Dalam beberapa tahun terakhir kebijakan akademik di sejumlah perguruan tinggi Indonesia baik negeri maupun swasta telah menetapkan satu syarat tambahan yang tidak ringan bagi para mahasiswa S3 yakni publikasi artikel di jurnal bereputasi internasional terindeks Scopus sebagai prasyarat ujian disertasi atau kelulusan program doktor.
Bagi sebagian mahasiswa doktoral terutama yang tengah berjuang menyelesaikan studi di tengah kesibukan kerja dan kehidupan keluarga syarat ini bukan hanya tantangan akademik tetapi juga menjadi tekanan psikologis dan finansial.
Kebijakan ini sejalan dengan dorongan globalisasi akademik dan tuntutan peningkatan mutu pendidikan tinggi Indonesia yang ingin menempatkan universitas dalam peta riset internasional. Scopus sebagai salah satu database publikasi ilmiah terbesar di dunia dianggap menjadi tolok ukur kredibilitas dan kontribusi ilmiah seseorang di tingkat global.
Namun dalam praktiknya kebijakan ini tidak mudah dijalankan secara merata dan adil. Tidak sedikit mahasiswa doktoral yang menghadapi berbagai hambatan seperti:
Biaya publikasi yang bisa mencapai puluhan juta rupiah
Penolakan dari jurnal bereputasi karena standar editorial yang tinggi
Lamanya proses review yang bisa menghambat proses kelulusan
Serta keterbatasan pembimbing dan institusi dalam memberi pendampingan menulis artikel ilmiah berstandar internasional
Salah satu mahasiswa doktoral di sebuah universitas negeri di Jawa Timur mengaku, "Menulis disertasi saja sudah kompleks, tapi harus tembus Scopus dulu baru boleh ujian? Ini bukan lagi akademik murni tapi pertarungan stamina dan finansial."
Di sisi lain beberapa dosen promotor menyambut baik kebijakan ini karena memaksa mahasiswa untuk lebih serius meneliti dan menyusun artikel yang layak publikasi. "Toh mereka doktor, bukan sekadar lulusan," ujar salah satu guru besar dari kampus ternama di Malang.