Mohon tunggu...
Ella Yusuf
Ella Yusuf Mohon Tunggu... Tukang Kebun

I love reading as much as I love my cats

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

The Agent IX

5 Mei 2015   10:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:46 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

 

 

 

Sinopsis

Well, mmm… aku jarang menggunakan kekuatan itu.

Oh ayolah, kau sudah tahu kekuatan apa yang kumaksud. Ya, aku nyaris tak pernah menggunakan itu sejak benar-benar bisa mengendalikannya. Asal kau tahu, dari sekian banyak jenis kekuatan, kemampuan melihat masa lalu adalah yang paling tidak keren. Maksudku, siapa sih yang mau melihat ibumu bercinta dengan instruktur yoga-nya lewat pelukan ringan?  Dan gara-gara kekuatan mengerikan ini, aku jadi keceplosan menyebut nama pembunuh cinta tak berbalasku Jeff ketika menemukannya tergeletak dengan kepala pecah ditembak…

Cerita Demi Finn dimulai di sini. Episode Sebelumnya di sini.

---

 

Bagaimana rasanya tercatat jadi orang mati? Well, aku pernah dengar tentang orang-orang yang masuk daftar orang mati padahal masih hidup di India. Mereka jadi korban pemalsuan surat kematian oleh keluarga sendiri. Umumnya karena warisan atau surat kepemilikan tanah, tapi tak pernah terpikir olehku jika nanti aku bisa jadi salah satu dari mereka. Tercatat sebagai orang mati, maksudku.

“Obyekmu yang ini masih hidup,” ucap Jake ketika kami masuk lift. Obyek. Okay, memang menjadi agen rahasia bisa mengeraskan hati seseorang, tapi serius deh masa sih harus obyek?  Kami naik hingga lantai teratas dan langsung disambut oleh pria berjas begitu keluars lift. Pria berjas yang ternyata bernama Howard itu menggiring kami masuk ruang rawat inap paling ujung. Jangan tanya darimana aku tau namanya Howard. Kami sempat bersalaman tadi. Di dalam ruangan telah menunggu Dr. Stanley, ia tersenyum menyambutku ramah.

“Kau bertugas di sini dok?” tanyaku, dokter baik ini menggeleng, “aku hanya mendampingimu dan mengambil beberapa data,” ia berbalik lalu menyeret beberapa alat berkabel ke dekat ranjang kosong yang ada di samping korban. Korbannya wanita, ia berbaring koma dengan muka dan sebagian pundaknya diperban.

“Kau suka nonton runaway fesyen?” Tanya dr. Stanley sambil memintaku –dengan isyarat- untuk duduk di pinggir ranjang yang ada di samping korban, jadi aku melangkah dan duduk di sana. Tampaknya tak perlu ada basa-basi di pertemuanku dengan dr. Stanley kali ini karena setelah aku duduk, ia langsung mondar-mandir mempersiapkan semua alat yang dibutuhkan. “Ibuku sering mengajak,” aku sudah merasa tak perlu menjelaskan kalau mom desainer, karena mereka pasti sudah membaca semua berkasnya. Kulirik Jake, ia duduk di sofa putih dengan bahu tersandar. Apa ia benar-benar pindah ke apartemen yang sama?

“Wah kalau begitu mungkin kau pernah melihat wajahnya. Wanita malang ini model,” dr. Stanley menoleh sedih ke arah korban, lalu berbalik. Ia mengoles gel di dahi, leher, dan dadaku, lalu menyeret alat penuh kabel yang tadi aku lihat, “dia model Vuitton?” tanyaku sambil memperhatikan dr. Stanley  bergerak luwes mengatur kabel-kabelnya. “bukan,” ia menempel indikator-indikator berkabel ke titik-titik kepalaku yang diolesi gel tadi, “dia model pakaian dalam rahasia,” lanjutnya setengah bercanda, kini ia menjepit telunjukku dengan alat deteksi detak jantung. Aku meringis.

Dr. Stanley mengaktifkan mesin-mesinnya, memastikan semua terhubung dan mendeteksi apa pun itu dari tubuhku dengan baik, “kau siap?” tanyanya dengan wajah yang kini kaku. Ia bisa merasakan keteganganku, “tidak,” jawabku sambil mengambil posisi.

Kugenggam tangan kanan wanita yang berbaring di dekatku, meski seluruh wajahnya di perban, aku tahu ia cantik karena tungkai dan bentuk dagu yang lancip itu hanya bisa dimiliki wajah yang nampang di cover Vogue. Kuhirup nafas dalam-dalam. Oh ya, dia salah satu Victoria’s Angel.

Sayap, kilatan lampu, debaran jantung dan banyak pesta. Kau suka sekali jadi perhatian ya, Megan? Oke ini kelab. Kau sering ke sini? Wah, ini teman-temanmu? Keren, tapi serius deh, minum air putih dan pura-pura mabuk? Kau lumayan aneh untuk ukuran perempuan cantik... ah siapa itu? Tampan. Pacarmu? Bukan, oh bagus cinta satu malammu... tapi kau benar-benar suka dia ya? Whoa, sesuka itu? Meski kalian baru seminggu kenal? Hmm, wajar saja, kau kesepian ya? Persaingan memang akan membuatmu sulit dapat sahabat, tapi seharusnya kau tidak menghabiskan seluruh waktumu dengan bekerja atau paling tidak, jangan mencari kesenangan di klab, maksudku, kau bahkan tak minum alkohol! Oh, dimana sekarang? Kalian kencan di lorong gelap? Eh?  tidak! Jangan!! Oh Tuhan, apa yang kaulakukan!? Jangan sakiti dia!

