Mohon tunggu...
Nurkholis Ghufron
Nurkholis Ghufron Mohon Tunggu... wiraswasta -

Alumni MI Darussalam Padar, Mts Darussalam Ngoro, Darussalam Gontor 94, berwirausaha, Suka IT...To declare does'nt mean to be Proud of. It rather than to be thankful to teachers and carefully behaviour...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bekel untuk Adik

17 Oktober 2015   06:37 Diperbarui: 17 Oktober 2015   08:27 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiduplah sebuah keluarga besar yang rumahnya cukup sederhana . di dalamlnya terdapat taman pribadi keluarga kecil sederhana di pinggir perkotaan. Pagi itu adalah minggu pagi, sekolah SD libur seperti biasa. Nia adalah anak perempuan terbesar dari lima bersaudara. Mengisi pagi yang cerah, Nia mengawali bermain dengan mengambil bola bekel yang tersimpan di rak almari di samping dapur keluarga. Sementara adik adiknya masih tidur atau giliran mandi pagi dengan air hangat. Tiba tiba salah satu adiknya datang dan mengambil bola bekel yang sedang dimainkannya di halaman rumah. Dengan reflek Nia, sang kakak mengambil kembali bola bekel itu karna belum menyeleseikan satu putaran.

Sahut menyahut ini terdengar dari dapur di mana ibu memasak untuk sarapan pagi. Bergegaslah ibu menuju dua anaknya berantem dan tanpa babibu, ibunya memarahi Nia, sang kakak habis habisan karna dia harus mengalah untuk adiknya sebagaimana hari hari sebelumnya. Ayah Nia, yang sedang membaca koran di teras agak jauh dengan gelas berisi Nescafe originale mendengar ribut ribut di dekat taman juga bergegas menuju tempat tersebut. Tanpa babibu..sang ayah menampar Nia karna dia harus mengalah untuk adiknya. Nia pun berlari menuju luar rumah untuk menuju rumah kawannya terletak agak jauh dari rumah keluarga tersebut.

Kawan kawan Kompasianer itulah gambaran kehidupan keagamaan di Indonesia. Islam dan Muslim dipaksa dalam kerangka domain Mayoritas yan g harus selalu mengalah terhadap domain minoritas dalam keadaan apapun dan dalam kontek apapun. Ketidak mengalahan akan dicap sebagai Radikal, Ekstrim, Tidak Toleran, Tidak santun, Tidak Pancasilais dsb.

Domain mayoritas dan Minoritas sudah tidak sejalan dengan Pancasila itu sendiri di mana peri keadilan dan perikemanusiaan adalah sifak Kolonialisme yang harus dilenyapkan dari muka bumi ini sesuai dengan preambule UUD 45. Ini adalah domain marjinal yang tak sejalan kagi dengan prinsip “equality before the law” , “Equality above the Duty” dan “Equality between Human's Degree”.

Yang saya ungkapkan ini bukan feeling saya, bahkan Emha Ainun Najib yang sangat kiritis terhadap Suharto bahkan kepada almamaternya , Gontor juga tak kalah kritisnya. Dia pun mengkritisi fenomena ini. Saya sangat yakin Emha sangat reliable, dia teruji di zaman otoriter Suharto , dia teruji di zaman reformasi dan kini post reformasi.

Ini waktunya memberangus domain semacam ini. Kita harus fight bersama untuk mengeliminir hal ini karna ini juga menjadi celah tumbuhnya radikalisme. Karna apa?? Menghidupkan domain mayoritas dan minoritas dalam kontek ini berarti itu adalah personifikasi dari radikalisme yang terbungkus dalam formalitas.

Dalam kasus Singkil Negara tak boleh memperlakukannya berbeda dengan kasus Tolikara, jika Gidi diundang makan malam maka pihak pihak yang terlibat di Singkil harus diundang makan malam juga ke Istana. Jika tidak , maka sangat diragukan netralitas negara dalam mengayomi rakyatnya.[caption caption="bekel mainan. Dok Zakia Griya santun. Com"][/caption]

Say no to radikalisme baik dalam bentuk individu apalagi negara.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun