Mohon tunggu...
Nurifah Hariani
Nurifah Hariani Mohon Tunggu... Guru yang suka membaca dan senang berkhayal

Guru di sebuah sekolah swata di kota Malang, sedang belajar menulis untuk mengeluarkan isi kepala, uneg-uneg juga khayalan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

(Tidak) Berani Mati

17 Maret 2025   14:28 Diperbarui: 17 Maret 2025   14:28 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rohana memandangku tanpa berkedip. Sepasang matanya memicing, kedua alisnya bertaut, dagunya maju beberapa centi ke depan. Istriku yang masih cantik menjelang usianya yang ke empat puluh itu mengamatiku dengan seksama. Pandangan matanya menelusuri setiap jengkal tubuhku. Tak lama kemudian dia terbahak.

"Memangnya sampean sudah berani ?" Dia bertanya di ujung tawanya. Digelengkannya kepalanya dua kali lalu meninggalkanku.

"Gak usah mikir aneh-aneh, Pak. Sampean itu beruntung, meskipun di rumah saja, masih dapat bayaran, masih bisa berobat gratis. Pak Sentanu masih mau menunggu sampean sampai sembuh." Rohana memoles bibirnya dengan lipstick warna merah menyala, senada dengan setelan blazer yang dipakainya. Ia selalu tampak mempersona dengan warna merah. Warna yang membuatku cemburu, karena selalu membuatnya menjadi pusat perhatian.

Tanganku gemetar menyibak selimut. Aku berusaha menurunkan kaki dari ranjang. Payah! Kakiku terasa dibebani batu. Rohana datang membantuku. Diambilnya kursi roda, didekatkan kepadaku. Kuhentikan gerakannya yang ingin membantuku, kuangkat tangan  mengisyaratkan kesanggupan untuk berpindah dari ranjang ke kursi roda. Obat yang kuminum tadi sudah mulai bereaksi. Pelan-pelan badanku  mulai terasa enteng.

"Hari ini Budhe Asih tidak bisa datang karena sibuk menyiapkan selamatan seribu hari suaminya.  Andi sudah kusuruh kesini untuk menemani sampean, barangkali perlu apa-apa. Sudah, tidak usah mikir macem-macem. Mati itu sudah ada jatahnya masing-masing. Aku dengan sampean ini tinggal menunggu waktu." Rohana mendorong kursi roda sampai di pintu depan. Ia mengecup punggung tanganku sebelum berjalan menghampiri mobil yang menjemputnya.

"Yok, Sam!" Seseorang menyapaku dengan melambaikan tangan dari bangku belakang mobil itu.

Itu Sentanu. Rohana duduk di sebelahnya. Mendadak dadaku bergemuruh, detak jantung melompat-lompat berdesakan seperti ingin meloncat keluar badan, namun sayang kakiku tak bisa digerakkan. Aku menaham geram dalam dada, tanganku mencengkeram erat pada tepi kursi roda.

Ini sudah kesekian kalinya aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, mereka berduaan dalam mobil. Ada sopir, tapi bisa apa dia? Aku sudah mencurigai mereka tak sekedar berteman biasa, tak juga sebagai atasan dan bawahan. Buat apa Sentanu menjemput dan mengantar istriku setiap harinya? Sekalian jalan? Tidak! Dari rumahnya ke sini lalu ke kantor tentu lebih jauh daripada langsung ke kantor.

Sentanu adalah teman kuliahku. Setelah lulus ia meneruskan perusahaan orang tuanya.  Aku pernah bekerja sama dengannya. Sebagai mitra, kami berusaha memajukan perusahaan yang mempunyai  hampir  seratus karyawan. Lalu musibah datang, aku terkena serangan stroke yang menyebabkan separo badanku lumpuh. Aku tak bisa bekerja, perekonomian keluarga menjadi carut marut.

Berlagak menolong, Sentanu meminta Rohana untuk menggantikan posisiku. Istriku itu pintar, kami pernah sekelas ketika kuliah dulu. Nilainya tak pernah lebih rendah dariku, namun ia menurut saja ketika kuminta menjadi ibu rumah tangga sebenarnya. Kepintarannya terasah kembali  ketika ia kembali bekerja. Namun bersama Sentanu jelas membuatku geram. Aku tahu Sentanu pernah naksir Rohana, dulu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun