Mohon tunggu...
nurhanifahrizky
nurhanifahrizky Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk menebar manfaat

Belajar sepanjang hayat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Segala Puji Hanya Bagi Allah, Tuhan Semesta Alam

11 Januari 2019   17:16 Diperbarui: 11 Januari 2019   17:40 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Awal tahun 2019 lalu, aku pergi mengunjungi salah satu pantai di daerah Kabupaten Gunung Kidul, tepatnya Pantai Kukup. Sebelumnya aku sudah pernah mengunjungi pantai ini, sekitar 2 minggu yang lalu. Sebagaimana pantai pada umumnya, kemegahan pemandangan akan membuat kita terpesona dan kagum-kagum akan Sang Maha Pencipta. Saat itu, aku hanya mengeksplorasi sebagian lokasi pantai, karena cuaca cukup terik. Sebagian lokasi saja sudah cukup membuat badan kelelahan apalagi keseluruhan pantai, dan belum lagi energi yang harus dialokasikan untuk perjalanan pulang ke Jogja dengan kendaraan motor.

Perjalanan kali ini dimulai ketika matahari baru saja memunculkan sinarnya. Pemandangan matahari yang utuh, hangat dan bersahabat menemani perjalanan disela-sela perkebunan dan lika-liku pegunungan yang ditempuh. Aku melakukan perjalanan bersama salah seorang teman dekat yang berbeda agama. Saat itu dia sedang berlibur ke Jogja dan kami sudah cukup lama tidak bertemu. Berdasarkan tata krama pertemanan dan bagaimana selayaknya seorang muslim menyambut tamu, maka aku berusaha semampuku untuk melayani tamu jauhku ini, walaupun kami berbeda agama. Oh iya, toleransi beragama kami cukup baik. Jadi dia mempertimbangkan aku dengan ibadahku dan begitupun aku. Lakum diinukum waliyadin.

Seperti yang aku katakan sebelumnya, perjalanan menuju pantai cukup hangat tetapi. Sekitar 1 kilometer menuju pantai, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Bahkan kami harus berteduh di salah satu tempat dagang yang terbuat dari kayu-kayu dan tepas. Aku hanya punya satu jas hujan jadi perjalanan mau tidak mau harus berhenti. Ketika hujan mulai reda kami melanjutkan perjalanan. Sampai di pantai, hujan kembali deras, untung saja saat itu kami sudah diparkiran motor yang bebas dari terpaan hujan. Sambil menunggu hujan kembali reda kami mengisi waktu dengan minum teh dan makan mie instan rebus, tentu ini hal yang paling nikmat disaat seperti ini.

Begitu hujan reda, kami langsung meluncur ke pantai, walaupun saat itu masih ada rintik-rintik gerimis halus yang seakan tak ingin berhenti. Masih di bibir pantai, suara deburan ombak begitu kuat terdengar. Deburan ombak sekaan menyampaikan kegelisahan dan rasa duka yang dalam, dan aku pikir tidak hanya aku yang merasakan itu. Sebab beberapa pengunjung yang memaksakan diri untuk menatap deburan ombak ini tak satu pun mampu membuat wajah bahagia atau pura-pura bahagia. Terlebih saat itu Selat Sunda baru saja menghadirkan lara pada kita. Liburan ke pantai tentu bukan tujuan yang direkomendasikan saat itu.

Pantai Kukup memiliki tebing atau semacam bukit yang terbuat dari bebatuan alam yang terpecah. Bebatuan ini cukup tinggi sehingga dijadikan spot foto dan merupakan lokasi terbaik untuk menikmati pemandangan keseluruhan Pantai Kukup ini. Ada dua bebatuan besar yang terpisah, pengelola pantai tentu membangun jembatan untuk memaksimalkan potensi pantai ini. Kita harus menjalani tangga ke bukit batu pertama untuk dapat menuju ke bukit batu kedua yang letaknya lebih ke pinggir pantai. Bukit batu kedua ini akan menyajikan pemandangan deburan ombak yang akan sangat sulit untuk kita memalingkan pandangan.

Aku dan temanku mendaki bukit batu pertama, mungkin istilah mendaki kurang tepat sebab sudah ada tangga yang disemen untuk memudahkan pengunjung menaiki bukit batu ini. Masih beberapa anak tangga, temanku memuji-muji pemandangan yang tak mungkin tak disetujui keindahannya oleh siapa pun. 

Dibawah mendungnya langit, diiringi gerimis dan angin pantai yang tetap menyambut siapa pun yang mendekatinya, deburan ombak menjadi film terbaik saat itu. Puji-pujian yang diucapkan temanku adalah "wah, keren", "mantap kali", "gak salah pilih aku punya tour guide", dan pujian sejenisnya yang mewakili perasaan takjub dan terimakasihnya padaku telah membawanya ke tempat itu. Puji-pujian itu berulang kali dia ungkapkan selama kami berada di Pantai Kukup ini bahkan pun sesudahnya.

Saat itu tentu aku juga takjub, dalam hati aku mengucapkan "Masya Allah, sungguh indah ciptaan-Mu ya Allah". Aku mengucapkannya dalam hati karena menghargai temanku yang berbeda agama, sebab dia pun tidak emngucapkan puji-pujian yang umum diggunakan oleh penganut agamanya. Aku tidak tahu apa alasannya, ntah karena menghargai perbedaan keyakinan kami atau ada alasan lain. Tapi perasaan takjub dan keinginan untukmengungkapkannya tak tertahan, aku pun berkali-kali mengucapkan puji-pujian pada Allah SWT sebagaimana yang aku ketahui secara umum.

Saat itu, melihat bagaimana temanku mengungkapkan rasa takjubnya, aku tersadar bahwa sesungguhnya tidak ada ungkapan pujian yang lebih tinggi yang dapat mewakili perasaan kita atas keindahan alam semesta dari Sang Maha, melainkan dengan ungkapan-ungkapan yang berasa dari pada-Nya. Segala keindahan alam semesta dan segala puji-pujian hanya layak ditujukan pada yang Maha Pencipta dan segala puji-pujian tersebut hanya pujia-pujian dengan bahasa Ilahiah yang mampu mengungkapkan rasa takjub kita sebagai ciptaannya. Setidaknya saat itu aku baru benar-benar menyadari bahwa ungkapan takjub dengan "Masya Allah" adalah ungkapan pujian tertinggi dan tidak ada bahasa atau istilah-istilah lain yang setara dengannya. Sungguh Maha Suci Allah atas segala ciptaan-Nya. Sungguh segala puji hanya bagi Allah Tuhan Semesta Alam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun