Mohon tunggu...
Nurkholis Ghufron
Nurkholis Ghufron Mohon Tunggu... wiraswasta -

Alumni MI Darussalam Padar, Mts Darussalam Ngoro, Darussalam Gontor 94, berwirausaha, Suka IT...To declare does'nt mean to be Proud of. It rather than to be thankful to teachers and carefully behaviour...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Merevitalisasi Pragmatisme KH. Idham Chalid dalam Era Isu Terorisme

13 September 2015   21:59 Diperbarui: 13 September 2015   21:59 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Latar belakang .

Keterlibatan NU Nahdhatul Ulama , organisasi keagamaan yang didirikan di Surabaya pada tanggal 16 Rajab 1344 Hijirah atau bertepatan dengan 31 Januari 1926 Masehi oleh Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asyary [6],dalam kehidupan bernegara sejak masih menjadi “kekuatan kultural “ yakni ketika memiliki persamaan pemahaman dan tradisi keagamaan sampai kemudian berubah menjadi “kekuatan struktural” di pemerintahan bukanlah pragmatisme alias oportunisme karna keterlibatannya NU berproses bukan tiba tiba muncul ada di pemerintahan .Keterlibatannya yang tak terhitung secara materi pada masa masa sebelum kemerdekaan dengan tak pernah absen dalam perlawanan melawan kolonialisme. Ketika kemerdekaan negara diproklamirkan pada 17 agustus 1945 NU terlibat langsung membentuk undang undang dan asas negara yang banyak diilhami oleh pemikiran brilian KH. Achmad Shiddiq[7] yang mengukuhkan Pancasila sebagai dasar negara sebagai keputusan final dan mengikat Muslim Nusantara. Keterlibatan NU di masa masa awal setelah kemerdekaan adalah menggelorakan jihad melawan sekutu yang dipimpin langsung oleh pendirinya Hadratus Syaikh[8] KH.Hasyim Asyari[9] . Jadi , hubungan ini adalah simbiosis mutualisme atau hubungan yang saling menguntungkan antara dua belak fihak ; negara dan NU.

Meski bukan “ pragmatisme” berdasarkan review di atas dan bahkan dalam ulasan perjalanan NU berikutnya , namun saya memilih istilah ini untuk mengulas secara khusus interaksi ini dan implikasinya terhadap kebijakan negara terkait dengan issue issue pemberontakan di masa lalu dan terorisme di masa terkini. Pemilihan kata ini tak bermaksud untuk mendiskretkan siapapun namun untuk memudahkan pembaca dalam memahami realita unik ini di NU.

Pragmatisme KH. Idham Chalid: NU Romantis Dengan Negara Karna Sama Sama Sulit.

 

Posisi NU yang mesra dengan kekuasaan seperti sekarang ini dapat kita tarik benang merahnya ke belakang di masa masa KH. Idham Chalid memegang tampuk pimpinan NU sejak muktamar NU yang ke 21 di Medan pada Desember 1955. Amanah ini dipegangnya sampai tahun 1984 yakni 28 tahun lamanya menjadikan KH. Idham Chalid orang nomor satu di organisasi ini yang tidak terlampaui oleh pendahulunya KH. Hasan Gipo dan penerusnya sampai sekarang.

Sepuluh tahun selepas kemerdekaan adalah masa masa yang sangat labil dan krisis kepercayaan terhadap pemerintahan Sukarno sangat terlihat dari banyaknya pemberontakan separatis dari DI/TI , RMS dan PRRI. Momen ini dimanfaatkan dengan baik oleh KH. Idham Chalid untuk mengambil hati Pemerintahan Sukarno yang sedang membutuhkan suport legitimasi dengan memberikan “Taskhikh Alfiqhy” ;

Waliyyul’ amri addhorury bi assyaukah

Pemerintahan darurat yang sah berkuasa dengan kekuatan.

Fatwa ini memberikan kekuatan kepada pemerintahan Sukarno untuk bertahan menghadapi krisis kepercayaan dalam masa setelah kemerdekaan yang sungguh sulit sekaligus meneguhkan hubungan simbiosis mutualisme antara NU dan Negara. Dalam hal asas negara, NU sedari awal kukuh memperjuangkan Pancasila sebagai dasar negara yang final dan mengikat semua muslim yanga ada di bumi NUsantara ini. Meskipun dari awal memperjuangkan Pancasila, untuk meyakini bahwa tak ada pertentangan antara Pancasila dan Islam dibutuhkan waktu umur nabi atau 40 tahun lamanya.

Pada definisi separatisme di atas, NU di bawah KH. Idham Chalid memberikan istilah fiqh “bughot” atau pemberontak. Berkat definisi ini, Presiden Sukarno dapat menggunakan kekuatan senjata dalam menumpas pemberontakan demi pemberontakan. Ekses dari jalan pedang yang direstui NU ini menjadikan osisi NU jauh dari partai Islam, Masyumi serta simpatisannya namun lebih mesra dengan pemerintah. KH. Idham Chalid berpendapat bahwa menerima pemerintah tanpa protes lebih selamat dari pada menggunakan kekerasan untuk melawan pemerintah karna NU tak akan menang menghadapi pemerintah yang di dukung oleh militer. Jadi perlawanan terhadap pemerintah Sukarno akan membahayakan NU secara organisasi dan para pengikutnya dalam arti NU sedang mengejawantahkan kaidah ushul fiqh:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun