Mohon tunggu...
Muhammad Nuril Huda
Muhammad Nuril Huda Mohon Tunggu... Programmer - Calon Penggerak Bangsa

Technology enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Cyber Ethics and Moral Signification in Cyberscape

28 November 2020   12:54 Diperbarui: 28 November 2020   13:00 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Jika melihat kondisi etis masyarakat modern, menurut Bertens (2011) ada tiga ciri yang menonjol. Pertama, adanya pluralisme moral. Hal ini dirasakan karena perkembangan teknologi komunikasi dan informasi menjadikan dunia ini seperti tidak mengenal lagi batas batas yang konkret, baik dalam geografis maupun kebudayaan. Campur aduknya manusia (yang secara geografis dan budaya terpisah jauh) ke dalam satu wadah yang bernama internet telah membuat kita berhadap hadapan langsung dengan kemajemukan. Kemajemukan ini membawa pula nilai nilai dan norma norma yang menyangkut praktik bisnis, seksualitas, gaya hidup, atau perkawinan.

Kata “moral” memiliki etimologi yang sama dengan “etika”, hanya asal katanya yang berbeda. Oleh karena itu, berbicara tentang etika sama halnya berbicara tentang moral. Sedangkan kata “etis” merupakan bentuk kata sifat dari “etika”. Selain itu, persoalan yang menyangkut etika seringkali dicampur maknanya dengan persoalan tentang “etiket”. Padahal keduanya punya perbedaan yang mendasar. Perbedaan tersebut bisa dijelaskan sebagai berikut: 1) etiket menyangkut cara suatu perbuatan harus dilakukan, sedangkan etika memberi norma tentang perbuatan tersebut.

Etika Siber (Cyberethics) termasuk dalam kajian etika terapan atau etika khusus. Menurut Richard A. Spinello (2004), etika siber di definisikan sebagai penerapan etika yang menjelaskan tentang moral, hukum, dan isu sosial dalam pengembangan dan penggunaan teknologi siber. Yang mana teknologi siber itu ia definisikan pula sebagai sebuah spektrum besar yang membentang dari perangkat komputer hingga sekelompok jaringan komputasi informasi dan komunikasi.

Dengan demikian etika siber atau etika internet tidak sekedar membahas tentang tata cara penggunaan internet yang baik, aman, dan santun – yang mana hal tersebut tergolong ke dalam etiket internet – namun lebih jauh lagi, etika internet mengkaji permasalahanpermasalahan moral, hukum, dan isu-isu sosial yang berhubungan dengan penggunaan komputer dan jaringan internet sebagai penunjang interaksi antar manusia.

Selain memberi keuntungan dalam akses dan transaksi informasi, internet juga dimanfaatkan untuk mendapatkan keuntungan pribadi dengan merugikan pihak lain. Sejumlah kasus seperti perdagangan senjata ilegal, human trafficking, pencurian data, pembobolan rekening, dan lain sebagainya, telah meresahkan siapa saja yang aktif menggunakan internet. Bentuk kejahatan ini biasa disebut kejahatan internet (cyber crime). Korban dari kejahatan internet ini tidak hanya individu, namun juga instansi, bahkan negara. Pada tahun 1999 seorang hacker berhasil menembus portal kemanan pada situs Kementrian Keuangan Rumania. Hacker asing tersebut mengganti nilai kurs mata uang Rumania sehingga banyak pembayar pajak online yang terkecoh dengan besaran nilai yang telah diganti tersebut. Akibat serangan ini pemerintah Rumania mengalami kerugian yang sangat besar. Kasus ini tidak berlanjut ke ranah hukum karena tidak ada aturan tertulis yang mengatur tentang tindak kejahatan antar wilayah negara. Meskipun pada tanggal 4 Desember 2000 Sidang Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) telah menandatangai Resolusi PBB 55/63 untuk memerangi penyalahgunaan teknologi komunikasi dan informasi, namun perbedaan penafsiran tentang jenis kejahatan dan perbedaan kemampuan dari setiap negara dalam tata kelola internet di negaranya masing-masing, membuat kejahatan telematika masih terus menjadi momok yang menghantui setiap pengguna internet aktif.

  • Penguasaan dan penggunaan teknologi ICT komputer yang dibarengi dengan niat jahat berpotensi menimbulkan kejahatan siber. Ada banyak sekali bentuk kejahatan yang memanfaatkan komputer dan jaringan internet sebagai mediumnya. Convention on Cybercrime di Budapest, Hungaria pada tahun 2001 mengklasifikasikan kejahatan siber itu sebagai berikut:
  • llegal acces; yaitu sengaja dan tanpa hak memasuki atau mengakses komputer pihak lain
  • Illegal interception; yaitu dengan sengaja dan tanpa hak mendengar atau menangkap secara diam-diam pengiriman dan pemancaran data komputer yang tidak bersifat publik, dari atau di dalam sistem komputer dengan menggunakan alat bantu teknis
  • Data interference; yaitu sengaja dan tanpa hak melakukan pengrusakan, penghapusan atau perubahan data komputer pihak lain
  • System interference; yaitu sengaja dan tanpa hak melakukan gangguan atau rintangan terhadap berfungsinya sistem komputer
  • Misuses of Devices; yaitu penyalahgunaan perlengkapan komputer, termasuk program komputer seperti code access dan sebagainya.
  • Computer related forgery; yaitu sengaja dan tanpa hak mengubah dan/atau menghapus data otentik menjadi tidak otentik atau digunakan sebagai data otentik untuk kepentingan pribadi (pemalsuan)
  • Computer related fraud; yaitu dengan sengaja menyebabkan hilangnya barang/kekayaan orang lain dengan cara memasukkan, mengubah, menghapus data komputer atau dengan mengganggu fungsi sistem komputer dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan bagi diri sendiri atau orang lain (penipuan).
  • Content-related offences; yaitu delik-delik yang berhubungan dengan pornografi anak
  • Offences related to infringements of copyright and related rights; yaitu delik-delik yang terkait dengan pelanggaran hak cipta.

Karakteristik dunia siber yang khas ini memberi peluang terhadap munculnya perilaku atau tindakan yang pada dunia riil tidak atau sulit bisa terwujud. Hal ini bisa disebabkan adanya batas batas fisik (geografis, bangunan, dan lain lain) dan situasi perjumpaan yang konkret (face to face dan/atau kehadiran orang lain secara riil).

Dunia siber menyediakan ruang fantasi yang luas untuk ekspresi ego individu. Dalam ruang imajiner tersebut, identitas menjadi abstrak dan bisa berganda. Pengguna bisa menjadi “hantu” yang bergentayangan di ruang privat pengguna lain. “Fasilitas” yang ditawarkan dunia siber ini tentu saja memberi peluang bagi siapa saja yang oportunis dan ingin mendapatkan keuntungan pribadi meskipun dicapai dengan mengorbankan prinsip-prinsip etis. Selain itu, kemajemukan pengguna internet yang berasal dari seluruh dunia juga berpotensi menimbulkan permasalahan nilai dan norma. Kondisi ini tidak berbeda dengan apa yang biasa terjadi di dunia nyata. Oleh karena itu praktik pelanggaran etika dan hukum pada teknologi siber merupakan adopsi dari apa yang terjadi di dunia nyata ke dalam dunia siber.

Etika internet atau etika siber (cyberethics) merupakan adopsi dari konsep etika tradisional yang di terapkan pada konteks penggunaan dan pengembangan teknologi komputer dan jaringan internet. Penggunaan komputer tidak akan menimbulkan pelanggaran etika internet tanpa adanya teknologi siber. Teknologi siber ini menciptakan sebuah “dunia” baru yang di dalamnya manusia bisa berinteraksi, berserikat, berbisnis, dan banyak lagi aktivitas lainnya. Simulasi kehidupan dunia siber yang mirip dengan kehidupan riil, di tambah dengan karakteristik yang khas dari dunia siber itu sendiri, membuka peluang yang sangat besar untuk terjadinya tindak kejahatan siber. Kejahatan siber ini merupakan hal yang baru, dimana bentuk kejahatannya sangat beragam dan bisa terus bertambah mengingat teknologi komputer, komunikasi, dan informasi masih terus berkembang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun