Mohon tunggu...
Nurfaqihah Ainunnisa
Nurfaqihah Ainunnisa Mohon Tunggu... Lainnya - mahasiswa

pemula

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kami (Perempuan) Muak dengan Stigma Masyarakat

21 Mei 2020   15:50 Diperbarui: 21 Mei 2020   16:34 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Seperti yang kita tahu bahwa sekarang ini kita sudah memasuki era modern, namun di era modern ini tentu tidak menjamin stigma terhadap perempuan berkurang. Karena di era modern tetap saja budaya patriarki masih ada, perempuan yang berpendidikan tinggi di anggap percuma, karena ujung-ujungnya akan di dapur. Atau perempuan yang meniti karier, mereka dipandang sebagai perempuan gagal karena mengabaikan atau gagal menyelenggarakan tugas utamanya sebagai ibu rumah tangga.

Stigma masyarakat lainnya juga yaitu perempuan yang masih perawan disebut "suci". Maka perempuan yang tidak perawan lagi disebut rusak, karena kehilangan kesuciannya. Stigma ini terus terreproduksi dan kondisi tidak suci ini secara langsung di tanggungkan kepada perempuan. 

Padahal tidak pernah terdengar tuntutan bahwa lelaki harus perjaka sebelum menikah, dan terdengar juga bahwa perlu ada tes keperawanan sebelum pernikahan. Itulah mengapa tidak perawan lagi sebelum menikah bagi perempuan menjadi momok yang sangat menakutkan.

Media sosialpun juga turut serta memperkuat stigma ini, perempuan yang tidak perawan mereka bilang telah kehilangan masa depannya seakan-akan mendukung kita untuk merasa terpuruk.

Dan stigma perempuan harus cantik dan menarik jika ingin mendapatkan apresiasi, seharusnya media sekira perlu mengedukasi masyarakat dengan menawarkan cara pandang baru atau jangan membuat masyarakat menempatkan tubuh perempuan sebagai objek, karena tidak semua harus dinilai melalui penampilan fisik, cobalah melihat dari prestasinya.

Dari stigma yang tertulis diatas bisa di simpulkan bahwa masyarakat Indonesia masih terikat erat oleh budaya patriarki. Dimana perempuan diharuskan serba bisa atau menjadikan perempuan sebagai satu-satunya yang bertanggung jawab dalam hal mengasuh anak.

Tentu kita harus memutuskan stigma ini atau keluar, karena perempuan dan laki-laki itu setara meskipun secara biologis tidak sama namun pekerjaan domestik tidak harus dibebankan kepada perempuan atau dalam mengasuh anak, peran lelaki atau ayah itu turut ikut andil dan penting karena

"pengasuhan anak yang baik bukan hanya terletak pada ibu semata, akan tetapi pengasuhan anak yang baik terletak pada kerja sama kedua orang baik ayah maupun ibu".

Dan perilaku anak merupakan cerminan pola asuh yang diberikan orang tuanya, maka sebagai orang tua sebaiknya mengevaluasi bagaimana pola pengasuhan anak apakah masih ada sisa-sisa patriarki bertumbuh dalam pengasuhan anak dan lingkungan keluarga.

Kita kembali lagi ke stigma perempuan suci ialah perempuan yang masih perawan, pemikiran ini tentu sangat merendahkan kemanusiaan perempuan. 

Dari artikel yang pernah saya baca "perempuan tetaplah perempuan utuh, manusia utuh walau tidak lagi perawan".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun