Mohon tunggu...
nurfita rizka apriyani
nurfita rizka apriyani Mohon Tunggu... mahasiswa UIN Sunan Kalijaga

coba aja lihat sendiri

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Apa Saja Oleh-Oleh yang dibawa Anak Rantau Kalimantan saat Libur Ramadhan

22 Maret 2025   00:59 Diperbarui: 22 Maret 2025   00:59 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Mudik dari Salah satu Mahasiswa Rantauan dijogjakarta (sumber:nurfita rizka apriyani)

Sebagai anak rantau dari Kalimantan yang bersekolah di Pulau Jawa, kami selalu membawa serta sebagian kecil dari kampung halaman dalam bentuk oleh-oleh khas daerah kami. Setiap kali pulang ke Kalimantan dan kembali ke Jawa, kami tak lupa membawakan berbagai makanan khas seperti amplang, abon kepiting, abon ikan, bingka Kalimantan, serta mandai, yang merupakan olahan dari kulit buah cempedak yang difermentasi sebelum digoreng hingga gurih. Jika sedang musim, durian Kalimantan yang terkenal dengan aroma dan rasanya yang khas juga menjadi salah satu oleh-oleh favorit. Selain itu, kami juga membawa kain tenun khas Kalimantan yang memiliki motif indah dan sarat makna budaya.

Makanan-makanan ini bukan sekadar oleh-oleh, melainkan juga bagian dari identitas kami sebagai perantau. Amplang, misalnya, merupakan camilan renyah berbahan dasar ikan yang sudah lama menjadi ikon kuliner Kalimantan. Begitu juga dengan abon kepiting dan abon ikan, dua olahan yang mencerminkan kekayaan hasil laut daerah kami dengan cita rasa gurih dan tahan lama. Sementara itu, mandai menjadi salah satu makanan unik khas Kalimantan yang mungkin belum banyak dikenal di daerah lain. Terbuat dari kulit cempedak yang difermentasi, lalu digoreng hingga renyah, mandai menawarkan rasa gurih dan sedikit asam yang khas.

Tak lupa, ada juga bingka Kalimantan, kue khas yang memiliki tekstur lembut dan rasa manis legit, sering menjadi favorit untuk dijadikan oleh-oleh. Selain makanan, kain tenun khas Kalimantan juga sering kami bawa sebagai cendera mata, karena keindahannya yang mencerminkan kekayaan budaya suku-suku di Kalimantan.

Selain membawa oleh-oleh khas, ada satu hal yang selalu membuat kami sangat excited, yaitu menyambut hari libur panjang! Setiap kali jadwal libur semakin dekat, rasa rindu kampung halaman semakin kuat. Kami membayangkan perjalanan pulang, bertemu keluarga, menikmati makanan favorit, dan merasakan suasana Kalimantan yang khas. Perjalanan panjang dari Jawa ke Kalimantan pun terasa menyenangkan karena kami tahu ada kehangatan yang menunggu di rumah. Bahkan, sejak jauh-jauh hari, kami sudah mulai berdiskusi dengan teman-teman rantau lainnya tentang rencana pulang, transportasi yang akan digunakan, hingga oleh-oleh apa yang akan kami bawa saat kembali ke Jawa.

Perbedaan antara Kalimantan dan Jawa bukan hanya terlihat dari kulinernya, tetapi juga dari kehidupan sehari-hari. Kalimantan terkenal dengan wilayahnya yang luas, hutan yang masih alami, dan sungai-sungai besar yang menjadi jalur transportasi utama bagi sebagian masyarakat. Berbeda dengan di Jawa yang memiliki infrastruktur jalan raya dan transportasi yang lebih maju, di beberapa daerah di Kalimantan, perjalanan antarkota masih mengandalkan jalur sungai atau jalan darat yang kadang belum sepenuhnya beraspal.

Selain itu, dalam perspektif masyarakat, Kalimantan sering dianggap sebagai daerah yang keras, baik dari segi kultur maupun interaksi sosial. Namun, sebagai anak Kalimantan yang bersekolah di Yogyakarta, saya merasakan tantangan tersendiri dalam beradaptasi. Yogyakarta dikenal sebagai kota dengan masyarakat yang sangat ramah, lemah lembut, dan santun dalam bertutur kata serta bersikap. Perbedaan budaya ini sempat membuat saya merasa sulit menyesuaikan diri, karena cara berkomunikasi dan berinteraksi saya yang terbiasa lebih lugas dan to the point terkadang dianggap terlalu tegas atau kurang halus di sini.

Namun, seiring waktu, saya belajar memahami lingkungan baru dan mulai menyesuaikan diri dengan keadaan, situasi, dan kondisi tempat saya tinggal saat ini. Saya menyadari bahwa kelembutan dan keramahan masyarakat Yogyakarta bukan berarti saya harus mengubah jati diri saya sepenuhnya, melainkan lebih kepada bagaimana saya bisa menghargai budaya setempat dan berkomunikasi dengan cara yang lebih diterima oleh lingkungan sekitar. Kini, saya merasa lebih nyaman dalam berinteraksi, tanpa harus kehilangan identitas saya sebagai orang Kalimantan.

Bagaimanapun juga, merantau bukan hanya tentang menuntut ilmu, tetapi juga tentang belajar memahami budaya lain dan tumbuh menjadi pribadi yang lebih fleksibel dalam menghadapi berbagai situasi. Dan meskipun saya akan selalu bangga dengan identitas saya sebagai anak Kalimantan, saya juga bangga bisa beradaptasi dengan baik di tanah rantau, tanpa melupakan akar budaya saya sendiri.

Namun, di balik segala keseruan menjadi anak rantau, ada satu hal yang pasti dirasakan oleh siapa pun yang meninggalkan kampung halaman, yaitu rasa rindu yang begitu mendalam atau yang sekarang lebih dikenal dengan istilah homesick. Kerinduan terhadap keluarga, suasana rumah, makanan khas, serta kehangatan interaksi dengan orang-orang terdekat sering kali menjadi tantangan emosional tersendiri bagi kami yang jauh dari tanah kelahiran. Ada kalanya, di tengah kesibukan kuliah atau aktivitas harian, tiba-tiba muncul perasaan ingin segera pulang, duduk bersama keluarga, menikmati masakan ibu, atau sekadar merasakan udara khas tanah kelahiran yang berbeda dengan tempat rantau.

Untuk menyikapi perasaan ini, saya punya cara tersendiri agar tidak terlalu larut dalam homesick. Salah satunya adalah dengan pergi jalan-jalan bersama teman-teman. Menghabiskan waktu di luar, menjelajahi tempat-tempat baru, atau sekadar nongkrong bisa menjadi pelarian sementara yang menyenangkan dan membantu mengalihkan pikiran dari rasa rindu. Selain itu, saya juga berusaha memperbanyak relasi, mengenal lebih banyak orang, dan membangun jaringan pertemanan yang luas agar semakin banyak tempat untuk berbagi cerita dan pengalaman. Hal lain yang saya pelajari selama merantau adalah menjadi pribadi yang tidak terlalu memikirkan pandangan negatif orang lain terhadap diri saya. Tidak semua orang akan memahami kita dengan baik, dan selalu ada saja yang menilai kita secara negatif. Daripada membuang energi untuk hal-hal seperti itu, saya memilih untuk fokus pada pengembangan diri, menikmati proses belajar, dan menjalani hidup dengan cara yang membuat saya lebih bahagia. Pada akhirnya, homesick bukanlah hal yang harus ditakuti, tetapi justru menjadi pengingat bahwa kita memiliki tempat yang selalu menunggu kepulangan kita dengan penuh cinta dan kehangatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun