasional.
Pajak dan PNBP merupakan dua komponen vital dalam struktur APBN. Bila sektor maritim yang menjadi tulang punggung logistik nasional dapat terdigitalisasi secara menyeluruh, maka kontribusinya terhadap penerimaan negara akan semakin optimal. Oleh karena itu, digitalisasi tidak boleh berhenti di tataran teknis. Harus ada integrasi lintas kementerian, penguatan regulasi, pengawasan cerdas berbasis data, serta evaluasi sistem secara berkelanjutan.
Harapan ke depan, digitalisasi di sektor pelayaran bukan hanya menciptakan layanan yang cepat dan efisien, tetapi juga mendorong transformasi struktural dalam sistem fiskal negara. Ini saatnya sektor maritim tidak hanya menjadi penggerak perdagangan antarpulau, tetapi juga menjadi penopang kuat penerimaan negara di era digital.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI