Pandangan Saya Soal Fotografer Candid di CFD: Antara Peluang dan Etika
Setiap Minggu pagi, kawasan sudirman Jakarta selalu ramai. Ada yang olahraga, lari pagi, bersepeda, sampai nongkrong santai. Nah, satu hal yang nggak pernah absen juga: fotografer candid. Iya, mereka yang suka motret orang secara spontan—entah yang lagi jogging, selfie, atau sekadar senyum-senyum sendiri sambil ngopi.
Sebagai sesama fotografer, saya sebenarnya salut. Motret candid itu nggak gampang, apalagi di ruang publik seperti di kegiatan Car Free Day (CFD). Kita harus peka, cepat tangkap momen, dan yang paling penting: tahu kapan harus motret.
Candid = Peluang Bisnis
Jujur aja, ini peluang cuan juga sih. Banyak fotografer yang upload hasil fotonya ke Instagram atau aplikasi seperti Fotoyu, terus kasih opsi ke orang yang pengin file-nya bisa beli. Ada juga yang sambil bawa print hasil foto dan kasih langsung ke orangnya. Konsepnya seperti “Sport atau Street portrait” gitu, tapi candid. Kreatif banget, kan?
Apalagi sekarang makin banyak orang yang ingin punya foto estetik saat olahraga atau jogging. Mereka nggak sempat bawa fotografer pribadi, tapi tetap ingin terlihat “catchy” di media sosial. Nah, fotografer candid bisa mengisi celah itu.
Tapi, Etika Tetap Nomor Satu
Meskipun terlihat seru, Menurut saya kita tetap harus pegang etika. Motret orang tanpa izin itu sensitif. Saya pribadi kalau motret candid, selalu usahakan setelahnya menyapa orangnya atau melihat situasi jika orang tersebut terganggu dengan aktivitas kita. “Halo, barusan saya motret, ini hasilnya, kalau nggak keberatan boleh saya share ya?” atau minimal senyum dan tunjukin kameranya biar mereka tahu kita bukan sembarang orang.