Dua hari berselang, kejadian serupa kembali terjadi. Kali ini seorang siswi yang dikenal pintar dan teladan datang dengan kondisi sama: terlambat dan memakai Crocs. Berbeda dengan kasus sebelumnya, siswi tersebut langsung diperbolehkan masuk aula ujian tanpa hambatan berarti.
Penulis ini menganggap adalah sebuah ketidakadilan terhadap murid dan guru, pasalnya sudah jelas dimana guru yang meminjamkan sepasang sepatu ini mengikhlaskan untuk dipinjamkan oleh murid yang terlambat hanya demi mendapatkan ujian semesternya. Tetapi pada saat dipanggil oleh kepala sekolah dengan alasan yang tidak ambigus dan adil, bagaimana disekolah saya itu sendiri mengimplementasikan sebuah value ini-bahkan kepala sekolahnya saja tidak mendapatkan hakikat nilai menunjukan sebuah Integrity.
Ini yang penulis menganggap prejudice(prasangka) yang berlebihan sehingga hanya murid-murid saja yang tertentu, untuk mendeskripsikan dengan nilai karakter mereka dan tidak melihat betapa hak besar mereka dapatkan untuk mengambil ujian semesternya mereka. Penulis melihat bagusnya dalam guru untuk memberikan kesempatan muridnya dikarenakan sudah seharusnya menunjukan simpati dan empati itu kepada murid untuk membantu untuk mendapatkan isu yang penting ini.
Berbeda hal dilakukan oleh kepala sekolah sangatlah tidak adil, Sikap kepala sekolah justru memperlihatkan bagaimana aturan bisa dijadikan alat untuk menekan, bukan untuk mendidik. Alih-alih menegakkan keadilan, keputusan tersebut hanya menegaskan bahwa prasangka sangatlah berarti baginya.
Pelanggaran-pelanggaran yang sudah disebutkan adalah berdasarkan penulis pribadi pengalaman selama siswa di SMA saya. Tetapi apakah di sekolah lain hal yang sama diimplementasikan?. Mungkin ada beberapa, penulis menganggap tidak ada semua sekolah atau universitas bener-bener mengadaptasi sekolah value saya ini dengan secara baik. Saya jamin jika anda berada sekitar Jabodetabek menanyakan seluruh anak yang bersekolah inter atau swasta yang mirip seperti sekolah internasional yang lain, tanggapan mereka rata-rata akan mendapatkan hal jelek seperti kasus pembulian.
Sekolah saya kebetulan memiliki nama yang rusak dan jelek dalam reputasi pendidikan hingga banyak diantara orang-orang jika menemui akan mengatakan seperti "Sekolah yang kasus pembulian itu bukan?" dan "yang geng pembulian itu kan ya?". Inilah yang membuat penulis merasa bahwa citra sekolah tidak lagi dibangun oleh prestasi ataupun nilai sekolah saya yang dibanggakan, melainkan oleh stigma dan cerita-cerita negatif yang terus berulang.
Pertanyaan yang penting adalah apakah pendidikan nilai seperti sekolah saya ini tetap menjadi pendoman hidup sebagai siswa?, lalu mengapa setiap berita dan pengalamn pribadi penulis melihat ini bukan candu untuk diadaptasi?, Lalu siapa yang akan menghakimi siswa jika guru atau kepala sekolah saja tidak memberikan aspirasi value itu sendiri?.
Penulis mengkritik bahwa sekolah internasional values yang diimpelementasikan tidak dengan secara baik dan benar, penulis menganggap bahwa siapapun yang harus menghakimi dan memberikan sanksi pelanggaran seperti hukuman, harus ada orang yang mendapatkan penghargaan dan memahami semua value ini. Tidak peduli itu adalah seorang siswa atau guru itu sekalipun, hanya orang-orang yang harus mengetahui ini.
Lalu untuk itu sendiri dengan nilai sekolah penulis ini, apa yang mereka obsesikan? bahkan murid dan gurunya saja tidak mengadaptasikan dan mengimplementasikan dengan secara baik.