“HAAAA!!” sakit! Tidak!! Pip pip pip pip piip...

“Lepaskan Finn! Lepaskan tangannya, Sialan!” Kulepas tangan Megan. Kini aku jatuh tersungkur di lantai, kubiarkan tanganku menutupi wajah. Aku menangis, oh Tuhan sakit sekali.

***

Di siram air keras tak hanya membuatmu merasakan lelehan kulit, tapi juga bisa membuat jantungmu tersengat, dan sakitnya bukan main. Well tapi untunglah aku akan ambil fesyen bukan kimia jadi cairan-cairan macam itu tak perlu kusentuh lagi selamanya.

Aku terbangun karena suara decitan meja dan begitu menoleh, terlihat Jake sedang memakai lengannya untuk menekan leher dr. Stanley ke tembok.

“Jika lain kali kau melakukannya lagi, aku akan buat kau merasakan rasa sakitnya, dua kali lipat,” kudengar Jake mendesis. Howard berusaha menenangkan tapi tampaknya usahanya kurang berhasil karena dr. Stanley sudah mimisan.

“Ini yang terakhir. Kami butuh datanya, Egnatz,” jelas dr. Stanley dengan suara menahan sakit.

“Lepaskan Jake,” Kudengar diriku mencicit. Tenggorokanku terasa kering dan tubuhku menggigil. Oh ya, memang aku masih gemetar. Buliran keringat juga membuat kausku basah kuyup. Jake menoleh lalu melepaskan lengannya dari leher dokter malang itu. Ia mendengus lalu berjalan kasar ke arah pintu, pergi.

“Miss Finn,” dr. Stanley menghampiriku dan membantuku untuk duduk.

“Aku akan berjaga di luar, dok,” ujar Howard sambil meninggalkan ruangan. Setelah ruangan hanya berisi kami berdua, dr. Stanley mendesah sambil membersihkan hidungnya, “Aku benar-benar minta maaf,”  kulihat sekeliling ruangan, kami sudah pindah dari kamar Megan.

“Tak apa,”  perutku mulai mual. Yang tadi itu mengerikan sekali. “Apa kau butuh sesuatu?” dr. Stanley masih terlihat cemas. Kalau boleh minta, aku ingin keluar dari semua kekacauan ini dan mendapatkan hidup normalku lagi.

“Tak apa dok, mmm... aku belum memberi keterangan ya?"

"Oh tidak, kau bisa istirahat dulu Miss Finn," sergah dr Stanley cepat, tapi aku tak ingin istirahat di tempat ini. Aku ingin buru-buru enyah dari tempat ini.

"Tak apa dok. Pelakunya teman kencannya sendiri, blonde, 180, Megan memanggilnya  Blake, kurasa ia pshyco,” Kuberanikan diri menjelaskan bagian psycho, karena hanya orang gila yang menyerang teman kencannya tanpa alasan. Ia -orang itu- bahkan tertawa memandangi kami yang menggeliat kesakitan. Ia tertawa sambil menginjak dan menendangi kami. Ya kami, karena aku juga merasakan serangannya.

“Oke aku mengerti,” dr. Stanley mengambilkanku segelas air dan aku langsung menandaskannya. Wajahku agak perih. Yang Megan alami sangat menyakitkan. Ia benar-benar cinta pria itu, aku bisa merasakan perasaannya, kaget, kecewa, dan sedih. Sangat sedih sampai dadaku sesak mengingatnya.

“dok... apa aku boleh pulang?”

***

Kuambil sesendok besar eskrim vanilla, lalu kumasukkan bongkahan lembut dingin itu ke mulut. Aku dan Jake sudah dalam perjalanan pulang, tapi sebelum kembali ke apartemen aku meminta Jake untuk berhenti di Katz’s Deli dan dengan mengejutkan pria itu menyetujuinya. Sebelum pulang ia bahkan mampir ke Lottemart dan membelikanku setengah liter Haagen Daasz untuk dimakan selama perjalanan.

Kuusap air mataku lalu kusendok bongkahan eskrim selanjutnya. Oh masa bodoh dengan imej, sudah sangat terlambat untuk berperilaku jaim di depan Jake mengingat aku sudah pernah meraung-raung di pundaknya saat berkenalan dengan Emily. Sekarang aku harus melakukan sesuatu dengan suasana hatiku sendiri, dan menangis adalah hal terbaik yang bisa kulakukan.

Maksudku, bagaimana kau bisa tetap cinta pada orang yang sudah menghancurkan masa depanmu? Dia mencintai pekerjaannya dan sekarang wajahnya hancur! Ia tak punya kesempatan untuk kembali ke fesyen. Cintanya sudah direnggut, ia dikhianati dan tak punya masa depan lagi.

“Anya dan anak laki-laki Misas itu akan menyusul ke Katz’s,” Jake tiba-tiba bergumam setelah beberapa saat ia melihat ponselnya dan mengetik singkat.

“Apa?” aku mengusap pipiku yang basah lalu memandangnya dengan alis bertaut.

“Tadi aku menghubungi dua temanmu, meminta mereka untuk... yah kau tahu? Membantumu rileks. Kita akan makan bersama mereka,” ulang Jake.

"Oh Jake... terimakasih," kudengar diriku berkata, air mataku kembali berlinang. Tulang pipi Jake berkedut, ia menghela nafas dan untuk pertama kalinya lelaki yang benar-benar mirip Jake Gylenhall itu tersenyum.

***

Bersambung...

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun