Mohon tunggu...
Nurjaman Center
Nurjaman Center Mohon Tunggu... -

www.nurjaman.org\r\n\r\nNurjaman Center for Indonesian Democracy (NCID), atau Pusat Kajian Demokrasi Indonesia adalah pusat kajian demokrasi yang berjalan di Indonesia, baik itu kajian terkait dengan proses pemilihan (pemilu legislatif, pilpres ataupun pilkada).\r\n\r\nDikatakan “demokrasi Indonesia”, karena pelaksanaan demokrasi di Indonesia tergolong spesial – tidak dapat disamaratakan dengan demokrasi di negara-negara lain. Misalkan, dengan lebih dari 550 Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) setiap lima tahun, Indonesia adalah negara dengan penyelenggaraan pilkada terbanyak di antara negara-negara lain di seluruh dunia. Indonesia juga memiliki jumlah legislator terbanyak di seluruh dunia dengan 20.257 legislator (anggota DPR RI, DPRD tingkat Provinsi dan DPRD tingkat Kabupaten/Kota).\r\n\r\nNurjaman Center berdiri pada tanggal 1 April 2013, karena keterpanggilan setelah mengamati proses Pilkada di berbagai daerah yang dalam proses pelaksanaan pemilihannya masih banyak ditemukan kecurangan.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Bebaskan Corby, Bukti Pelemahan Hukum di Indonesia

7 Februari 2014   15:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:04 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Schapelle Leigh Corby alias Corby yang dijuluki Ratu Mariyuana terpidana kasus narkotika yang menyelundupkan mariyuana seberat 4,2 kg, melalui Bandara Ngurah Rai, Bali pada 8 oktober 2004. Corby dijatuhi hukuman 20 tahun penjara serta denda  Rp 100 juta subsider 6 bulan penjara. Kemudian, resmi ditahan sejak  tanggal 9 Oktober 2004. Sehingga, saat ini, sudah menjalani masa pidana  selama hampir 8 tahun. Masa tahanan Corby terbilang sudah memenuhi 2/3 dari masa tahanan dan mencukupi  syarat untuk mendapatkan haknya sebagai narapidana yakni pembebasan bersyarat.

Kasus Corby mencuat kembali saat Kementrian Hukum dan HAM akan mengumumkan pembebasan bersyarat kepada 1.700 narapidana, Jumat, 7 Februari 2014. Menteri Hukum dan HAM, Amir Syamsuddin, menyatakan “ dalam 1.700 pengajuan bebas bersyarat itu memang terdapat nama Schapelle Leigh Corby”.

Pembebasan bersyarat Corby saat ini, menjadi perbincangan yang menarik dengan menimbulkan berbagai pandangan menyangkut “deal” pemerintah Indonesia dengan Australia yaitu pertukaran narapidana, tunduknya pemerintahan Indonesia terhadap kekuatan Australia atau memang pemerintah Indonesia sendiri yang inkonsistensi dalam pemberentasan narkotika.

Narkotika, korupsi dan terorisme masuk kedalam kategori kejahatan luar biasa ( extra ordinary crime ), sesuai tindak kejahatan luar biasa itu pula pemerintah dengan Peraturan Pemerintah No 99 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Permasyarakatan, yang pada intinya mengatur pengetatan syarat remisi dan pembebasan bersyarat terhadap ketiga kategori tindak kejahatan tersebut.

Salah satu dalam syarat dalam PP No. 99 Tahun 2012 tersebut, narapidana yang tergolong dalam tindak pidana yang terorganisir harus bekerjasama dengan penegak hukum untuk mengungkapkan kejahatan yang dilakukannya. Namun, dalam perkembangan kasus Corby tidak terungkap kejahatan terorganisir yang dilakukannya. Mungkinkah Corby melakakukan kejahatan tersebut seorang diri ???

Jelas, dalam hal ini Corby belum memenuhi syarat substantif untuk mendapatkan pembebasan bersyarat dari pemerintah Indonesia. Ini berarti ketidakseriusan pemerintah untuk memberantas peredaran narkotika di Indonesia dan secara tidak langsung merupakan tindakan pelemahan hukum terhadap lembaga yudikatif dan supremasi hukum karena tidak memberikan efek jera terhadap pelaku narkotika.

Dengan dilakukannya pembebasan bersyarat terhadap Corby dari pemerintah Indonesia sama halnya dengan tidak melaksanakan kewajiban untuk melindungi hak warga Negara Indonesia untuk terbebas dari narkotika, karena seperti diketahui dalam presentasi survei BNN menyebutkan, prevalensi penyalahgunaan 2009 adalah 1,99 persen dari penduduk Indonesia berumur 10-59 tahun atau sekitar 3,6 juta orang. Pada 2010, prevalensi meningkat menjadi 2,21 persen atau sekitar 4,02 juta orang. Prevalensi penyalahgunaan meningkat menjadi 2,8 persen atau sekitar 5 juta orang pada 2011.

Seharusnya pemerintah insyaf dan konsisten dalam menyatakan perang terhadap narkotika dengan mendukung yudikatif yang selama ini sudah berjalan sesuai dengan proses hukum yang berlaku bukan untuk melemahkan hukum. Seperti pernyataan SBY pada waktu Hari Anti Narkotika “ Indonesia terbebas dari naroktika tahun 2015” ternyata hanya pepesan kosong belaka. Pemerintah sebagai tempat berlindung hak – hak warga negara Indonesia saat ini tidak sesuai dengan fungsinya terhadap rakyat, bahkan hak rakyat Indonesia seperti orang asing di negeri sendiri.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun