Kalau memang prinsip demokrasi diagung-agungkan dan pluralisme dijadikan pedoman maka ciri khas "lakum diinukum waliyadiin" atau "untukmu agamamu dan  untukku agamaku" menjadi tolak ukur yang tidak dapat ditawar.  Namun kejadiannya adalah aneh, orang yang memilih dalam voting atau survey karna keyakinan pun dihujat dan pada saat yang sama dengan dalih tersebut  menyebarkan "politik belah bambu di kompasiana "  antar sesama Muslim.  Memilih seseorang atas nama agama atau ras pun dalam demokrasi sah -sah saja, kenapa sampai harus bubarin NKRI dengan hanya salasan ada kampanye mendukung orang seiman.
Meminjam istilah Kompasianers tenar yang tidak perlu saya sebutkan " Latah Salah Kaprah" atau sering berkoar-koar orang lain munafik namun dirinya lebih dari itu,  menobatkan dirinya paling demokratis namun rajin menghapus komentar orang lain, menjelekkan orang lain namun takut banget dijelekkan,  menilai orang lain melakukan sara namun dialah sebenarnya penganut sara.
Saya jadi  teringat ketika seorang missionaris mendatangi saya dan tiba-tiba mengomentari kejadian terorisme dan mengaitkan seluruh Muslim dengan terorisme maka dengan sigap saya jawab.
" Pernahkah Anda menghitung berapa ratus ribu bahkan berapa juta orang Indonesia yang dibunuh Belanda selama kurun waktu 350 tahun?  apakah kami akan mengaitkan tindakan agama orang  Belanda dengan Teroris sejati? Pernahkan anda mencoba menghitung berapa juta ton gula yang digunakan menyelamatkan negeri Belanda dari air laut sehingga sampai terkenal istilah Belanda diselamatkan oleh ampas tebu orang Jawa? Anda tahu berapa juta muslim yang dibunuh Amerika? Kenapa untuk menangkap Osama bin Laden di Afghanistan harus membunuh sejuta Muslim di lain tempat? Al Qaeda membunuh 5000 orang Amerika, Muslim yang disebut teroris lantas apa sebutan bagi yang membunuh sejuta lebih orang ?"
Orang tadi lantas berpamitan dan tidak mengucapkan sepatah katapun.
Saya menengarai ada beberapa ciri missionaris yang berhasil saya amati, Â abstrak memang namun tetap bisa dijadikan real, diantara ciri-cirinya adalah:
- Memakai Nama samaran Muslim banget , namun isinya menebar kebencian kepada Islam.
- Liberalisme tiada batas. Liberal ok namun liberal harus menghormati liberal orang lain.
- Bisa jadi "alumni" Faith freedom yang melakukan eksodus.
- Sering melakukan adu domba atau politik belah bambu.
- Gegabah menyebut kompasiana lain dengan sebutan teroris, radikal dll.
- Memakai identitas palsu di kompasiana karna niat dari awal memang melakukan adu domba sesama Muslim.
- Membesar-besarkan masalah SARA padahal dalam demokrasi semua itu sah sah saja karna SARA adalah termasuk kehendak rakyat yang membangun demokrasi itu sendiri. Dan tugas demokrasi memang merajut keberagaman untuk wujudnya kemaslahatan SARA itu sendiri.
- Menerapkan standar ganda dalam segala hal.
Semoga pengamatan saya ini ada manfaatnya dan kedepan kompasianers bisa menerapkan keilmuan yang beradab dan saling melengkapi satu dengan yang lain walaupun beda agama, golongan , kelompok  dan ras.
Nurkholis ghufron