Mohon tunggu...
Nur Ramadhanty
Nur Ramadhanty Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Politik

Mahasiswa Ilmu Politik yang sangat menyukai seni.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Peringatan Hari Perempuan Internasional: Menagih RUU Pekerja Rumah Tangga

14 Maret 2023   22:12 Diperbarui: 16 Maret 2023   09:53 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Setiap tahunnya, peringatan Hari Perempuan Internasional selalu dilaksanakan pada tanggal 8 Maret. Pada peringatan tahun ini, tema yang diusung adalah “Perlindungan Inklusifitas dan Aksesibilitas” dengan jargon “Think, Agitate, Organize! Our work matters”. Aksi ini sendiri dilakukan untuk mengkampanyekan isu-isu penindasan perempuan agar menjadi wadah bersama perempuan di berbagai elemen dan minoritas gender.

Ada delapan fokus isu yang diangkat dalam aksi kali ini, termasuk diantaranya adalah pengesahan RUU Pekerja Rumah Tangga (PRT). RUU tersebut menjadi penting karena banyaknya perempuan yang bekerja sebagai PRT, namun belum memiliki perlindungan dan hak-hak yang cukup di tempat kerja. Oleh karena itu, pengesahan RUU PRT menjadi salah satu tuntutan dalam peringatan Hari Perempuan Internasional kali ini, sebagai upaya untuk memperjuangkan hak dan perlindungan bagi para pekerja rumah tangga perempuan.

Menurut jajak pendapat yang dilakukan oleh Jaringan Nasional Advokasi (Jala) PRT dan Universitas Indonesia pada tahun 2015, terdapat 4,2 juta PRT di Indonesia dan diperkirakan sekarang jumlahnya telah mendekati angka 5 juta. Namun sayangnya, perlindungan hukum untuk para pekerja rumah tangga belum sepenuhnya hadir. Masih melansir dari jajak pendapat Jala PRT, banyak kasus PRT yang hingga saat ini belum sepenuhnya terselesaikan. Menurut hasil survey yang dilakukan, dari 2017 hingga 2022, terdapat kasus multi kekerasan berakibat fatal mencapai angka hingga 1635 kasus. Tidak hanya itu, bahkan kasus kekerasan fisik, psikis, dan ekonomi mencapai 2031 kasus dan kekerasan ekonomi hingga 1609 kasus. 

Koordinator Nasional Jala PRT Lita Anggraini menyatakan bahwa para pekerja rumah tangga rentan mengalami eksploitasi dan kekerasan di tempat kerja, seperti bekerja dalam jam kerja yang panjang tanpa mendapatkan libur dan jaminan sosial, beban kerja yang terus bertambah, dan tindakan eksploitasi lainnya. Sayangnya, tindakan tersebut dilakukan oleh para pemberi kerja dengan status ekonomi menengah ke atas. Para pekerja rumah tangga seringkali diberi iming-iming gaji yang sangat murah atau bahkan tidak digaji sama sekali. Beberapa dari mereka bahkan tertipu oleh agen penyalur PRT. Hal ini menunjukkan bahwa perlindungan dan hak para pekerja rumah tangga, terutama perempuan, masih sangat minim dan perlu segera ditingkatkan.

Selain itu, Lita Anggraini menyatakan dalam acara HOTROOM bahwa negara wajib memberikan tunjangan kesehatan dan jaminan sosial secara gratis jika PRT tidak mendapatkan gaji minimum, yaitu sebesar 20-30% dari upah minimum regional. Selain itu, dukungan sosial juga perlu diberikan karena berdasarkan hasil survei yang dilakukan terhadap 668 PRT di tujuh lokasi, 82% dari mereka tidak memiliki perlindungan sosial, terutama di masa pandemi.

Lebih lanjut, menurut salah satu anggota DPR Fraksi NasDem, Willy Aditya, RUU PRT tidak hanya membahas perlindungan bagi pekerja rumah tangga di Indonesia, tetapi juga membicarakan perlindungan bagi pekerja rumah tangga di luar negeri. Hingga saat ini, negara belum sepenuhnya mampu melindungi pekerja rumah tangga karena undang-undang ketenagakerjaan nomor 13 tahun 2003 hanya mengakui pekerja rumah tangga pada sektor barang dan jasa, bukan pada sektor domestik sehingga mereka tidak memiliki status hukum atau legal standing yang jelas.

Di sisi lain, pada realitanya, pengesahan RUU ini tidaklah semudah yang dibayangkan. RUU ini sendiri telah ‘mangkrak’ selama 19 tahun dan belum ada tindakan lebih lanjut ke arah pengesahan. Usulan RUU ini pun dimulai pada tahun 2004 dan telah mengalami tujuh puluh delapan kali revisi dan pendalaman namun belum juga membuahkan hasil. Padahal, dalam perjalanannya, RUU ini telah menempuh jarak yang cukup jauh. Kita bisa lihat pada tahun 2013 dimana draft RUU PRT telah diserahkan kepada badan legislatif DPR. Sayangnya, dari tahun 2014 hingga 2019, RUU PRT masih berada dalam daftar tunggu Prolegnas.

RUU PRT baru mencapai status paripurna pada tahun 2019. Tujuh partai telah menyetujui akan pengesahannya. Akan tetapi, dua kelompok partai tidak setuju dengan RUU ini dan mereka tetap memutuskan bahwa RUU ini perlu direvisi. Melansir dari IDN Times, Ketua DPR RI, Puan Maharani, dilaporkan telah mengumumkan secara tertulis pada hari Kamis, 3 September 2023, bahwa Badan Legislasi DPR RI telah mengkaji RUU PRT dan sepakat untuk menunda pengajuan RUU PRT ke Rapat Badan Musyawarah yang berlangsung pada 21 Agustus 2021. Keputusan ini, menurut Puan, diambil untuk mengumpulkan informasi yang lebih tepat tentang situasi yang dihadapi. Pilihan ini diambil karena masih diperlukan pendalaman lebih lanjut mengenai RUU PRT.

Tentu saja, banyak pihak yang telah menunggu pengesahan RUU PRT dalam waktu yang sangat lama merasa kecewa dengan pilihan ini. Hal ini dikarenakan mayoritas fraksi yang ada di DPR telah menyetujui untuk pengesahannya, namun tetap saja belum kunjung disahkan. Selain itu, kekecewaan datang karena PRT seharusnya telah mendapatkan hak-haknya serta perlindungan dari undang-undang sejak lam. Mereka memainkan peran penting dalam masyarakat, dan perlu untuk mengakui dan membela hak-hak mereka. Bahkan, Presiden Joko Widodo pun dalam rapatnya pada Rabu (18/01/23) sangat mendorong pengesahan RUU ini secepatnya untuk memberikan perlindungan hukum bagi pekerja rumah tangga yang berisiko kehilangan hak-hak pekerjaannya di atas Peraturan Menteri. Dirinya yakin sudah saatnya Indonesia memiliki undang-undang PRT karena pada kenyataannya, pekerja rumah tangga berisiko kehilangan hak-haknya dan itu sudah berlangsung lama. 

Dalam aksi yang digelar pada 8 Maret lalu ini, masyarakat mencanangkan bahwa RUU PRT bukanlah suatu rancangan undang-undang yang bisa disepelekan. Terdapat banyak pekerja rumah tangga yang membutuhkan perlindungan hukum didalamnya. Semakin lama pengesahan maka semakin lama juga hak-hak para pekerja yang dapat diberikan. Keadilan perlu ditegakkan di Indonesia tanpa memandang bulu. Maka dari itu, pengangkatan isu RUU PRT yang telah ditunda selama hampir dua dekade ini menjadi hal yang krusial untuk dibahas. Isu ini bukan hanya menjadi suatu hal yang dibahas pada hari perempuan internasional kemarin saja, tetapi juga perlu menjadi pembahasan yang terus-menerus hingga keadilan ditegakkan dan hak-hak pekerja rumah tangga diakui secara penuh.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun