Itulah kata-kata Pak Taufiq Damisi yang tak pernah hilang dari ingatanku. Ungkapan yang tampaknya sederhana, tapi justru menjadi pijakan awal yang mengubah arah hidupku. Layaknya obor kecil di tengah kegelapan, kalimat itu hadir saat aku hampir menyerah dalam keraguan. Dari sanalah langkah-langkah kecilku bermula, hingga akhirnya membawaku masuk ke jurusan Ilmu Komunikasi di UIN Sunan Kalijaga---sesuatu yang dulu bahkan tak berani aku impikan.
Pak Taufiq bukan guru biasa. Penampilannya sederhana, bicaranya tenang, kadang bahkan terlalu kalem untuk ukuran pelatih ekstrakurikuler yang penuh gerak. Tapi justru dari ketenangan itu muncul kekuatan. Kelas Thaichiku---ekstrakurikuler yang memadukan seni bela diri dan etika---selalu jadi tempat belajar yang lebih dari sekadar gerakan tangan dan kaki. Ada nilai, ada arah, dan ada keteladanan.
Awalnya aku cuma ikut Thaichiku karena ajakan teman. Nggak ada niat serius. Apalagi aku anaknya pemalu, gugup kalau disuruh bicara di depan umum, dan gampang menyerah kalau latihan terasa berat. Tapi dari pertemuan pertama, Pak Taufiq sudah berbeda. Beliau tidak langsung menyuruh kami baris atau latihan fisik. Beliau malah bilang, "Kalian tahu kenapa orang jatuh di tengah jalan? Bukan karena nggak kuat, tapi karena dia nggak tahu dia sedang menuju ke mana."
Kalimat itu menghentakku. Aku yang sering bingung dengan tujuan masa depan merasa ditampar halus. Beliau tidak hanya mengajar kami bertahan dari serangan atau menjaga keseimbangan tubuh, tapi juga menjaga keseimbangan pikiran dan hati. Latihan di bawah bimbingan beliau bukan hanya soal jurus atau stamina, tapi soal membentuk karakter dan keteguhan.
Latihan demi latihan, Pak Taufiq nggak pernah marah dengan teriakan. Kalau ada yang salah, beliau dekati pelan, koreksi dengan nada yang justru bikin kita sadar. Beliau selalu bilang, "Kalau salah, itu tanda kamu sedang belajar. Yang bahaya itu kalau kamu diam dan merasa sudah cukup." Dari situ, kami mulai paham, bahwa proses jauh lebih penting dari hasil.
Yang paling aku ingat, beliau tidak pernah mengukur kemajuan dari seberapa cepat seseorang menguasai gerakan. Beliau lebih menghargai siapa yang tetap datang meskipun lelah, siapa yang tetap mencoba meskipun takut gagal. Dan aku, termasuk yang sering merasa ragu, justru terus mendapat dorongan. Bukan dengan paksaan, tapi dengan keyakinan yang perlahan-lahan tumbuh karena kepercayaan beliau.
Suatu hari, beliau mengajak kami ikut kompetisi Thaichiku tingkat daerah. Aku yang bahkan belum bisa tampil percaya diri, langsung gelisah. Tapi waktu aku bilang, "Pak, saya takut malu di depan orang banyak," beliau hanya tersenyum, lalu menjawab pelan, "Kalau kamu takut dipandang orang, sampai kapan kamu mau hidup di balik bayang-bayang?"
Kata-kata itu membekas dalam. Sejak hari itu, aku mulai belajar berdiri lebih tegak. Bukan karena aku sudah hebat, tapi karena aku tahu ada guru yang percaya aku bisa. Pak Taufiq selalu memulai latihan dengan cerita atau kutipan. Beliau pernah bilang, "Jangan nunggu percaya diri baru mulai. Mulailah, dan kepercayaan diri akan datang."
Dan benar saja. Dari latihan rutin, aku mulai berani ikut kompetisi. Lalu dapat sertifikat dari lomba yang awalnya kuanggap mustahil. Sertifikat itu yang akhirnya ikut mengantar langkahku ke Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga.