Mohon tunggu...
nurhadi sucahyo
nurhadi sucahyo Mohon Tunggu... Jurnalis - Membaca, Mendengar, Melihat, Menulis

Mulai dari Nol

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bau Kereta Masa Lalu

24 Februari 2022   09:00 Diperbarui: 24 Februari 2022   09:02 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bau kereta api tahun 90-an berbeda sekali. Begitupun suasananya. Aroma keringat, sambal pecel, toilet, jadi satu. Mungkin sebaiknya disebut bau gerbong. Yang khas sekali. Yang kemudian hilang ketika perusahaan kereta merapikan operasionalnya.

Disitu juga ada perbincangan. Duduk beradu lutut dengan penumpang lain. Yang belum pernah kita temui sebelumnya. Diawali saling senyum. Lalu bertanya turun dimana. Lalu disambung banyak cerita. Termasuk tawaran teh hangat atau kopi. Karena tak jarang ada penumpang bawa termos air panas sendiri.

Itu masa ketika telepon genggam benar-benar hanya berfungsi untuk menelepon. Karena itu, satu-satunya hiburan di tengah perjalanan adalah mengobrol. Dan yang paling mengasyikkan, adalah mengobrol dengan "orang asing", kenalan baru. Yang hanya dengan bersalaman, tukar nama dan saling senyum, seolah semua menjadi kawan lama yang sedang kangen-kangenan.

Di bandara atau stasiun kereta, pemandangan "kangen-kangenan" itu kini jarang ditemui. Delapan puluh sampai sembilan puluh persen orang menunduk. Mengerami layar kotak di tangannya. Yang ketika dia diam, bisa membawanya kemana saja.

Mungkin itu pula yang membuat sebagian anak tak secerewet dulu. Meski hanya hasil pengamatan sekilas di lingkungan terdekat, kemampuan untuk memulai perbincangan dengan orang asing menurun drastis. Mereka ramai di grup-grup aplikasi perbincangan, dengan bahasa tulis dan emoticon. Tetapi nyaris tanpa ekspresi ketika bertemu seseorang yang belum dikenal sama sekali.

Sebuah merk kaos pernah menggelar kampanye apik: World Without Strangers. Di tengah keterasingan kerumunan saat ini, kampanye itu sesuatu yang layak direnungkan.

Dalam bus berisi 40 orang, hanya ada satu atau dua copet. Selalu ada lebih banyak orang baik dibanding orang jahat. Karena itu, kita harus percaya, bahwa memang kita harus melihat dunia luar sebagai tempat nyaman, dan bukan menakutkan.
Apalagi, jelas agama mengajarkan kita tentang silaturahmi. Bahwa itu memperpanjang umur dan menambah rejeki.
Bahkan jodoh.

Benturan lutut yang "memaksa" kita mengobrol dengan orang lain di gerbong, mungkin memang sudah sulit ditemui. Tapi, generasi yang pernah mengalaminya tentu tak bisa mengelak, ada keasyikan tersendiri ketika berbincang dengan kenalan baru.

Kita tak peduli siapa mereka sebenarnya. Tapi kita menganggapnya sebagai orang baik. Dan mayoritas dari mereka memang demikian.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun