Mohon tunggu...
Nur Jannah
Nur Jannah Mohon Tunggu... Guru - Guru Penulis

Hobi membaca fenomena dan menulis alam, memasak, travelling dan merencanakan masa depan anak negeri

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rok Panjang yang Menggembung

26 Februari 2023   10:47 Diperbarui: 26 Februari 2023   10:51 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Matanya nanar. Memandang sekeliling. Pikirannya lapar. Sebuah dompet di atas meja kecil rumah ketua yayasan itu amat menggiurkan. Namun hatinya masih berbisik. Ia takut ketahuan. Ia duduk saja di kursinya.

Orang-orang tengah memberi ucapan selamat kepada Bapak Ketua atas kepulangannya dari acara wisuda putra beliau. Mereka berlalu lalang lewat pintu silih berganti. Di antara mereka ada yang sedang mengambil piring dan makanan.

Perlahan ia menggeser duduk agak ke samping. Berusaha tidak menarik perhatian orang lain sedikit pun. Menutupi pandangan orang-orang yang berlalu lalang di pintu masuk terhadap sebuah benda hitam yang menggembung. Bau harum benda tersebut semakin membuat pikirannya melilit.

Sementara seorang perempuan berdiri tak jauh dari sisinya. Itu teman seprofesinya. Sebetulnya ia datang bersama-sama rekan lain. Namun sesampai di sana, mereka membaur dengan tamu lain. Sedang dia lebih memilih duduk di sana. Di dekat dompet yang tengah sendirian itu.

Matanya semakin nanar. Bibirnya ditekuk. Kening menunjukkan tengah memikirkan sesuatu. Tentang sebuah cara. Dan sebuah waktu kosong. Sedetik saja. Ia hanya butuh waktu kosong sedetik saja untuk melakukan perbuatan itu. Menanti orang-orang benar-benar lengah. Akhirnya dengan sekali gerakan, benda hitam milik sang pemilik rumah sudah berpindah ke dalam saku pakaian bawahnya.

***

Seperti biasa, Senin pagi ini Bu Efendi sudah menyiapkan pakaian mengajar suaminya. Seragam biru tua lengkap dengan tanda pengenal sekolah dan pin namanya. Mengabdi di sebuah sekolah dasar sejak lima belas tahun silam. Sang istri bangga pada Pak Efendi. Pahlawan tanpa tanda jasa, begitulah yang orang bilang. Meski keadaan ekonomi mereka sangat pas-pasan. Hidup mengandalkan honor sekolah yang tujuh ratus ribu rupiah sebulan. Oleh karena itu Pak Efendi aktif mencari tambahan dengan mengajar privat siang hingga malam.

"Sudah sarapannya, Pak?" tanya Bu Efendi. "Jangan lupa diminum dulu tehnya. Biar perut hangat. Pekerjaan Bapak kan banyak," sambung istrinya.

"Iya, tentu," sahutnya lagi.

"Sepeda sudah dikeluarkan," ujar sang istri lagi.

"Ya." Pak Efendi buru-buru menyeruput teh manisnya setelah melihat jam di tangan menunjukkan pukul enam lima belas..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun